Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Doddy Aditya Iskandar menyoroti desa-desa di pinggiran, termasuk yang statusnya sebagai desa wisata, sampai hari ini masih terkendala dalam pemanfaatan teknologi informasi. Tak semata persoalan blank spot atau sinyal internet yang susah karena faktor geografis, sumber daya manusia di pedesaan dalam memanfaatkan teknologi juga masih menjadi persoalan mendasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Padahal desa desa wisata itu sangat produktif dan kreatif menghasilkan beragam produk lokal seperti kerajinan, namun belum optimal menjangkau pasar karena persoalan penguasaan teknologi informasi itu," kata Doddy di sela forum ASEAN Framework on Logistics for Digital Economy Supply Chain for Rural Area di Yogyakarta, Kamis, 3 Agustus 2023.
Desa Wisata di Yogyakarta Belum Optimal Jangkau Pasar
Di Yogyakarta sendiri, banyak desa wisata memiliki berbagai produk terutama kerajinan berkualitas. Mulai dari batik hingga yang memanfaatkan bahan-bahan alam. Namun belum semua perajinnya menikmati hasil optimal akibat jangkauan pasar produk kerajinan itu masih sangat terbatas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam forum yang dihadiri perwakilan 10 negara ASEAN itu, Doddy menyebut, desa yang lokasinya berada di perbatasan antarwilayah di Indonesia saat ini, menjadi potret nyata belum optimalnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi itu. Alhasil, jangkauan produk lokal yang dihasilkan desa itu sebatas antar desa atau paling banter antarkecamatan.
Penguasaan Teknologi Informasi Kunci Desa Jual Produk
Kuatnya penguasaan teknologi informasi di pedesaan bisa menjadi jalan desa menjual produk lokal antarnegara, misalnya ke Malaysia atau Singapura. "Optimalnya pemanfaatan teknologi informasi ini yang perlu didorong pemerintah, sehingga memperbaiki jalur logistik untuk pergerakan barang di desa desa pinggiran ini," kata Doddy yang juga pengajar di Fakultas Teknik UGM itu.
Dari forum itu, Doddy mendapati bahwa kondisi desa-desa pinggiran itu juga dialami sebagian besar anggota ASEAN. Namun tidak serta merta solusi di satu daerah akan sama dengan daerah lainnya.
"Jadi misalnya ada desa di negara ASEAN yang ternyata tak perlu internet dengan kecepatan tinggi karena mereka sudah memiliki infrastruktur dan pendukung lain untuk mengoptimalkan pemasaran produk lokalnya," kata Doddy. Seperti akses dan moda transportasi ke pelosok atau jaringan pasar tetap.
10 Negara ASEAN Kurang Pemanfaatan Teknologi
Adapun perwakilan dari Pusat Kelembagaan Internasional Kementrian Komunikasi dan Informatika Dian Wulandari dalam forum itu menuturkan peserta dari 10 negara di ASEAN mengalami persoalan nyaris serupa dalam pemanfaatan teknologi. "Padahal sektor UMKM di pedesaan itu sangat kuat, namun bagaimana harus bergerak agar produk lokal itu menjangkau pasar lebih luas jadi persoalan," kata dia.
Kepala Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional (PSPPR) UGM Yogyakarta Bambang Hari Wibisono menuturkan dalam forum itu, tiap delegasi ASEAN memaparkan persoalan pedesaan yang mereka hadapi untuk merumuskan gambaran rekomendasi dan peluang kolaborasi yang bisa dilakukan. "Terutama kolaborasi untuk perdagangan dan ekonomi antar desa antar negara di era digital ini," kata dia.