Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perayaan Imlek dan Cap Go Meh selalu ramai dengan berbagai pertunjukan budaya Tionghoa. Berbagai tradisi dan ritual unik itu berkembang di berbagai wilayah Indonesia bahkan di seluruh dunia. Perayaan Cap Go Meh sebagai penutup Tahun Baru Imlek biasanya dirayakan lebih meriah. Ada tradisi kuliner, penyucian, arak-arakan tarian singa dan naga, memasang lampion, dan berbagai atraksi kesenian, termasuk atraksi Tatung.
Tatung atau Ta-thung adalah dukun (lauya) Tionghoa yang diyakini kerasukan roh leluhur. Tatung muncul saat Cap Go Meh, yakni hari ke lima belas sebagai acara penutup perayaan tahun baru Imlek. Tradisi tatung identik dengan unjuk kesaktian. Ada yang menusukkan benda tajam ke berbagai tubuh, hingga trance dan menjadi berbagai dewa dewi Cina.
Salah satu daerah dengan tradisi Tatung paling meriah di Indonesia adalah di Singkawang. Berbagai tradisi tersebut dilakukan turun temurun dari nenek moyang mereka di daratan Cina. Seperti dikutip dari buku karya XF Asali tahun 2008, berjudul Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, cerita mengenai adanya tatung disebutkan saat Dinasti Tung Zhou sekitar tahun 770 SM-256 SM.
Tatung melakukan ritual "cuci jalan" atau upacara membersihkan kota yang berada di utara Kalbar atau sekitar 145 kilometer dari Pontianak itu, pada saat menyambut tahun baru Cina. Arak-arakan tatung biasanya berada di jalan dan singgah dari satu pekong ke pekong lainnya, tatung membaca mantra atau jampi agar roh jahat pergi dari kota tersebut. Tatung melakukan ritual ini pada hari ke 14 Imlek.
Sedangkan saat puncak perayaan, tatung mengikuti karnaval dan atraksi keliling kota menghibur wisatawan dan pengunjung. Karena dalam pengaruh roh leluhur, mereka menunjukkan kemampuan yang tahan terhadap benda-benda tajam seperti parang, tombak, dan paku.
Selain tatung, perayaan Cap Go Meh di Singkawang diramaikan dengan pertunjukan tarian singa, barongsai, ular naga, Choi Lam Shin atau Keranjang Jelangkung.
Di Tiongkok kuno, ritual ini juga dilakukan para petani. Mereka biasanya memasang lampion di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang perusak tanaman. Kemudian, menabuh berbagai alat musik hingga ramai, bermain barongsai, dan ada arak-arakan tatung supaya lebih ramai, berbagai ritual itu juga dianggap bisa menjadi tolak segala bala dan masalah.
Tradisi itu kemudian dibawa oleh etnis Tionghoa dari Cina Selatan yang bermigrasi ke Kalimantan Barat. Awalnya perayaan semacam itu dilakukan di pemukiman terbesar etnis Tionghoa di muara-muara sungai dan pesisir pantai. Para imigran Tionghoa tersebut kebanyakan berasal dari suku Khek (Hakka). Pada tahun 1772 etnis Tionghoa berkembang di daerah Monterado, Kalimantan Barat. Para imigran Tionghoa kebanyakan berkerja dipertambangan emas dan untuk melepas kepenatan selama bekerja, mereka membuat perkampungan khusus etnis Tionghoa di dekat muara sungai dan diberi nama San Keu Jong.
Suatu hari diperkampungan Tionghoa tersebut terkena wabah penyakit dan pada saat itu belum ada dokter. Lalu warga Tionghoa berobat ke tabib/dukun yang menggunakan cara tradisional dan cara gaib. Mereka mengadakan ritual tolak bala (bahasa Khek ; Ta Ciau) bersama penduduk lokal. Hal itu dilakukan pada hari ke lima belas (dialek Hokkian; Cap Go) bulan pertama penanggalan Imlek. Karena dirasakan manfaat ritual dan wabah penyakit bisa diatasi dan mereka sembuh. Akhirnya ritual tolak bala ini dijadikan sebagai tradisi tahunan/turun temurun yang bertahan sampai saat ini dan dipadukan ke perayaan Imlek, yang diberi nama Cap Go Meh.
Cap Go artinya lima belas dan Meh artinya malam, atau malam ke lima belas. Dan Cap Go Meh merupakan tradisi pada hari penghujung perayaan Imlek pada hari ke lima belas. Cap Go Meh adalah tradisi perayaan penutup Imlek. Tujuan diadakannya Tradisi ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas berkah/rejeki yang diberikan pada tahun ini dan sekaligus harapan agar musim berikutnya memperoleh yang lebih baik.
Di era Orde Baru perayaan Imlek khususnya ritual tatung dilarang dipertontonkan di depan umum. Tetapi di era Gus Dur, acara tersebut diizinkan kembali dan dilanjutkan hingga saat ini. Warga Tionghoa di Singkawang menjadi lebih leluasa untuk menjalankan tradisi atau upacara keagamaan dan budaya mereka. Keberadaan ritual tatung juga bisa menarik kunjungan wisatawan dalam negeri dan mancanegara. Selain mengangkat nama Singkawang di dunia internasional, Tatung juga ikut meningkatkan perekonomian daerah setempat.
Pilihan Editor: Pawai Tatung Perdana di Batam, Seram tapi Menarik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini