Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sehelai Rambut Sepanjang Jalan

Suka duka (pengalaman) sopir truk jarak jauh, banyak yang merasa masa depannya suram. mereka selalu dirongrong setan dinas. (sd)

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI lehernya selalu membelit handuk putih kecil yang sudah lusuh. Rokok kretek menyala di bibirnya, tak putus-putus. Matanya merah. Berwajah keras tapi lesu. Inilah agaknya gambaran umum dari sopir truk jarak jauh, yang katakanlah hidup di belakang setir sepanjang hari dan malam. Dan mungkin pula seumur hidup. Anom Wibawa adalah sopir truk Karya Express yang biasa menempuh rute Jakarta-Bali p.p. Macam-macam yang diangkutnya. Dari Bali biasanya ia membawa barang palen-palen, bungkil kelapa dan barang-barang kecil lainnya. Waktu balik, ia mengangkut barang-barang elektronik seperti radio, tv, serta kebutuhan hidup sehari-hari. Januari yang hllu, genap 13 tahun ia pegang setir truk. Karier Anom (35 tahun) dimulai sejak 1962 sebagai kondektur. Setelah bekerja dengan setia selama 5 tahun, statusnya naik jadi sopir. Nasib baik, mengingat banyak kondektur atau kenek yang sampai tua tidak pernah naik pangkat. Namun demikian, Anom kelihatan tidak bangga. Ia malah berkata: "Kalau boleh saya nasihati anak saya itu (2 anak lelaki 2 perempuan), agar mereka tidak mengambil pekerjaan sebagai sopir!" Kenapa? Menurut Anom, masa depan sopir tidak bagus. Terlebih-lebih sopir truk jarak jauh -- keamanan di jalan selalu menjadi pemikiran. Ibarat digantung sehelai rambut," katanya memberi umpama. Dalam sebulan Anom jalan 6 sampai 8 kali. Banyak peristiwa yang sudah dialaminya. Di tahun 1966 -- waktu masih jadi kondektur -- begitu memasuki Surabaya, seorang bajingan tiba-tiba melompat ke atas truknya, seperti dikirim oleh setan. "Berteriak, ini ganjaran!" ancam penjahat itu sambil memperlihatkan celurit (semacam sabit runcing). Anom tak berdaya. Karena ia tidak membawa uang, akhirnya sebuah karung berisi gula pasir diturunkan, sementara truk jalan terus. Bukan itu saja sebelum penjahat kabur, Anom dimasukkan ke dalam karung dan diikat bagian bawahnya. Sopir baru tahu kejadian itu tatkala truk mau bongkar muatan. Setan Dinas Pada 1977 sesudah jadi sopir, di daerah Gempol (Ja-Tim) Anom terlibat perkelahian. Tatkala truk berjalan pelan, seorang bajingan meloncat dan dengan cepat telah berdiri di sampingnya menyabet jam tangan Citizen di tangan kanan Anom. Sopir ini melawan. Malang, celurit mampir di bibir dan tangan kanannya. Darah tumpah dan jam baru itu hilang. "Ini masih berbekas," kata Anom menunjukkan sobekan pada bibir dan lengannya. Bahaya lain ia namakan "setan dinas". Ini bahaya rutin. Semakin gemuruh orang mengusir "pungli" ternyata semakin galak setan dinas Ini. Kalau sudah nampak sebuah truk datang, berbagai pertanyaan akan diajukan, sehingga mau tak mau sopir lebih baik mengalah. Biasanya segalanya jadi lancar kalau sebuah "lembaran Sudirman" diselipkan di dalam STNK. Pengusutan akan lancar. Yang sulit sopir tidak bisa mempertanggungjawabkan uang itu sebagai biaya tak terduga pada majikan -- karena tak ada kwitansi. "Kadangkala saya dimarahi, tapi demi keselamatan apa boleh buat," kata Anom. Kalau sebulan berangkat 8 kali, Anom bisa mendapat uang Rp 35 ribu plus Rp 500 per hari sebagai uang jalan. Untuk hidup sebulan pas-pasan. "Saya bahkan sering ngebon," katanya terus terang. Yang agak menyenangkan adalah adanya solidaritas sesama sopir di dalam perjalanan. "Bukan hanya kalau sakit, pecah ban pun kita saling membantu," kata Anom. Wayan Sumatra (37 tahun) juga sopir truk Denpasar-Surabaya, mengeluh karena akhir-akhir ini sulit mengatasi para bajingan yang bertindak dengan koordinasi yang rapi. Karenanya setiap hendak memasuki Surabaya, ia selalu menyewa Hansip sebagai pengawal. Sekali bongkar muatan, Hansip itu menerima honor Rp 3.000. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana seluk beluk mendapatkan Hansip tersebut. "Pokoknya kalau sudah ada Hansip, saya aman," kata Sumatra. Minum di Warung Di Banda Aceh, ada seorang sopir truk jarak jauh bernama Eddy. Sudah 10 tahun profesinya ini. Trayeknya Banda Aceh-Medan, berjarak 700 km. "Dulu sebenarnya saya punya tekad untuk jadi insinyur," kata Eddy yang tamatan SMP ini. Pendapatan Eddy (33 tahun sekali jalan Rp 8 ribu. "Kalau setoran tinggi bisa Rp 10 ribu," katanya menambahkan. Untuk rata-rata 5 kali jalan setiap bulan, Eddy dapat Rp 50 ribu. Ada uang makan, juga uang dana di jalan (uang minyak dan uang untuk mengganjal pos-pos penjagaan) sekitar Rp 40 ribu sekali jalan. Kalau ada sisa, dana itu jadi hak sopir. "Itu merupakan kesepakatan tidak tertulis dan harus dipatuhi antara toke dan sopir," tutur Eddy. Kelebihannya menurut Eddy sekitar Rp 6 sampai Rp 7 ribu. Makin banyak bisa mengelakkan pos liar, makin banyak sisa dana yang bisa dikantunginya. Eddy berhasil membeli rumah berikut tanah. Ini disebabkan istrinya pintar pegang uang. Seluruh uang trip (perjalanan) yang didapatnya, ia serahkan pada istri. Keluarga Eddy dengan 3 anak, ternyata hanya menghabiskan Rp 30 ribu sebulan. Dengan catatan Eddy sering tidak di rumah. "Maunya kita istri para sopir jangan ikut royal-royalan seperti suaminya," kata Eddy. Eddy sendiri mengaku tidak suka royal. "Kalau sekedar main-main ya biasa. Maklum orang haus bisa saja minum di warung," kata Eddy beribarat. Ia tidak mau kawin lagi. Tapi istrinya, sebagaimana galibnya istri sopir, masih sering mencurigainya. Untuk menghindari itu, Eddy sering mengalah pada kemauan istrinya. Tak jarang pada saat-saat akan berangkat datang ajakan untuk nonton film dan makan di restoran. "Mau tak mau harus kita penuhi," kata sopir ini. Meskipun waktunya sempit, jika ada kesempatan Eddy membawa anak-anaknya melancong. "Saya sering terharu melihat ayah dari anak-anak yang lain bisa terus kumpul dengan keluarga," katanya sedih. Dalam hati ia bertekad menghindarkan anak-anaknya dari profesi sopir. "Saya akan sekolahkan mereka dan mereka tidak boleh menghampiri pekerjaan saya sekarang," katanya dengan mantap. Ia sendiri sudah berniat meninggalkan pekerjaannya 5 tahun lagi. Selanjutnya ia berniat membuka bengkel kecil-kecilan. Kini masih dalam taraf mengumpulkan modal. "Pekerjaan sopir jarak jauh ini tak pernah menjanjikan apa-apa," kata Eddy tandas. Dalam perjalanan Eddy selalu diganggu pikiran jelek. Ia merasa maut selalu mengintai. Untuk itu ia selalu berhati-hati. Ia tidur cukup. Sulitnya, tidak sembarang tempat boleh istirahat, mengingat muatan yang dibawanya. Ia harus parkir di pos Hansip atau di tempat-tempat yang aman lainnya, agar muatan tidak disambar maling. Tidur pun tidak bisa lama, paling banter satu atau dua jam, harus tancap gas lagi. Yang menguntungkan, Eddy tak pernah sakit keras. Kecuali belum lama ini ia terpaksa mendekam sampai 1 bulan. Selama itu ia tidak dapat bantuan khusus dari tokenya. Dapat kiriman obat cuma sekali. Suntik juga sekali. Dari teman-temannyalah ia memperoleh dukungan keuangan. "Kami para sopir ini sudah merasa satu nasib. Tapi tidak melalui sebuah perkumpulan. Masing-masing pribadilah," kata Eddy, "kalau sekiranya sakit terlalu lama, ya akan dikeluarkan oleh toke dari kerja. Tanpa pesangon dan uang lain." Selama melayani trayek Banda Aceh-Medan, Eddy tidak melihat persaingan di antara sesamanya. Justru sering cekcok dengan kelompok sopir bis. Gara-garanya sepele. Kalau bis lari sering seperti dikejar setan. Jalan yang sempit sangat sulit buat berpapasan dengan lari yang kencang. Karena sopir bis tidak sabaran, perang mulut gampang terjadi. Akhirnya berkelahi. Eddy pernah berkelahi dengan sopir bis di sebuah jalan menurun di Langsa. Eddy tak mau memberi jalan pada bis yang sedang lari kencang. Dalam perkelahian Eddy luka-luka, sedangkan lawannya babak belur. Perkelahian itu kemudian berkepanjangan di stasiun antara kelompok. Alasan Eddy tidak mau minggir sebenarnya cukup waras. "Kan mereka itu bawa penumpang banyak. Kalau terbalik kan bukan hanya sopirnya sendiri yang menderita," ujarnya. Ngomong-ngomong soal merawat badan, menurut Eddy gampang. "Kita selalu makan enak," katanya. Ini untuk mengimbangi kerja yang betul-betul berat sesuai dengan falsafah sopir truk. "Makan macam raja, tidur bagai gelandangan." Falsafah ini benar-benar dilaksanakan Eddy. M. Yusuf yang melayani rute Banda Aceh-Tapaktuan (600 km) mengatakan jalan yang ditempuhnya terbilang paling sulit. Untuk melintasi trayek itu dibutuhkan persyaratan keahlian, ketabahan dan ketahanan tubuh yang luar biasa. Kondisi jalan di sini amat buruk. Mungkin karena itu uang trip untuk jurusan ini lebih besar dari Banda Aceh-Medan. Setiap trip Yusuf bisa mengantungi Rp 15 ribu, dengan catatan sebulan paling banter 3 kali jalan. Simpanan Berbeda dengan Eddy, Yusuf mengaku terang-terangan punya "simpanan" di perjalanan. Bahkan lebih dari satu. "Maklum, kan keadaan sopir," katanya dengan tenang. Yusuf sebetulnya sudah kawin. Istrinya yang pertama tidak membuahkan turunan, tapi wanita itu tidak merelakan suaminya menikah lagi. "Ya terpaksa diam-diam saja kawin," kata Yusuf (36 tahun). Tapi istrinya yang kedua juga ternyata tidak membuahkan anak. Lalu ia kawin lagi dan yang ketiga yang kemudi an memberinya anak. "Dan tak salah saya kawin untuk mendapatkan anak," kata sopir ini. Sekarang ia sedang merencanakan untuk menceraikan istrinya yang kedua. "Biar pakai yang tua dan yang muda saja," kata Yusuf enteng. Menurut. Yusuf, keuangannya, cukup. Karena ia bisa memanfaatkan bak truknya untuk dagangan sendiri. Ia sering beli kacang tanah atau dagangan lainnya. "Kalau hanya mengharapkan yang trip bisa bangkrut," ujarnya. Kemudian ia tambahkan. "Pokoknya masalah makan para sopir tak usah khawair, cukup, dengan menu yang sempurna." Untuk menghindari sengatan pos-pos liar, truk jurusan Tapaktuan berangkat malam hari sendiri-sendiri. "Kalau sudah tengah malam mana ada lagi yang jaga. Paling masuk pos resmi LLAJR," kata Yusuf. Setelah 16 tahun, jadi sopir truk, (mulai jadi kenek umur 12 tahun), Yusuf yang tidak tamat SD ini seperti sudah luluh dengan pekerjaannya. Ia tidak risau. Ia menerima kehidupan dan nasibnya dengan senang. Bahkan gembira. Tentang masa depan ia tidak mau pusing. "Buat apa memikirkannya terlalu serius, kan lebih baik tenang-tenang saja," ujarnya. Lalu disambungnya dengan agak bangga: "Kalau sopir berpengalaman macam saya ini bisa dipakai siapa saja!" Satu-satunya penyakit Yusuf yang paling parah adalah ia biasa royal. Ia tidak pernah berpikir panjang sebelum menghabiskan uangnya. Ia meneguk minuman arak, ribuan rupiah sehari. "Bagaimana tidak, kan minum itu bisa menyegarkan badan. Untuk apa pikir-pikir hari esok," katanya dengan yakin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus