Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Waktunya Mengubah Budaya Pendidikan yang Memanusiakan dan Tujuannya

GSM mengadakan Gerakan Turun ke Sekolah (GTS) dengan tujuan mengubah budaya pendidikan yang memanusiakan dan memberikan ruang kesetaraan.

5 Agustus 2024 | 23.13 WIB

Ilustrasi anak siswa Sekolah Dasar (SD). TEMPO/Prima Mulia
Perbesar
Ilustrasi anak siswa Sekolah Dasar (SD). TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Banyaknya kesenjangan pada anak muda sekarang berdampak pada banyak hal, termasuk mental. Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) pun mengadakan Gerakan Turun ke Sekolah (GTS) dengan tujuan mengubah budaya pendidikan yang memanusiakan dan memberikan ruang kesetaraan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“GTS merupakan wadah bagi anak muda untuk bisa ikut berkontribusi dalam perubahan pendidikan di Indonesia dengan cara turun ke sekolah. GTS telah dilaksanakan sebanyak dua angkatan, yang mana angkatan satu pada Maret-April 2024 dan angkatan dua pada Juli 2024,” ujar pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal, Senin, 5 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menambahkan apa yang membedakan GTS dengan gerakan-gerakan sebelumnya. Salah satunya lebih berfokus pada pemaksimalan potensi anak muda. GTS diharapkan mampu menjadi solusi atas persoalan kesenjangan pada anak muda di era sekarang yang dapat dirangkum menjadi tiga, yaitu kesenjangan sosial, spiritual, dan ekologi.

Kesenjangan sosial terjadi ketika ada perbedaan antara dirinya dengan orang lain yang biasanya kerap muncul. Contoh kesenjangan adalah ketika di dalam rentang umur yang sama terdapat orang-orang yang seakan bernasib amat baik dengan kekayaan materialnya tetapi di sisi lain juga ada yang dianggap kurang beruntung dan harus berjuang secara keras tanpa jaminan akan berujung pada hasil yang sama. Dampaknya adalah timbul polarisasi, bullying, kekerasan, hingga keterbelahan sosial yang parah di masyarakat,” jelasnya.

Pendidikan yang kurang kritis
Rizal juga menyoroti kesenjangan spiritual pada anak muda sekarang dengan adanya jurang antara dirinya saat ini dengan di masa depan. Hilangnya jati diri berakibat pada anak muda yang kehilangan eksistensi diri dan kemampuan untuk mengendalikan diri. Efeknya adalah anak muda yang semakin stres, kehilangan energi hidup, hingga tingkat bunuh diri yang semakin tinggi.

“Contohnya kasus guru muda SMK yang melakukan aksi bunuh diri tetapi terlebih dulu membuat pesan umum ke masyarakat untuk tidak mengalami permasalahan hidup seperti dirinya,” ungkapnya.

Rizal menambahkan dunia pendidikan yang kurang kritis mengajarkan cara berpikir untuk dapat memilah, memaknai, dan merefleksikan juga memperparah persoalan deindividuasi di tengah batas negara-negara dunia yang semakin tipis. Kemudian, kesenjangan ekologi menyoal pada keberlanjutan dari alam agar senantiasa terawat dan terjaga. Harapannya, generasi muda mampu menjadi pemimpin tidak hanya untuk diri tetapi untuk masa depan bersama.

“Mereka yang ditanamkan agar memiliki konsisten dan komitmen yang kuat untuk terus bergerak di aktivitas sosial dengan harapan menjalar pada upaya membenahi permasalahan lingkungan,” tegasnya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus