Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Untung Rugi Jualan Pakaian Bekas atau Thrifting

Pakaian bekas atau thrifting semakin diburu konsumen karena harga yang relatif murah. Namun, apa kerugian dari sisi lain?

28 Februari 2023 | 12.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pakaian bekas impor atau thrifting semakin menjamur di Tanah Air. Lapak baju bekas daring maupun luring ada hampir di setiap kota. Bahkan, banyak pedagang yang menjual baju bekas per bal untuk dijual kembali oleh pihak ketiga. Mereka menawarkannya secara online maupun datang langsung ke toko.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak pakaian bermerek, harga murah, dan kualitas baik menjadi daya tarik konsumen memburu pakaian bekas yang berasal dari luar negeri. Bukan hanya mencari harga murah, cara ini juga dijadikan wujud peduli lingkungan guna mendukung slow fashion.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para penjual pakaian thrifthing ini bisa ditemui di berbagai kota, salah satunya di Bekasi, Jawa Barat. Pedagang pakaian bekas Nunik Unsaeni mengungkapkan usaha yang digelutinya cukup cerah belakangan ini. Remaja di kota ini kian banyak yang menyukai pakaian bermerek dengan harga murah.

"Saat ini masyarakat, khususnya muda-mudi Bekasi ingin memiliki baju yang bermerek dengan harga yang murah," kata Nunik.

Hal yang diungkapkan Nunik bisa dilihat dari banyaknya toko pakaian bekas di berbagai sudut Kota Bekasi. Para remaja di sana selain suka pakaian bermerek juga memilih pakaian bekas karena model atau bentuk yang unik, corak atau motif yang jarang dan berbeda dari model baju yang dijual di pasaran.

Dia mengaku, saat memulai usaha tersebut delapan tahun silam merogoh kocek sebesar Rp 1,2 juta. Kini keuntungan yang didapat mencapai Rp 10 juta per bulan. Uniknya, peminat baju di toko ini tidak hanya berasal dari Kota Bekasi tetapi juga kota lain, karena di samping berjualan di toko fisik, ia juga berjualan di platform Tokopedia dan Carousell.

"Dalam hal memilih pakaian bekas yang saya jual, saya tidak pernah beli per bal karena risikonya besar, banyak pakaian yang rusak total hingga tidak bisa dijual. Saya beli satuan, memang harganya lebih mahal, tapi minim risiko dan sesuai dengan yang saya harapkan. Saya biasanya ambil 100 pakaian dan minimal 50 pakaian. Tapi jika kondisi pakaian banyak yang rusak, saya hanya mengambil bisa 5 pakaian saja. Cuma jarang dapat yang bermerek, kalau pun ada dijual dengan harga di atas Rp 35.000," ujar Nunik.

Nunik membanderol baju yang dijualnya Rp 35.000-70.000 ribu. Sedangkan untuk celana, harga yang diterapkan berkisar sekitar Rp 70.000-90.000 ribu. Dia menambahkan kini pakaian yang berasal dan bermerek Korea dan Jepang memiliki peminat yang lebih banyak. Kebanyakan baju dan celana itu berbahan dan desain  unik.

Pakaian bekas berdampak pada lingkungan
Tatang Khalid Mawardi, pengajar mata kuliah tekstil di Esmod Jakarta dan Politeknik Kreatif Sembiring, mengatakan sampah pakaian bekas impor ini semestinya menjadi perhatian sebagai dampak tren thrifting.  

“Semakin banyaknya pakaian bekas masuk ke Indonesia di setiap kota, berarti residunya banyak, kita yang rugi. Di satu kota saja bisa menimbun limbah fashion pakaian bekas impor. Ada berapa banyak residu yang tertimbun dan tidak terkontrol. Alhasil, bukannya menjaga lingkungan tapi jadi penyumbang limbah fashion juga," ujarnya Tatang.

Tren thrifting, menurut Tatang, sebetulnya berdampak positif pada lingkungan jika pakaian bekas yang dijajakan berasal dari produk lokal sehingga dapat mengurangi jumlah limbah fashion dalam negeri karena pakaian bekas terus bersirkulasi dan memberikan manfaat, meski berganti pengguna.

"Peran pemerintah terhadap jual beli pakaian thrifting sangat diperlukan. Sudah ada payung yang dimiliki mestinya bisa terapkan secara maksimal untuk mengurangi dampak limbah fashion bekas impor yang semakin tak terkendali," lanjutnya.

Menurut Tatang, produk lokal dalam negeri sekarang kualitasnya juga semakin bagus. Banyak produk lokal yang sifatnya slow fashion. Para pemilik usaha fashion juga terbuka dengan konsumen untuk memberi masukan tentang bahan, mode, dan corak yang dibeli. Lantas, membuat pelaku usaha tersebut terus belajar membenahi kualitas produksi dan membuat pakaian dengan bahan-bahan yang diminati atau digemari pasar di dalam negeri. 

Untuk mengatasi fast fashion, thrifting bukan caranya. Produsen harus ikut bertangung jawab atas pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari produknya. Produsen bisa mendaur-ulang kembali dijadikan serat, balik lagi jadi bahan, kain jadi baju baru.

"Atau cara lain bisa dengan membangun komunitas atau gerakan tertentu yang bertanggung jawab untuk khusus memilah pakaian berdasarkan jenis bahan dan mengolahnya kembali atau reworked. Misalnya memilih bahan jins, pilih yang sama terhadap berat bahan jins lalu membuat pola desain dengan gaya baru hingga bisa dijual kembali. Beberapa orang kreatif menangkap peluang ini dengan memberikan sentuhan baru pada produk-produk bekas itu sehingga terkesan baru. Memanfaatkan pakaian bekas sama artinya dengan memperpanjang usianya sehingga ikut berperan dalam menyelamatkan bumi dari limbahnya," terangnya.

Tidak ada perhitungan pasti berapa banyak limbah fashionn di Indonesia. Namun, earth.org, platform berita dan data lingkungan, baru-baru ini melaporkan, dari 100 miliar helai pakaian yang diproduksi setiap tahun, 92 juta ton berakhir di tempat pembuangan sampah. Singkatnya, ini setara dengan truk sampah besar penuh pakaian yang berakhir di tempat pembuangan sampah setiap detik. Jika tren ini berlanjut, jumlah limbah fashion diperkirakan akan melonjak hingga 134 juta ton per tahun pada akhir dekade ini.

Mengingat sejumlah fakta dampak buruk industri tekstil, sudah saatnya masyarakat ikut berpartisipasi menyelamatkan bumi dengan cara bijak dalam berpakaian. Dia membagikan beberapa cara agar pakaian bisa dimanfaatkan secara maksimal dan tidak berakhir menjadi sampah. Caranya dengan membeli pakaian sesuai kebutuhan, hindari perilaku belanja kompulsif, sebelum beli cek dulu di lemari apakah sudah punya atau belum. Coba dengan membeli pakaian dengan warna yang sama atau senada agar baju yang dibeli bisa dipadupadankan dengan pakaian yang sudah dimiliki. 

“Jika ingin mengurangi pakaian di dalam lemari, maka lakukan cara yang diterapkan Marie Kondo. Tapi pakaian hasil decluttering bukan untuk dijual, sebagai bakti sosial kepada orang yang membutuhkan,” ujarnya.

Tak lupa, produsen juga ikut andil dalam mengatasi pencemaran limbah fashion dengan mengambil kembali fashion yang sudah tidak terpakai karena tren atau musim telah berganti.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus