GARA-GARA sepotong paku, Ona, 78 tahun, harus kehilangan sebagian kakinya. Dokter terpaksa memotong kaki kanannya, menyisakan paha hingga sebatas bawah lutut. Apa boleh buat. Luka yang disebabkan oleh paku yang terselip di sepatunya telah mengakibatkan kaki Ona membusuk. Karena luka itu, bulan lalu, dua jari kakinya dibabat habis. Rupanya, tindakan itu tak menolong. Kini, Ona tak punya pilihan selain mengiyakan saran dokter untuk memotong kakinya. Bila lukanya dibiarkan, memang tak hanya kakinya akan makin busuk, tapi jiwanya juga terancam. "Daripada kaki saya terus membusuk, potong sajalah," ujar Ona menyatakan persetujuannya kepada dokter.
Kalau saja luka itu ditangani lebih dini, mungkin ibu delapan anak ini tak harus menjalani masa tuanya dengan sebelah kaki. Awalnya, Ona memang tak menyadari luka itu. Bahkan, ia tidak pernah merasakan sakit ketika ujung jari manis kakinya tertusuk paku. Tahu-tahu, ia mendapati ujung jari kakinya sudah terluka. Sebetulnya, ketika itu, ia sudah langsung mendatangi dokter. Ia mendapat suntikan, tapi kakinya tetap saja bengkak. Ternyata, ia menderita penyakit diabetes melitus atau yang biasa disebut kencing manis. Kadar gula dalam darahnya tinggi, 400 mg/dl, jauh di atas angka normal, yang seharusnya tak boleh lebih dari 200 mg/dl (kadar gula darah sewaktu diperiksa ketika pasien tak berpuasa).
Warga Lubuklinggau, Sumatra Barat, itu pun berupaya mencari kesembuhan di Ibu Kota. Di sebuah rumah sakit di Jakarta, dua jari kakinya yang terluka dipotong. Setelah jari itu dipotong, di kakinya tumbuh luka lagi. Komplikasi yang diakibatkan luka tertusuk paku itu rupanya telah menjalar ke bagian lain. Kemudian, ia berobat ke Rumah Sakit Husada, Jakarta, dan mendapatkan vonis amputasi lagi. Sewaktu dipotong, katanya, "Enggak terasa sakit. Enggak terasa apa-apa."
Tak aneh bila Ona tak kesakitan. Ona mengalami gangguan pada saraf (neuropati) yang membuatnya mati rasa. Gangguan yang sering menyerang kaki dan tungkai bawah ini adalah salah satu gangguan yang banyak dialami penderita diabetes. Jika gula darah tidak terkendali, komplikasi bisa menjalar ke mana-mana. Tak hanya saraf yang terkena, tapi juga mata, ginjal, ataupun jantung. Gawatnya, komplikasi dapat terjadi mendadak, seperti tiba-tiba tak sadarkan diri—atau bahkan koma—akibat kadar dula darah terlalu tinggi (hiperglikemia) atau terlalu rendah (hipoglikemia).
Semua komplikasi itu sebenarnya bisa dicegah atau dikurangi dengan menurunkan kadar glukosa dalam darah hingga mencapai titik normal. Memang ini tak mudah. Setidaknya, dibutuhkan kerja sama yang erat antara penderita dan dokter, perawat, serta ahli gizi.
Menyadari hal itu, pertengahan Januari lalu, Rumah Sakit Husada menyodorkan kemudahan bagi penderita diabetes. Mereka menawarkan suatu unit pelayanan diabetes terpadu. Di sini, penderita kencing manis ditangani secara khusus oleh suatu tim yang terdiri atas dokter umum dan spesialis, ahli gizi dan analis, serta perawat. Pasien juga ditempatkan secara khusus di lantai empat Gedung Graha Pratama rumah sakit tersebut. Di "lantai diabetes" itu juga tersedia laboratorium, depo obat yang menyediakan obat-obatan untuk diabetes dan alat suntik insulin, serta perpustakaan yang berisi berbagai literatur tentang penyakit diabetes. Pendeknya, di sini, penanganan penderita diabetes—mulai edukasi hingga perawatan—dilakukan dengan pendekatan multidisiplin ilmu. "Setahu saya, unit seperti ini baru pertama kali ada di Indonesia," ujar Dokter Sidartawan Soegondo, salah seorang pendiri unit khusus itu.
Agaknya, Rumah Sakit Husada cepat membaca situasi. Penyakit diabetes, dari tahun ke tahun, menunjukkan kecenderungan meningkat. Di Jakarta, di Kelurahan Kayuputih, misalnya, menurut sebuah penelitian epidemiologi pada 1993, prevalensi diabetes telah mencapai 5,6 persen dari penduduknya. Padahal, pada 1982, prevalensinya baru sekitar 1,7 persen. Menurut Dr. dr. Sarwono Waspadji, Sp.P.D.K.E.—dalam disertasinya yang dipertahankan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, akhir Januari lalu—pada 2020 nanti akan ada tujuh juta pasien diabetes yang harus dikelola di seluruh Indonesia. Ledakan jumlah penderita diabetes, karena itu, perlu diantisipasi sejak sekarang.
Menurut Sidartawan, penanganan penderita sebaiknya tak hanya oleh dokter. Ahli gizi, misalnya, diperlukan untuk memantau makanan yang dikonsumsi penderita. Soalnya, sebenarnya, tak ada makanan yang tak boleh disantap penderita diabetes. Yang penting, pasien tahu berapa takaran dan batasan makanan yang bisa dikonsumsinya. "Misalnya, ia mau makan duku sampai delapan biji, itu boleh. Atau, kalau dia ingin merasakan enaknya buah durian, ya, cukup satu biji saja," ujar dokter di Subbagian Metabolik Endokrin Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu.
Di unit pelayanan diabetes terpadu, dijanjikan suatu perawatan yang menyertakan ahli gizi dalam menentukan jenis dan takaran makanan yang dikonsumsi setiap pasien. Ini penting, terutama, karena jenis dan takaran makanan sangat individual sifatnya, antara lain dipengaruhi berat badan pasien. Dan agar penakaran itu bisa dipahami pasien, digunakan alat takar seperti sendok, gelas, atau potong. "Dari situ, setelah pasien pulang nanti, diharapkan mereka akan mengikuti dan terus mengingat takaran yang didapat selama di rumah sakit. Jadi, dengan melihat saja, mereka dapat memperkirakan berapa takaran makanan yang boleh dikonsumsinya," kata Sidartawan.
Berpenyakit diabetes memang ibarat terikat kontrak seumur hidup. Pasien harus berdisiplin mengontrol asupan gula. Karena itu, sebelum menjadi-jadi, sebaiknya gejala-gejala awal diabetes diwaspadai sejak dini. Apalagi, kans berpenyakit diabetes makin tinggi sejalan dengan makin tingginya usia. Umumnya, orang datang ke dokter ketika penyakit diabetesnya telah menimbulkan komplikasi. Sepanjang pengalaman Sidartawan, pada waktu diabetes ditemukan pada seseorang, 8,2 persen sudah menderita komplikasi pada ginjal, 20 persen komplikasi pada mata, 13 persen pernah mengalami serangan jantung, dan 15 persen mengalami komplikasi pada saraf.
Terlalu sering kencing, minum, dan makan adalah hal-hal yang perlu dicurigai sebagai gejala diabetes. Bila penglihatan mulai terganggu, tubuh sering "kesemutan", dan luka tidak sembuh-sembuh, pemeriksaan darah di laboratorium tak bisa ditunda-tunda lagi.
Gabriel Sugrahetty, Setiyardi, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini