Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tiga Meneropong HIV

Kemungkinan bayi tertular HIV dari ibu sebesar 40 persen. Melalui screening faktor risiko, kemungkinan tertular dapat diketahui dengan cepat.

29 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yanti—sebut saja begitu—tak pernah punya firasat apa pun saat mengandung Ade sepuluh tahun lalu. Kehamilannya berjalan lancar tanpa masalah yang berarti. Dia hanya mengalami sakit beberapa kali. "Pernah sekali diare berat," kata perempuan 30 tahun ini, Selasa pekan lalu.

Sekitar dua tahun setelah Ade lahir, suami Yanti tervonis mengidaphuman immunodeficiency virus(HIV) alias virus pelemah daya tahan tubuh.Rupanya, sebelum menikah, sang suami sering mengkonsumsi narkotik lewat jarum suntik. Terkejut? Sudah pasti. Tapi tak sedikit pun Yanti curiga dia dan Ade (ini juga nama samaran) ikut terinfeksi.

Kecurigaan baru timbul karena Ade terus sakit. Flu, batuk, serta diare datang silih berganti dan tak kunjung sembuh. Setahun setelah suaminya dinyatakan positif, Yanti memutuskan memeriksakan diri dan anaknya. Ternyata benar, mereka juga positif tertular. "Saat itu saya sangat marah kepada suami," ujarnya. "Tapi, mau marah-marah seperti apa pun, kami sudah telanjur terinfeksi."

Beruntung, hingga saat ini Ade patuh mengkonsumsi obatantiretroviral (ARV) untuk memperlambat pertumbuhan HIV. Perkembangan fisiknya tetap normal seperti anak lain. Sekolahnya pun lancar hingga sekarang duduk di bangku kelas IV sekolah dasar. Tapi hingga kini Ade belum tahu apa alasannya harus terus minum obat. "Saya belum bilang dia sakit apa," kata Yanti. "Takut dia dijauhi teman-temannya."

Penularan HIV dari ibu ke anak jamak terjadi. Risiko penularan ibu kepada bayinya sebesar 40 persen. Sebagian besar infeksi pada anak itu ditularkan saat masih dalam rahim sang ibu, sewaktu persalinan, dan saat menyusui. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan pada 2014 mencatat, dari 76 persen kasus HIV-AIDS yang tersebar di Indonesia, 29 persen pengidap adalah perempuan dan 2,9 persen anak usia di bawah 15 tahun. "Anak penderita HIV sebagian besar tertular dari ibu," kata dokter spesialis anak, Debbie Latupeirissa.

Badan Kesehatan Dunia sudah menerbitkan pedoman untuk mengetahui kemungkinan bayi tertular HIV dari sang ibu sedini mungkin. Diagnosis dini ini sangat penting karena 20-30 persen bayi yang tertular virus menunjukkan gejala infeksi berat pada satu tahun pertama kehidupannya. Kalau tak segera diketahui penyebab dan ditangani dengan tepat, bisa muncul berbagai macam penyakit infeksi yang memperlambat pertumbuhan fisik dan mentalnya, hingga berujung pada kematian.

Selama ini, menurut Debbie, penegakan diagnosis biasanya dilakukan lewat tespolymerase chain reaction(PCR). Tes ini baru bisa dilakukan pada bayi berusia 4-6 minggu. Masalahnya, pemeriksaan tak tersedia di semua klinik kesehatan karena membutuhkan peralatan khusus dan tenaga ahli terlatih. "Biayanya pun mahal, lebih dari Rp 1 juta," ujar dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, itu.

Karena itu Debbie mencoba membuat metode sederhana untuk melakukan screening pada bayi yang bisa dilakukan di mana pun dan oleh semua tenaga kesehatan, termasuk bidan desa. Cara ini dikembangkannya saat menyusun disertasi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Metode screening ini berhasil membawa Debbie menyabet gelar doktor pada akhir Januari lalu.

Debbie mengumpulkan faktor risiko yang bisa menularkan HIV dari ibu hamil pada janinnya, seperti konsumsi ARV ibu, infeksi tuberkulosis, jenis kelamin bayi, dan cara persalinan.Debbie mengamati semua faktor risiko ini pada 100 bayi dan ibunya yang terinfeksi HIV di Rumah Sakit Fatmawati, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RSPI Sulianti Saroso, RSUP Persahabatan, Puskesmas Kecamatan Tebet, RSUD Tarakan, dan RS Budi Kemuliaan Batam pada 2006-2015. Dari hasil perhitungannya, ternyata tiga faktor yang paling mempengaruhi penularan adalah pengobatan ARV ibu, cara persalinan, dan infeksi tuberkulosis (TB) paru.

Ibu yang menderita TB paru dan HIV secara bersamaan bisa menyebabkan kemungkinan infeksi HIV naik 5,1 kali lipat dibanding ibu yang hanya terinfeksi HIV tanpa TB paru. Musababnya, jenis daya tahan tubuh yang menyerang TB paru sama dengan imun yang memerangi HIV. Saat ibu hamil dengan TB paru terinfeksi HIV, daya tahan tubuh justru akan membuat jumlah virus semakin banyak. "Ketika harus melawan, daya tahan tubuh itu justru membantu HIV berlipat ganda," kata Debbie. Untuk ibu yang menderita TB paru, Debbie memberi poin 1.

Persalinan juga bisa jadi perantara penularan HIV dari ibu pada bayi. Dalam persalinan normal, kepala bayi berusaha keluar dengan menerobos vagina ibu. Gesekan ini berisiko menimbulkan luka-luka kecil di kepala. Semakin lambat proses keluarnya, semakin besar risiko bayi mengalami luka. Darah ibu yang terinfeksi HIV bisa mengenai luka tersebut sehingga virus ikut masuk. Dari hasil penelitian Debbie, bayi yang dilahirkan dengan cara normal berisiko 9,2 kali tertular dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan lewat bedah caesar. Cara persalinan ini juga diberi skor 1.

Konsumsi ARV juga sangat berpengaruh pada kemungkinan penularan. Hasil penelitian Debbie menunjukkan bahwa mereka yang tak mengkonsumsi ARV bisa menulari anaknya 33,6 kali dibanding ibu yang mengkonsumsi ARV.Dia memberi skor 3 jika ibu tak mengkonsumsi obat ini dengan tepat.

Semua skor itu dikalkulasi. Kalau jumlah poin lebih dari 2, menurut Debbie, kemungkinan bayi tertular HIV besar. Untuk memastikannya, darah bayi tetap harus diuji dengan PCR. Tapi, kalaupun alat ujinya tak ada, dia mesti segera diberi ARV pencegahan.

Sedangkan jika nilainya kurang dari 2, kemungkinan tertularnya rendah. Namun darahnya tetap harus diuji untuk memastikan. "Jadi ini untuk screening saja," katanya.

Dokter spesialis anak Nia Kurniati tak terkejut jika poin konsumsi ARV paling tinggi. Menurut dia, konsumsi ARV merupakan salah satu kunci untuk mencegah penularan dari ibu kepada bayinya. Jika ibu taat meminum obat itu minimal enam bulan sebelum melahirkan, angka kemungkinan penularannya bisa menurun drastis. "Bisa mencegah sampai 99 persen," tutur Nia.

Masalahnya, menurut Nia, tak semua ibu pengidap HIV menyadari penyakitnya. Terkadang mereka baru tahu terinfeksi menjelang persalinan. Jika sudah begini, dokter akan berusaha menekan serendah mungkin risiko penularan. Salah satunya dengan menyarankan operasi caesar. Dengan diambil melalui pembedahan, kecil kemungkinan bayi terluka sehingga kontak langsung dengan darah ibu pun berkurang.

Setelah dilahirkan, bayi dengan ibu positif HIV akan diberi ARV pencegahan selama enam pekan. Sesudah itu, dia akan diperiksa untuk melihat status HIV-nya. Jika positif, pengobatannya akan dilanjutkan. Tes akan kembali dilakukan setelah bayi berumur 4-6 bulan.

Menurut Nia, kalau ibu rajin minum ARV, kondisinya sehat, persalinannya lancar, dan sang bayi juga diberi ARV pencegahan selama enam minggu pertama, kemungkinan tertular akan mengecil. "Yang semula 40 persen turun jadi 1 persen saja," tuturnya.

Hasil penelitian Debbie telah memperpanjang daftar perlawanan terhadap menjalarnya HIV. Sebuah ikhtiar agar tak semakin banyak anak yang bernasib seperti Ade.

Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus