Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Wajah Lain <font color=#6633CC>Facebook</font>

16 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FACEBOOK ternyata juga bisa untuk menjerat buron. Ini yang tak disadari Carmel Corbo dan Gordon Poyser, warga Canberra, Australia. Pasangan ini meminjam uang $A 150 kepada MKM Capital untuk membeli rumah. Saat jatuh tempo, pasangan ini tak sanggup membayar, lalu kabur.

Menurut prosedur hukum, bila tersangka tak hadir di ruang sidang, pengadilan akan menerbitkan surat gugatan. Nah, surat itu harus disampaikan penggugat kepada tersangka. Biasanya dokumen itu cukup dikirim via pos atau kurir ke alamat tersangka. Namun kali ini tak bisa karena pasangan itu sudah telanjur lari.

Pengacara MKM Capital pun mengumumkan pencarian keduanya di koran Canberra Times. Nihil. Carmel dan Gordon bak hilang ditelan bumi. Sialnya (atau untungnya), mereka tak betul-betul ngumpet. Dalam persembunyian, ternyata mereka tetap aktif ber-Facebook. Ini terpantau oleh para pengacara MKM—juga melalui Facebook—lewat daftar teman dan aktivitas mereka di situs jaringan sosial itu.

Lembaga pembiayaan itu pun memohon Mahkamah Agung Australia menetapkan Facebook sebagai media yang sah untuk menyampaikan dokumen gugatan. Desember lalu, Mahkamah mengabulkan permohonan itu. Australia akhirnya menjadi negara pertama di dunia yang mengakui Facebook sebagai media yang legal di pengadilan.

Facebook juga berurusan dengan hukum di Toronto, Kanada. Pada malam tahun baru 2008, Stephanie Rengel, 14 tahun, dibunuh dua rekannya, yang berusia 15 dan 17 tahun. Undang-Undang Kriminal Remaja (The Youth Criminal Justice Act) negara itu melarang menyiarkan nama korban atau pelaku di bawah umur alias kurang dari 18 tahun, kecuali jika orang tua korban mengizinkan demi keperluan pelacakan.

Maka, ketika pembunuhnya tertangkap, Kepolisian Toronto menggelar konferensi pers dan meminta media tak menyebut nama. Mereka yang melanggarnya berisiko dikirim ke penjara. Tak dicantumkan di media massa, informasi itu justru muncul panjang-lebar di Facebook. Teman-teman Stephanie membuat groups—kelompok virtual di Facebook—untuk mengenang almarhumah. Bukan hanya nama, foto Stephanie dan pembunuhnya malah dipajang besar-besar.

Corey Hafezi, pengelola groups itu, tak menyadari ia sudah melanggar Undang-Undang Kriminal Remaja. Alain Charette, juru bicara Departemen Hukum, menyatakan larangan publikasi di media itu juga berlaku di Internet, termasuk Facebook. Kelompok maya ini pun dibredel demi hukum. Namun informasi yang pernah ditayangkan sudah telanjur menyebar.

Setelah lima tahun berkiprah, kekuatan Facebook menyebarkan informasi ini memang mulai dirasakan ”mengancam” berbagai pihak. Pemerintah Iran dan Suriah, misalnya, sampai memblokir situs tersebut. Pemerintah Iran—yang juga menutup akses ke YouTube dan MySpace—khawatir Facebook menjadi sarana penggalangan kekuatan oposisi. Sedangkan Suriah tak ingin situs ini jadi sarana mengkritik pemerintah. Negara ini juga takut pengaruh Israel menyusup melalui Facebook.

Tak hanya soal negara, Facebook dianggap mengacaukan urusan rumah tangga. Edward Richardson berang karena istrinya, Sarah, mengubah status di Facebook dari married menjadi single. Warga Staffordshire, Inggris, itu mene­lepon Sarah, tapi tak dijawab. Pria 41 tahun itu lalu menyambangi rumah mertuanya dan menikam sang istri hingga tewas.

Facebook memang tak bisa dianggap main-main. Pemerintah Maroko mencokok Fouad Mourtada, insinyur 26 tahun yang ”iseng-iseng” membuat akun Pa­ngeran Moulay Rachid, adik Raja Mohammed VI. Mourtada ditangkap pada Maret 2008 dengan tuduhan ”kejahatan pemalsuan identitas”. Pemerintah Maroko menyatakan satu-satunya sumber informasi keluarga kerajaan adalah Maghreb Arabe Presse—kantor berita resmi negara itu—bukan situs web.

Soal akun palsu juga menjerat Grant Raphael. Warga London, Inggris, itu terbukti membuat akun palsu atas nama rekan bisnisnya, Matthew Firsht, yang menyebut Firsht homoseksual. Raphael terkena kasus pencemaran nama baik dan dihukum membayar denda 22 ribu pound sterling.

Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus