Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perdagangan organ muncul mulai akhir 1980-an setelah penemuan obat imunosupresan yang membuat tubuh tak lagi menolak organ transplantasi.
Kasus baru terus bermunculan karena ketersediaan organ transplantasi jauh di bawah angka kebutuhannya.
Pelakunya sebagian besar merupakan tenaga profesional, seperti dokter dan pengacara.
Sejak dulu, perdagangan organ manusia selalu menjadi berita nasional, bahkan internasional. Pada Maret 2023, seorang politikus Nigeria, istri, dan tenaga medis yang menjadi perantara divonis bersalah atas kasus perdagangan organ manusia. Mereka merancang pemberangkatan seorang pria dari Lagos, Nigeria, ke Inggris untuk menjual ginjalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa bulan kemudian, di Kenya, petugas mendapati organ-organ jenazah para korban pembunuhan massal oleh pendeta yang tak lagi lengkap. Temuan ini menyulut dugaan adanya praktik penjualan organ secara paksa. Pada 2020, peneliti Sean Columb menguak fakta bahwa sejumlah pengungsi Afrika menjual ginjal mereka di Kairo, Mesir, demi membayar para penyelundup yang menyeberangkan mereka ke Eropa lewat Laut Mediterania.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deretan kasus tersebut hanya sebagian kecil dari fenomena penjualan organ global yang muncul sejak akhir 1980-an. Perdagangan ilegal ini menyeruak seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi transplantasi. Sebelumnya, transplantasi dipandang sebagai prosedur yang berisiko tinggi. Pada 1980-an ditemukan obat imunosupresan yang menekan sistem kekebalan tubuh sehingga tak lagi menolak organ yang ditransplantasikan. Dampaknya, praktik transplantasi berkembang di mana-mana. Kini, transplantasi organ berlangsung di rumah-rumah sakit di 90 negara.
Dengan kebutuhan organ yang jauh melampaui ketersediaan, transplantasi menjadi korban kesuksesannya sendiri. Meski banyak strategi dijalankan untuk memperbesar kesempatan mendermakan organ, kelangkaan organ terus meningkat di tingkat global.
Saya adalah peneliti perdagangan dan penyelundupan organ. Saya menginvestigasi banyak aspek dari praktik tersebut, termasuk wisata transplantasi, pembelian organ, pengalaman pelaku transplantasi beserta polisi dan jaksa yang menangani kasus mereka, serta bagaimana jaringan perdagangan beroperasi.
Saya mendapati bahwa terdapat pembentukan klaim sonder data soal perdagangan organ. Klaim-klaim tersebut memperkuat anggapan bahwa masalah ini merupakan kriminalitas bawah tanah, dengan diorganisasi oleh mafia serta dokter "jahat" yang melakukan transplantasi secara tersembunyi.
Ilustrasi perdagangan organ manusia. UNSPLASH
Namun faktanya berbeda. Asal-muasal perdagangan organ jauh dari penggambaran tersebut. Pada semua kasus, hingga hari ini, transplantasi ilegal berlangsung di rumah-rumah sakit dengan keterlibatan tenaga medis. Jaringan perdagangan organ manusia diatur sedemikian rupa dengan kolaborasi erat antara mereka di ranah resmi (dokter, notaris, pengacara) serta pelaku di dunia kriminal (perekrut dan perantara).
Meski mungkin ada kasus yang tersembunyi dan tak dilaporkan yang terjadi di luar institusi medis, pengetahuan yang ada menunjukkan bahwa sektor kedokteran membantu mengatur dan memfasilitasi perdagangan organ manusia.
Perdagangan organ merupakan kejahatan yang kompleks dan digerakkan oleh tingginya permintaan organ transplantasi serta ketimpangan besar pasokan dan ketersediaan. Akar masalah perdagangan ini perlu diidentifikasi serta ditindak lebih tegas (tak harus berupa hukum) untuk mengatasi bentuk perdagangan yang lebih terorganisasi dan kompleks.
Definisi Perdagangan Organ Manusia
Perdagangan organ terdiri atas penjualan dan pembelian organ untuk kepentingan ekonomi serta materi. Pada 1987, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk pertama kalinya melarang pembayaran organ manusia. Banyak negara kemudian mengadopsinya dalam sistem hukum mereka.
Meski angka pastinya tak diketahui, pada 2008, WHO memperkirakan 5 persen dari transplantasi di seluruh dunia merupakan praktik ilegal. Sebagian besar laporan menyatakan sumber mayoritasnya adalah donor hidup.
Lebih lanjut, WHO memperkirakan keseluruhan transplantasi hanya 10 persen dari total kebutuhan global. Dari semua organ, ginjal menjadi jenis yang paling banyak dicari. Sekitar 10 persen dari populasi dunia menderita gangguan ginjal kronis. Sebanyak 2-7 juta dari pasien tersebut diperkirakan meninggal setiap tahun akibat tak mendapat perawatan yang memadai.
Dengan kondisi demikian, para pasien menghalalkan segala cara untuk mendapatkan organ di luar negara mereka. Kebutuhan organ yang terus meningkat membuatnya menjadi barang berharga. Hal ini mendorong sebagian orang menjual dan memperdagangkannya. Bencana alam, perang, perubahan iklim, dan pengungsian meningkatkan risiko penjualan organ serta eksploitasi di kelompok-kelompok masyarakat paling rentan.
Ilustrasi perdagangan organ manusia. UNSPLASH
Mengatasi Kejahatan Kompleks
Lantas, bagaimana respons atas perdagangan organ bisa kita perbaiki? Langkah pertama adalah menyepakati soal jenis perdagangan organ yang perlu diharamkan. Hal ini membutuhkan pemahaman keruwetan pedagangan tersebut.
Sejumlah studi menunjukkan perdagangan organ merupakan kejahatan terorganisasi tingkat tinggi. Praktik ini dapat meliputi pemaksaan fisik, penyiksaan, bahkan pembunuhan tahanan. Namun laporan-laporan tersebut tak menggambarkan perdagangan organ secara menyeluruh.
Perdagangan organ manusia melibatkan aneka bentuk praktik. Dari eksploitasi yang berlebihan (dalam kasus perdagangan orang) hingga kesepakatan bersama yang saling menguntungkan (dalam bentuk perdagangan).
Aneka praktik perdagangan tersebut membutuhkan membutuhkan tanggapan yang berbeda, sesuai dengan fakta masing-masing. Contohnya, penjual organ enggan melaporkan kekerasan yang dialami karena mereka dianggap sebagai pelaku kejahatan dan akan dihadapkan pada hukum. Hanya sedikit donor yang dianggap sebagai korban perdagangan manusia dan mendapat pelindungan hukum. Para penegak hukum, juga para pembuat undang-undang, perlu mempertimbangkan untuk mempidanakan penjualan organ (menghapus denda) serta menawarkan pelindungan bagi donor—tanpa memusingkan apakah keterangan mereka bisa membantu pengungkapan jaringan kriminal tersebut.
Negara perlu membuka saluran pelaporan bagi tenaga medis yang mengetahui praktik transplantasi organ. Informasi mereka dapat membuka jalan bagi penegak hukum untuk menginvestigasi, menangkap, dan menuntut siapa pun yang terlibat dalam perdagangan organ ilegal. Portugal dan Inggris Raya telah memiliki mekanisme pelaporan seperti ini.
Terakhir, perlu ada intervensi untuk mengatur pasar perdagangan organ. Misalnya, memberikan bayaran ataupun bentuk penghargaan lain sehingga harga organ hasil donasi meningkat. Percobaan dengan pengawasan ketat diperlukan untuk memastikan kemanjuran dan moralitas skema ini.
Uji coba pada skema donasi organ yang dibarengi insentif telah diusulkan sejak 1990-an. Aturan ini digodok tenaga medis transplantasi, ekonom, pengacara, dan filsuf.
Sementara percobaan itu dilarang oleh hukum, survei nasional mendapati terbentuknya dukungan publik dengan berbagai tingkat untuk isu masing-masing. Di Amerika Serikat, misalnya, penelitian terbaru mendapati 18 persen dari responden akan memilih pembayaran yang menguntungkan untuk peningkatan transplantasi serta penempatan organ dilakukan berdasarkan pertimbangan medis yang obyektif. Singkatnya, daripada repot-repot membuat undang-undang yang lebih ketat, dibutuhkan tanggapan yang lebih luas untuk mengatasi akar penyebab masalah sekaligus merusak jaringan perdagangan organ manusia.
---
Artikel ini ditulis oleh Frederike Ambagtsheer, lektor ilmu penyakit dalam, transplantasi ginjal, dan nefrologi di Erasmus University Medical Center, Rotterdam. Terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di The Conversation dan diterjemahkan oleh Reza Maulana dari Tempo.