Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raudal Tanjung Banua
Penikmat perjalanan, tinggal di Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mataram, saya rasakan banyak berubah. Setidaknya jika dibandingkan dengan kedatangan saya delapan tahun silam. Ia terus berbenah, lebih bersih dan tertata. Jalan utama dari Pelabuhan Lembar, misalnya, kini berupa jalan dua jalur yang lebar sehingga mobil tumpangan saya sangat cepat melaju. Lumayan mengurangi rasa lelah setelah menyeberang selama 4,5 jam dari Padang Bai, Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi, ada yang tak berubah, yakni detak kaki kuda penarik cidomo di sepanjang jalan. Cidomo nama lain dari dokar atau sado, sama-sama ditarik kuda, hanya rodanya menggunakan ban mobil. Begitu pula selokan dan sungai masih tampak dipenuhi pokok kangkung yang terbilang khas. Batangnya gembur dan daunnya lebat, tapi getas jika dimasak. Selain kangkung, bagi saya, tahu Lombok juga termasuk unik; teksturnya agak kasar tapi lembut saat dikunyah. Alhasil cidomo, kangkung, dan tahu Lombok tiga hal yang serta-merta teringat ketika saya datang kembali akhir tahun 2018. Namun, berbarengan dengan itu, satu hal menolak dilupakan: Ampenan.
Ampenan adalah kota tua Mataram, bekas pelabuhan lama yang dibangun pada 1800 oleh Kerajaan Karangasem-Lombok. Ampenan tumbuh menjadi pelabuhan tersibuk di kawasan timur Nusantara, bersaing dengan Makassar. Naturalis Inggris kenamaan, Alfred Russel Wallace, pernah singgah pada 1856. Kurang-lebih 30 tahun kemudian, tepatnya 1894, Ampenan diserang Belanda, dan Raja Agung Ngurah dibuang ke Batavia. Sejak itu, Ampenan berada di bawah kekuasaan kolonial.
Setelah Indonesia merdeka, Pelabuhan Ampenan masih bergairah setidaknya sampai akhir 1970-an. Jauh sebelum Pelabuhan Lembar dibangun, Ampenan jadi pelabuhan penyeberangan ke Bali. Kapal-kapal pembawa logistik atau bahan pokok bagi Pulau Lombok juga merapat di sini. Perahu-perahu nelayan Bugis juga berderet di pantainya yang putih.
Rentang sejarah yang panjang dan posisinya sebagai kota pelabuhan membuat Ampenan dihuni masyarakat multikultur. Sasak, Bugis, Makassar, Banjar, Melayu, Tionghoa, Arab, Bali, Jawa, dan Madura hidup berbaur. Ini terlihat dari nama-nama kampung. Misalnya Kampung Bugis, Kampung Banjar, atau Kampung Melayu. Masyarakat keturunan Arab dan Tionghoa yang pedagang mendiami pusat kota dengan rumah-rumah yang berarsitektur khas kota tua.
HARI pertama datang, saya sudah menginjakkan kaki di Ampenan tanpa terduga. Saat itu saya hendak membeli kartu telepon. Gilang Sakti Ramadhan, anggota Komunitas Akarpohon, tempat saya menginap, mengantar saya naik sepeda motor. Namun, karena sudah malam, konter di sekitaran Mataram tutup. Gilang terus memacu sepeda motornya, dan tahu-tahu sudah sampai di Ampenan.
Memang, Ampenan hanya berjarak 10 kilometer dari pusat Kota Mataram. Ia hidup hingga jauh malam, ditandai oleh kios pulsa dan warung kaki lima yang masih buka. Bahkan sesekali cidomo lewat di antara kendaraan bermotor yang masih terbilang padat. Ini jauh berbeda dari bayangan saya. Konon, pasca-kerusuhan tahun 2000 yang menyasar rumah-rumah orang Tionghoa, Ampenan sepi dan ditinggalkan.
Namun setelah itu, menurut Gilang, Ampenan bangkit lagi. Warga Tionghoa yang sempat pindah ke Bali perlahan kembali dan memulai hidup baru.
"Dulu itu bukan orang sini pelakunya, kok. Para perusuh datang dari luar Ampenan, menjarah dan membakar," Gilang menceritakan huru-hara 17 Januari 2000 itu. Ia tahu karena rumahnya terletak dekat bekas bioskop Ramayana. "Di gang belakang Ramayana keluarga saya tinggal," katanya menunjuk seberang jalan.
Saya mengangguk. Setelah membeli kartu, kami menuju pantai. Saya berencana menjelajah kota keesokan hari saja.
Di Pantai Ampenan, para pengunjung ramai bersantai di warung-warung tenda yang ditata sebagai pusat kuliner. Pelataran parkirnya luas, tersedia gazebo, bangku-bangku, dan toilet umum. Sebuah monumen perahu layar dibangun sekitar 500 meter di tengah laut. Beton pembatas laut dibuat untuk mengantisipasi abrasi, sekaligus sebagai jalan di bibir pantai. Para pemancing menghabiskan malam di situ.
Laut Ampenanyang tak lain adalah Selat Lomboktermasuk tenang. Mungkin karena itu ia cocok sebagai pelabuhan. Meskipun begitu, sejak awal 1980-an, Ampenan mulai ditinggalkan lantaran terjadi pendangkalan akibat lumpur Sungai Jangkok. Lokasi pelabuhan juga makin sempit, sementara muatan pelabuhan meningkat.
Maka dipindahkanlah pelabuhan penyeberangan ke Lembar, Lombok Barat, dan pelabuhan barang ke Labuhan Haji, Lombok Timur. Kemudian Bandara Selaparangtetangga Ampenanditutup pula, menyusul beroperasinya Bandar Udara Internasional Lombok di Lombok Tengah. Sejak itu, nama Ampenan perlahan surut, digantikan Mataram yang seolah-olah mengambil alih segalanya dengan Cakranegara sebagai pusat pertumbuhan baru.
KEESOKAN hari, saya kembali terdampar di Ampenan. Mula-mula saya hendak bersepeda dari sekretariat komunitas Akarpohon di bilangan Jalan Swakarya, Kekalik. Saya meminjam sepeda dayung cerpenis Tjak S. Parlan. Tapi, seorang kawan lama, Sabarudin, tiba-tiba datang dan mengajak saya berangkat dengan mobilnya. Karena gerimis mulai turun, maka saya putuskan menerima ajakannya, hanya ia tergelak ketika saya bilang, "Ke Ampenan."
"Wah, jauh amat," katanya membuat ironi. Tentu bukan perkara dekat yang membuat kita datang ke suatu tempat, tapi sejauh mana ia sanggup memanggil kita singgah.
Di atas jembatan Sungai Jangkokyang menjadi batas Ampenan dan Mataramsaya minta berhenti. Sungai ini dulu alur kapal-kapal kecil, sedangkan di muaranya yang lebar kapal-kapal besar sandar. Namun kini sungai sudah sempit dan dangkal.
Tak jauh dari jembatan, terdapat alun-alun kecil yang dijadikan ruang terbuka hijau. Di sisi depannya terdapat Monumen Jangkar dihiasi deretan huruf warna-warni dari aluminium bertulisan "Kota Toea Ampenan". Lokasi itu menjadi semacam bundaran di mana kendaraan yang datang dan keluar Ampenan berputar lalu-lalang. Maklum, Ampenan terletak di jalur utama ke Pantai Senggigi dan Gili Trawangan, terus ke Lombok Utara, wilayah paling parah terkena dampak gempa bumi beberapa waktu lalu. Di Ampenan dan Mataram, jejak-jejak gempa masih terlihat dari bangunan yang rusak.
Saya berdiri di ujung Jalan Niaga (penulisan nama jalan menggunakan tiga aksara: Latin, Arab, dan Sanskerta) yang bertemu dengan ujung Jalan Yos Sudarso, masing-masing merupakan jalan satu arah untuk masuk dan keluar Ampenan. Pertemuan kedua ujung jalan itu berbentuk siku, dan di titik siku itulah saya berdiri memandangi deretan bangunan tua. Dinding bangunan kebanyakan dicat putih dan sedikit warna terang pada pintu, jendela, dan kusen.
Deretan bangunan tua di Lingkungan Melayu Timur itu, selain sebagai rumah tinggal, difungsikan sebagai toko. Dari toko roti, busana, warung kelontong, kedai bahan pokok, bahan bangunan, hingga pusat oleh-oleh. Bangunan umumnya tak terlalu tinggi, tak lebih dari dua tingkat. Namun banyak toko tutup.
Pantai Ampenan. Foto: Raudal Tanjung Banua
Saya jadi ingat kisah semalam. Sehabis kunjungan tak terduga ke Ampenan, Kiki Sulistyopenyair dan pendiri Komunitas Akarpohonbercerita tentang kota kelahirannya itu. Ampenan, kata dia, sudah banyak berubah. Dugaannya ada campur tangan politik.
"Begitu kerusuhan pecah di Ampenan, dalam waktu cepat, sebuah mal besar berdiri di Cakranegara, menandai perpindahan pusat pertumbuhan ekonomi ke sana," katanya lirih.
Dia mengenang bioskop Ramayana dulu menjadi pusat keramaian. Selain itu, hampir semua koran ibu kota masuk ke kios-kios koran di Ampenan, dan dari situ pula ia bersentuhan dengan karya sastra nasional.
Seiring dengan surutnya Ampenan, kehidupan keluarga Kiki ikut surut. "Dulu ibu berdagang kecil-kecilan dekat bioskop dan ayah tukang reparasi sambil sesekali jadi calo tiket. Itu cukup untuk hidup," kata Kiki. Tapi semua berubah dan memaksa mereka keluar dari Ampenan. Rumah keluarga besar dijual, dan masing-masing pergi membawa nasibnya sendiri.
Semua pengalaman itu tertuang dalam buku puisi Kiki yang memenangi Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? Spontan saya kirim WhatsApp kepadanya, "Di Ampenan, Kiki, masih banyak yang kucari…"
PUSAT Kota Ampenan terletak di simpang lima dengan pola jalan serupa jeruji sepeda: memusat di satu titik dan melebar ke sisi luar. Di titik tersebut, lima pangkal jalan bertemu: Jalan Pabean, Jalan Meninting Raya, Jalan Niaga, Jalan Yos Sudarso, dan Jalan Saleh Sungkar. Jalan Pabean merupakan jalan ke pantai atau bekas pelabuhan; Jalan Meninting Raya menuju Pantai Senggigi. Tiga ruas jalan terakhir merupakan pusat pertokoan.
"Ada beberapa versi asal-usul nama Ampenan," ujar Sabarudin. "Ada yang bilang dari nama daun pohon ampan, dulu banyak di sini. Sebagian menganggap dari kata amben, tempat duduk yang lapang. Tapi ada yang percaya dari nama putri kesayangan Raja Selaparang."
Kami menuju pantai. Suasana siang tampak lengang dibanding malam hari. Menurut Sabarudin, sore akan ramai karena orang ingin menonton sunset dengan latar Gunung Agung, Bali. Kemudian saya persilakan Sabarudin pergi, nanti bisa menjemput lagi. Saya merasa lebih bebas menyusuri kota seluas tak lebih dari 8 kilometer persegi ini dengan berjalan kaki. Ia setuju.
Saya menyusuri Jalan Pabean di antara gudang-gudang tua. Hanya sepi menyapa, meski jejak kejayaan silam tergurat megah. Saya melewati gerbang Kampung Melayu Bangsal dan Melayu Tengah yang asri. Saya bayangkan alangkah eloknya kalau satu di antara bangunan difungsikan sebagai museum yang bakal mengabadikan riwayat Ampenan. Sayang, kota-kota tua di Tanah Air kita jarang dilengkapi bangunan memorial tersebut.
Sebuah vihara dengan warna merah menyala terlihat mencolok di antara deretan gudang yang berwarna kusam kelabu. Itulah Vihara Bodhi Dharma atau Kelenteng Pho Hwa Kong yang berdiri pada 1840. Vihara ini tidak terlalu besar, tapi cukup unik karena latarnya berupa sebuah gudang. Lampion-lampion dan hiasan naga membuatnya tampak cantik. Angin laut yang asin berbaur dengan wangi hio. Saya menikmatinya dari kedai minum persis di depan vihara. Sambil menyesap kopi hitam, semangkuk soto, dan tahu goreng.
Setelah itu saya melanjutkan perjalanan ke titik mula simpang lima. Di sepanjang jalan, saya menemukan toko roti yang membangkitkan selera; rumah makan Tionghoa; dan tempat penyewaan VCD yang termasuk langka di tengah dunia virtual. Dari gerbang Jalan Pabean, saya memandang bangunan tua paling besar di seberang jalan.
Bangunan itu adalah ruko Delta Raya. Pintu dan jendela-jendelanya menghadap ke arah dua jalan sekaligus sehingga dindingnya tampak setengah bundar. Dua parabola bertengger di atapnya. Bangunan ini sering muncul di foto-foto seolah-olah ikon tak resmi Kota Ampenan. Termasuk jadi cover buku puisi Kiki Sulistyo.
Saya kemudian menyeberang ke Delta Raya dan melihat kesibukan di dalam toko. Tak jauh dari situ terdapat toko sepeda Ban Sin Liong yang lengang. Di ujung Jalan Yos Sudarso itu, ada sebuah toko buku bernama Dunia Ilmu. Pemiliknya seorang Arab yang duduk santai di kursi goyang, sementara satu-satunya karyawan membersihkan debu di rak-rak buku. Di teras sebuah toko yang tutup, sekelompok laki-laki duduk mengelilingi lapak batu akik. Sampai akhirnya saya melipir ke kedai kopi yang nempel ke dinding sebuah bangunan tua di tepi Jalan Saleh Sungkar.
Sambil ngopi, saya lahap sebungkus nasi balap puyung yang terbungkus daun pisang. Nasi pedas gurih ini bertabur kacang kedelai goreng. Murah meriah dan gampang ditemukan di tiap warung. Karena itu, nasi ini disukai anak sekolah, mahasiswa, buruh, hingga karyawan bank.
Dari kedai, saya menatap simpang lima yang terus berdenyut hidup. Pekik klakson terdengar bersahutan. Kadang rem mencericit karena ada saja yang menerobos lampu merah. Seolah-olah ada kondisi psikologis tertentu yang membuat mereka bergegas leluasa. Mungkin merasa kota ini telah ditinggalkan. Padahal jalanannya tetap ramai, hanya memang tak banyak yang singgah.
Tahukah mereka bahwa Ampenan sesungguhnya menolak ditinggalkan atau dilupakan? Dari dalam tas, saya keluarkan buku puisi Kiki, dan saya eja baitnya: "di Ampenan/ hanya gedung-gedung tua/ bertahan dalam kemurungan/ hanya angin yang resah/ mondar-mandir dengan kaki patah/ dan di simpang lima itu/ akan kau temui kembali/ riwayat keluarga/ yang terus menggelepar/ di ingatanmu."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo