Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Udara gerah tanpa angin tak menyurutkan semangat orang-orang datang ke acara Jazz Goes to Campus 2007. Lapangan parkir Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia disulap menjadi tempat pertunjukan, Ahad dua pekan silam. Selain dua buah panggung-Celebration Stage dan Inspirational Stage-terdapat berbagai gerai, dari kaus, suvenir, cakram padat (disc), sampai sate padang. Seperti bazar.
Para penonton yang berkeringat berkerumun di depan kedua panggung, menikmati beragam ramuan jazz: dari pop, fusion, dixie, swing, groovy, sampai yang murni. Di "panggung inspirasi", pemain dan penonton dapat berinteraksi. Sedangkan "panggung perayaan" menampilkan musisi jazz senior Indonesia seperti Ireng Maulana, Idang Rasyidi, dan Benny Likumahua. Andien, Tompi, dan Iga Mawarni juga tampil di panggung tersebut. Tompi, dokter bersuara unik, menyanyikan Balonku Ada Lima. Dia juga melantunkan beberapa lagu pop yang sedang ngetop dalam irama jazzy, seperti Ketahuan-nya band Matta.
Dalam acara yang berlangsung hingga tengah malam itu, suasana festival sungguh terasa. Penonton yang berkeringat rela berdesakan di depan panggung menikmati pertunjukan. Namun ada juga yang datang tidak demi musik jazz. "Aku ke sini mau kumpul sama teman-teman," ujar Viki Fitriati, 16 tahun, yang bukan penggemar jazz.
"Hebat UI, hebat," kata Ireng Maulana, yang sudah menjadi pengisi setia Jazz Goes to Campus sejak pertama digelar. Jika melihat acara Jazz Goes to Campus 2007, bisa dibilang penyelenggara mampu menjadikan ajang ini sebagai peristiwa hiburan cukup besar. Dengan karcis Rp 25 ribu per orang, event ini juga menjadi "pemanasan" bagi para penggemar jazz yang siap menikmati Jak Jazz yang berlangsung akhir pekan lalu.
Selain memasyarakatkan jazz, Jazz Goes to Campus melahirkan grup-grup jazz anyar. Hasilnya tak jelek. Witry and Friends, juara pertama tahun ini, misalnya, cukup memukau ketika tampil di awal pertunjukan. Penyanyinya bersuara empuk, cantik pula. Jadi, patut diakui Jazz Goes to Campus punya jasa besar mempopulerkan musik sulit yang semula hanya disukai kalangan elite itu.
Maklum, usia perjalanannya pun sudah cukup matang, 30 tahun-setahun lebih muda daripada festival jazz terbesar dan tertua di dunia, North Sea Jazz Festival di Belanda. Penyanyi dan musisi jazz Tanah Air dari masa ke masa pernah mampir di ajang ini. Bahkan beberapa yang berasal dari luar negeri, seperti Bob James, Dave Koz, Claire Martin Quintet, Los Caballeros, Coco York, dan Mike Del Ferro, pernah tampil di kampus UI. Tahun ini, peniup saksofon Curtis King manggung dulu di Depok sebelum tampil di Jak Jazz.
Rupanya, keinginan Jack Lesmana-pionir jazz Indonesia-mengembangkan jazz di sini dengan terlebih dulu mendidik Chandra Darusman, Abadi Soesman, Benny Likumahua, dan anaknya sendiri, Indra Lesmana, tidak sia-sia. Sebagian anak muridnya berhasil menumbuhkan bibitnya hingga kini. Jazz Goes to Campus di masa lalu juga telah berhasil "mengalihkan" kegiatan berpolitik di kampus-yang dilarang dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan, pada 1978-ke acara kumpul-kumpul nonpolitis.
Sayang, Jazz Goes to Campus 2007 kurang memenuhi selera para pencinta jazz. Salah seorang penonton, Imam Sasongko, 49 tahun, kecewa. Dosen Politeknik Negeri Jakarta itu, yang sudah membawa istrinya ke acara tersebut, tidak menemukan jazz mainstream yang ingin dia dengar. "Saya kurang puas karena terlalu populer," katanya.
Ahmad Taufik, Bayu Galih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo