Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada kabar bagus. Kita punya vaksin (flu burung).” Ungkapan penuh sukacita ini dilontarkan Dr Anthony S. Fauci, Direktur Institut Nasional Penyakit-penyakit Menular dan Alergi, Amerika Serikat, dua pekan lalu. Hatinya berbunga-bunga karena uji coba vaksin flu burung subtipe H5N1 pada manusia menuai hasil bagus. Vaksin baru itu diproduksi Sanofi Pasteur, perusahaan pembuat vaksin kenamaan asal Prancis.
Uji coba mulai dilakukan di Amerika, April lalu, pada 450 orang dewasa sehat berusia di bawah 65 tahun. Tubuh para relawan disuntik vaksin flu burung buatan Sanofi, lalu tingkat kekebalan mereka dipantau terus. Hasilnya menggembirakan. Vaksin mampu menghasilkan respons kekebalan yang kuat pada 115 relawan.
Keadaan 300 relawan yang lain masih dianalisis. Sebagai pengawas uji coba, Fauci berharap hasilnya sama dengan yang 115 orang. Uji klinis juga akan segera dilakukan pada anak-anak dan orang di atas umur 65 tahun.
Ini temuan sangat mengesankan yang akan bisa menangkal ancaman flu burung alias avian influenza terhadap umat manusia. Virus yang semula menyerang unggas ini ternyata bisa menclok di tubuh manusia. Jika sampai berkombinasi dengan virus flu pada manusia dan bermutasi, akan tercipta virus baru yang lebih ganas.
Bukan tidak mungkin juga virus hasil mutasi mampu menular dari manusia ke manusia. Kalau hal itu terjadi, pandemik flu burung menjadi sulit dielakkan. Mungkin jutaan orang akan menderita atau meregang nyawa. ”Pasti lebih besar dampaknya dibanding SARS (severe acute respiratory syndrome),” ujar Dr Shigeru Omi, Direktur Badan Kesehatan Dunia (WHO) Wilayah Pasifik Barat.
Penularan virus flu burung ke manusia pertama kali diketahui di Hong Kong pada 1997. Saat itu, tercatat 18 orang terinfeksi dan enam orang di antaranya meninggal. Sejak 2003, virus ini telah merenggut nyawa 57 dari 112 orang yang terinfeksi di Asia. Menurut WHO, empat kasus korban meninggal ditemukan di Kamboja, 17 di Thailand, 90 di Vietnam, dan satu kasus di Indonesia.
Iwan Iswara Rafei, 37 tahun, warga Serpong, Tangerang, Banten, dinyatakan positif meninggal akibat infeksi flu burung. Sementara itu, dua anaknya, yakni Thalita Nurul Azizah dan Sabrina Nur Aisah, yang meninggal beberapa hari kemudian, dinyatakan negatif flu burung. Orang yang terkena flu burung akan mengalami demam tinggi (lebih dari 38 derajat Celsius), sakit kepala dan tenggorokan, batuk, pilek, dan nyeri otot. Dalam waktu singkat, penderitaannya menjadi lebih berat dengan munculnya radang paru-paru. Jika tak segera ditangani secara tepat, penderita bisa menemui ajal.
Selain menelan korban jiwa manusia, jutaan unggas di dunia juga mati akibat terinfeksi flu burung, atau lantaran dibantai untuk menghindari penyebaran virus tersebut. Langkah drastis memang diperlukan agar terkaman flu burung tak makin menjadi-jadi, apalagi sampai menimbulkan pandemik.
Penyakit jenis flu memang terkenal ganas jika belum ditemukan obatnya. Selama abad ke-20, tercatat tiga kali pandemik flu terjadi. Pada 1918-1919, berjangkit flu Spanyol yang menewaskan 20-50 juta orang di seluruh dunia. Selanjutnya, pada 1957-1958, virus flu Asia bergentayangan mencari korban. Pertama kali terdeteksi di Cina pada Februari 1957, virus itu kemudian menyebar ke Amerika Serikat pada Juni, dan menelan korban sekitar 70 ribu jiwa. Gonjang-ganjing akibat virus flu juga terjadi pada 1968-1969 dengan munculnya flu Hong Kong. Pertama diketahui di Hong Kong pada awal 1968, pada akhir tahun virus itu telah menyebar ke Amerika Serikat. Buntutnya, sekitar 34 ribu orang tercabut nyawanya.
Pandemik semacam itulah yang ingin dihindari para ahli virus flu dunia. Mereka tak ingin flu burung menebar mimpi buruk yang sama. Itu sebabnya, berbagai penelitian terus dilakukan untuk mencegah penyebaran virus flu burung. Salah satunya adalah membuat vaksin flu burung untuk manusia, seperti yang dilakukan perusahaan Sanofi Pasteur, Prancis.
Cara pembuatan vaksin flu dimulai dengan mengisolasi virus dari sel-sel inang yang terjangkit. Virus lalu ditumbuhkan dalam sel telur ayam, dan dinonaktifkan dengan formaldehyde. Kemudian virus ”mati” itu disuntikkan ke tubuh manusia sebagai vaksin. Harapan di balik tindakan itu adalah munculnya antibodi di tubuh manusia untuk melawan vaksin tersebut.
Kehadiran antibodi itulah yang bakal membantu orang tersebut memiliki kekebalan untuk menangkal infeksi virus. Hal ini pula yang diharapkan terjadi dalam pengujian vaksin flu burung terhadap 450 sukarelawan di Amerika. Walau baru sebagian yang akhirnya terbukti memiliki kekebalan, hasil ini sungguh menggembirakan. ”Ini perkembangan yang sangat menjanjikan, dan kami sangat gembira melihatnya,” kata Dick Thompson, juru bicara WHO di Jenewa.
Sambutan senada diungkap Profesor Malik Peiris, ahli mikrobiologi Universitas Hong Kong. Meski masih banyak tahap yang mesti dilalui sebelum vaksin ini bisa digunakan secara luas, temuan itu merupakan tahap penting dalam memerangi flu burung.
Departemen Kesehatan Hong Kong tak mau gegabah dan tergesa-gesa memesan vaksin ke Sanofi Aventis. Sebelum keputusan diambil, pejabat setempat masih akan memonitor perkembangan dari pengujian vaksin itu hingga tuntas. Mereka ingin kepastian bahwa vaksin itu terbukti aman dan efektif bagi manusia.
Menurut Gabriel Choi Kin, Ketua Asosiasi Dokter Hong Kong, uji coba itu baru dilakukan pada populasi di Amerika. Dengan begitu, belum ada jaminan akan efektivitas vaksin flu burung itu jika digunakan oleh populasi di Asia. ”Kami masih menunggu pengujian-pengujian berikutnya,” katanya.
Hal senada disuarakan Dr Tjandra Yoga Aditama, spesialis paru dan pernapasan, Bagian Pulmonologi FKUI/RS Persahabatan, Jakarta, dan Dr Lina Herlina Soemara, ahli vaksin dari Biofarma, Bandung. Selain jumlah sampel sukarelawan yang masih sangat sedikit, usia mereka juga belum mewakili usia manusia secara keseluruhan. Setidaknya, kalangan anak-anak belum tersentuh uji vaksin—hal yang juga diakui Fauci. Apalagi, asal-usul para sukarelawan juga belum multiras. Padahal, tak tertutup kemungkinan, faktor ras mempengaruhi efektivitas vaksin.
Karena itulah Tjandra menyebut temuan itu masih prematur. ”Saya katakan, hingga saat ini belum ada flu burung untuk manusia,” katanya. Dalam ungkapan berbeda, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan, saat dihubungi Ami Afriatni dari Tempo News Room, menyatakan, pengembangan vaksin untuk pencegahan flu burung bagi manusia masih jauh panggang dari api. ”Untuk lisensi sebuah vaksin butuh waktu, setidaknya satu hingga dua tahun setelah uji klinis,” kata Lina pada kesempatan terpisah.
Sejauh ini, baru pemerintah Amerika yang memesan sebanyak dua juta dosis vaksin flu burung ke Sanofi. Bahkan negosiasi untuk menambah pesanan sudah pula dilakukan. Jika tahap-tahap pengujian vaksin tuntas dan vaksin flu burung buatan Sanofi terbukti efektif dan aman bagi manusia, masih ada satu soal lagi. Ini terkait dengan kapasitas produksi perusahaan tersebut. Maklum, selain peminatnya akan membludak, vaksin flu burung harus dipakai dalam dosis tinggi. Dosis yang dibutuhkan per orang—seperti yang dipakai dalam pengujian—dua kali lipat dibanding penggunaan vaksin flu biasa.
Masalah berikutnya adalah kemungkinan virus flu burung bermutasi. Hal serupa pernah terjadi pada 1997 saat virus ini berjangkit di Hong Kong. Kala itu, vaksin flu burung untuk manusia sudah disiapkan, tapi tidak pernah sepenuhnya bisa dikembangkan dan digunakan. Gara-garanya, virus flu burung telah bermutasi sehingga vaksin tak lagi mempan. Tentu saja, Sanofi, Fauci, Thompson, dan kawan-kawan berharap hal itu tidak terjadi. Dengan begitu, usaha mereka tak harus dimulai lagi dari titik nol.
Dwi Wiyana (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo