Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tanpa Makan Gula Pasir

Keperluan tubuh manusia akan zat gula/glukosa. tanpa gula orang tak akan mati, sedangkan kelebihan gula akan merangsang timbulnya berbagai penyakit. (ksh)

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK awal tahun ini pemerintah telah mengeluarkan Rp 127 milyar untuk subsidi gula. Ini untuk menutupi 25% dari kebutuhan nasional (1,9 juta ton) yang masih diimpor dengan harga mahal. Menghadapi kenaikan gula yang menggila orang-orang juga sibuk antre membeli gula murah. Padahal tak usah makan gula pun tak bakalan mati. "Kita memang membutuhkan gula, tapi bukan gula pasir," kata Walujo S. Soerjodibroto, 38 tahun, seorang ahli gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Menurut sarjana yang mendapat gelar doktor dari London University, Inggris itu, yang dibutuhkan tubuh adalah zat gula yang disebut glukosa. Ini bisa diperoleh dari makanan sehari-hari, seperti nasi, roti, sayur dan buah-buahan. "Melalui proses metabolisme, semua makanan yang mengandung hidrat arang itu akan berubah menjadi glukosa." ulasnya. Makan gula dengan begitu hanya sekedar mengikuti selera lidah saja. Dan untuk ini kebutuhan masyarakat meningkat terus. Kalau pada tahun 1973 kebutuhan per kapita 7 kg, sekarang menurut catatan Bulog sudah mencapai 12 kg. "Menurut pendapat saya kebutuhan gula tidak mutlak-sebanyak itu. Tanpa makan gula pasir, asal makan makanan pokok tak ada bahayanya," begitu kata Hartono Hadiwignyo Mt'S dari Direktorat Gizi Departemen Kesehatan. Untuk keperluan tubuh saban hari diperlukan 188 gram glukosa. Menurut Walujo S. Soerjodibroto jumlah itu sudah bisa dicapai kalau menu makanan terdiri dari 60% hidrat arang yang lazirn juga disebut karbohidrat. Glukosa sebanyak itu diperlukan oleh serabut saraf, ginjal dan sel darah. Tapi yang paling besar membutuhkannya adalah otak -- 1 44 gram. Makanan yang ideal terdiri dari 60% hidrat arang, 15% protein dan 10% lemak. Kalau ada sisa glukosa dari makanan tadi, dia akan dibawa oleh darah ke seluruh jaringan tubuh dan disimpan di dalam lever (hati) dan otot-otot. Karena itu oran'g tak perlu khawatir tubuh akan kekurangan glukosa dengan tiba-tiba. Kalau glukosa belum diproduksi tubuh karena belum makan misalnya, tubuh dengan sendirinya akan memproduksi glukosa yang diambil dari cadangan yang terdapat di hati dan otot. "Hati itu bisa dimisalkan seperti Bulog-nya tubuh kita. Karena dialah yang mengatur distribusi glukosa yang tersimpan dalam cadangan," urai Walujo. Tapi untuk keperluan seketika gula memang penting. Misalnya untuk mereka yang kelelahan dan ingin mengembalikan tenaga. Kalau menggantungkan diri pada cadangan yang ada tentu diperlukan proses untuk mengeluarkan glukosa dari hati dan otot-otot. Dalam keadaan seperti ini memang sebaiknya energi diambil secara langsung dari gula. Buat mereka yang bekerja memeras keringat agaknya energi seketika dari gula memang perlu. Sedangkan mereka yang bekerja kurang mengandalkan tenaga, pemenuhan kebutuhan energi secara cepat tidak perlu. Dikhawatirkan akan terjadi penimbunan glukosa secara berlebihan dalam tubuh. "Kalau glukosa berlebihan tubuh tentu akan blebekan (banjir) seperti halnya karburator yang kebanjiran bensin," kata Walujo. Kelebihan gula seperti itu menurut ahli gizi yang lain, dr. Dien Tan, akan mengakibatkan kegemukan yang bisa merangsang timbulnya berbagai penyakit. Misalnya diabetes, jantung dan kerusakan pembuluh darah. Kalau orang yang terserang berusia lanjut bisa kena rematik dan pegal-pegal karena infeksi. Menurut Dien Tan gula pasir yang dikeranjingi masyarakat banyak itu sudah tak mengandung gizi. Yang tinggal hanya kalorinya. "Gula aren dan gula kelapa lebih baik nilai gizinya," kata Dien Tan. Kedua macam gula itu unggul dalam kalori, protein, lemak dan zat-zat makanan yang lain. Kanker Usus Proses penggilingan tebu secara masinal menyebabkan hilangnya zat makanan penting. Dalam proses pembuatan gula pasir ada gula yang tidak bisa menjadi kristal. Gula yang tak bisa dikristalkan ini disebut molasse atau tetes. Dien Tan menyayangkan, tetes yang mengandung gizi lebih tinggi dari gula pasir ini tidak diolah untuk makanan manusia. Tapi dijadikan makanan ternak. Padahal, katanya, di beberapa negara maju gula buangan ini jadi sumber makanan. Kalau harus memilih, Walujo Soerjodibroto juga akan memilih gula alami saja seperti gula merah, gula aren atau gula kelapa. Paling baik adalah gula dari buah-buahan. Selain gula, dari sini diperoleh pula serat yang sangat penting dalam mencegah kanker usus. Buat mereka yang sudah terbiasa memperoleh gula dari sumber alami menurut Walujo sebaiknya kebiasaan ini dipertahankan. Karena perubahan kebiasaan akan mengakibatkan guncangan. Untuk mendukung pendapatnya ini ia mengambil contoh penduduk Pulau Trestan Da Cunha di Laut Atlantik. Penduduk di situ tidak mengenal gula pasir. Ketika gunung berapi di pulau ini meletus tahun 1961, penduduk ramairamai diungsikan ke Inggris. Di sana mereka beralih ke gula pasir. Selang beberapa bulan gigi mereka mulai keropos. Kemudian disusul penyakit jantung dan diabetes. Semuanya karena perubahan gula alami ke gula pasir. Begitu menurut penelitian dokter Inggris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus