Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEDUNG ketoprak di Taman Hiburan Bale Kambang, Sala, dilupakan
orang. Tidak ada pertunjukan. Taman milik Mangkunegoro ke-VII
yang dibangun sekitar tahun 1921 itu menjadi sebagian dari
kesedihan budaya di kota yang sebenarnya romantis ini.
Tapi sementara gedungnya bangkrut, para pemain ketoprak masih
tetap hidup. Mereka menyusun satuan-satuan gerilya, menyerang
beberapa desa dengan pertunjukan. Sampai terjadi ledakan --
lantaran Teguh, pimpinan Srimulat Surabaya, turun sandal untuk
menyulut lagi api ketoprak yang setengah mampus itu.
Teguh memoles wajah Taman Bale Kambang dengan beberapa
bangunan baru yang semuanya bernilai Rp 50 juta. Kejutan ini
bukan sepak terjang yang gila. Ini semacam investasi budaya
dicampur pelampiasan rasa cinta Teguh pada mendiang R. Ayu
Srimulat, yang lahir tahun 1905 di Bekonang, Surakarta. Dialah
primadona Srimulat dan sekaligus isterinya. Sementara Teguh
sendiri juga sebenarnya kelahiran Kampung Pringgading, Solo, 8
Agustus 1926. Itulah yang bersembunyi di balik angka yang cukup
berat itu.
Pelacur
Pemerintah Daerah Tingkat II Surakarta sendiri rupanya sudah
lama sepet mata. Karena fungsi taman hiburan itu belakangan
sudah berubah menjadi sarang pelacur ketengan, bahkan di situ
tempat sembunyi beberapa buah kepala maling. Di dalam cakupan
Master Plan Solo 1973 s/d 1993 (berdasar SK Wali kota No.
1299/kep/5/kp-74, disahkan oleh Mendagri 17 Desember 1977),
tercantum "Mempertahankan dan mengembangkan Kota Solo sebagai
kota budaya sekaligus sebagai pusat seni budaya Jawa Tcngah.
"Maka Pemda tak keberatan kalau ada pengusaha mau mengelola
taman-taman hiburan," kata Humas Pemda tentu.
Taman Bale Kambang terletak di sebelah utara lapangan Manahan.
Luasnya 42.220 mÿFD. Yayasan Srimulat teken kontrak untuk
memakainya selama 15 tahun. Setiap tahun, untuk setiap mÿFD,
Srimulat membayar sewa sebesar Rp 7 (tujuh rupiah). Ini di
luar biaya Rp 50 Juta tadi. Gedung yang dibangun Teguh
diperuntukkan buat ketoprak, kios-kios dan pertunjukan Aneka
Ria Srimulat sendiri. Jadinya nanti mungkin tidak akan kurang
dari THR Surabaya sekarang. Di atas kerepotan taman itulah
Pemda kembali boleh menjalankan operasinya memungut pajak
tontonan dan Ipeda, sebagaimana memang kebiasaannya.
Teguh merasa tindakannya cukup pintar. "Kalau sampai rugi, itu
salahku, kebodohanku," ujarnya kepada Kastoyo Ramelan dari
TEMPO. Ketika ditanya apa yang dapat dijadikan jaminan
keberhasilan investasi, Teguh dengan yakin berkata "Cara yang
dipakai, dijangkau oleh kemampuan rakyat." Dengan kata lain,
harga karcis akan ditekan rendah. Dengan karcis masuk Rp 50
setiap orang Sala sudah dapat menyaksikan segala macam
pertunjukan - dengan berdiri. Baru kalau ia mau jadi tuan kecil,
bangku pertunjukan dijual dengan harga Rp 250 dan Rp 100.
Tapi Pemda tampaknya baru mempertimbangkan apakah taktik batas
jangkauan rakyat itu akan dikabulkan. Pemda cenderung
"menyeragamkan" harga karcis di Taman Hiburan Sriwedari dan Sri
Mulat Bale Kambang. Sudah tentu maksudnya "demi keadilan dan
persaingan yang sehat." Harga karcis masuk Sriwedari sekarang Rp
65. Lebih mahal sedikit. Tapi Teguh mengatakan itu wajar, karena
letaknya di jantung kota, sedang Bale Kambang terhitung
pinggiran. Ia nampaknya akan mempertahankan untuk menjual karcis
lebih murah lima belas perak.
Maka 12 Agustus yang lalu, Srimulat kampanye dengan pawai pakai
sepeda, motor dan mobil. Teguh sendiri dari balik kacamatanya
tak lupa menjelaskan bahwa sebagian besar karyawan diciduk dari
seniman Sala sendiri. "Jadi membentuk dan membuat Srimulat baru
lagi," katanya dengan bersemangat. Malamnya, pertunjukan pertama
dibuka. Penjualan karcis mencapai Rp 250 ribu malam itu.
Pengunjung tercatat tidak hailya orang Sala, melainkan banyak
datang dari Sragen, Klaten, Wonogiri dan Sukoharjo. Seorang
penggemar ketoprak dari Desa Pajang amat terkesan oleh
pertunjukan yang bernama Ketoprak Cokrojiyo (nama ini diambil
dari dedengkot ketoprak di Yogya yang sudah almarhum) terutama
pada dekor dan lampunya. Lawakannya pun mendapat pujian.
Sementara pegawai Pemda terkesan oleh penyanyi lagu Widuri yang
bergaya dengan sendunya.
Nah. Ekspansi Teguh menimbulkan akibat buruk pada ketoprak lokal
bernama Irama, pimpinan Susanti, yang manggung di Purwosari. Di
Sala bagian barat, ketoprak ini sebetulnya punya cukup pamor.
Tetapi dibetot oleh ketoprak Cokrojiyo penggemarnya lantas
susut. Sering tak main karena penonton terlalu sedikit. Kasihan
memang. Untuk menghindari kebangkrutan, kabarnya ketoprak ini
akan lari ke luar kota. Sementara itu grup-grup ketoprak lain,
di samping kena senggol, banyak pemainnya yang malah menyeberang
cari nafkah di bawah sayap Teguh.
"Kejutan 15 tahun!" -- terdengar koar-koar di radio amatir,
menjual kehadiran Srimulat Sala. Akankah usaha hiburan ini
berkembang sebaik yang ada di Surabaya, tak bisa dipastikan dari
hasil sementara ini. Menurut orang Sala sendiri, kota yang
dipenuhi priyayi dan orang-orang sok priyayi itu memang tidak
pernah punya grup lawak yang tangguh. Kalau ada apa-apa mereka
lari ke Yogya, pesan pelawak. Kasihan. Maka kalau pintu pelumg
dikerjakan dengan baik oleh Srhtlulat, paling tidak Sala tidak
usah lagi gentayangan mencari obat ketawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo