Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA Gedung Graha Bhakti Budaya Jakarta mirip gedung pertunjukan Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Hawa Jawa Timuran terasa begitu kental, Jumat malam dua pekan silam. Di luar gedung di kompleks Taman Ismail Marzuki itu, orang meluber ke warung-warung yang berjajar di sana. Kerumunan orang dalam kelompok-kelompok, berbicara dan bercanda dengan bahasa Jawa Timur yang kasar. Tak jarang terdengar makian melompat di sana-sini.
Malam itu memang spesial bagi pencinta ludruk, khususnya penggila Kartolo. Karena ”sang maestro selengekan” ini main di Graha Bhakti. Tiket dengan harga Rp 50 ribu dan Rp 200 ribu habis terjual. Gedung berkapasitas 530 penonton itu penuh. Bahkan tak sedikit orang yang tak kebagian karcis. Akhirnya, mereka nongkrong di warung-warung. Maklum, ludruk yang menampilkan Kartolo—dengan lakon Sakerah, nama pahlawan Madura—memang menjadi daya tarik. Khususnya bagi warga Jawa Timur di Jakarta untuk bereuni dengan teman lama.
Seperti umumnya pementasan ludruk, pertunjukan malam itu diawali tari remo. Ketika Kartolo muncul di panggung setelah itu—dia mengenakan kaus hitam bergambar macan dan peci dengan warna sama—penonton sudah mulai cekikikan. Kumisnya yang tebal melintang dan gerak-geriknya yang kaku: hanya satu tangannya yang bergerak-gerak, adalah ciri penampilannya di panggung.
Sesaat kemudian suara kidungannya yang khas—tinggi dan agak cempreng, kadang serak—mulai terdengar: Bojo ngeyel njaluk kendaraan, aku gregetan tak tukokno gledekan. Pancen bojoku rada kemalan. (Istri cerewet minta dibelikan mobil, saya jengkel lalu saya belikan gerobak. Memang istri saya agak kecentilan.)
Tawa penonton pecah. Selanjutnya yang terjadi antara penonton dan Kartolo adalah pentas pelepas rindu. Penonton terasa akrab dengan guyonan Kartolo, kadang mereka meniru dan menimpalinya. Dia bersama Bedor dan Pudji bersahutan parikan dan dialog, yang superlucu dan ”hancur lebur”. Memang Kartolo tidak ikut dalam cerita utama ludruk malam itu—pemeran dalam Sakerah adalah campuran artis ludruk dan non-ludruk seperti mantan Menteri Kehakiman Oetoyo Oesman, mantan Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman, dan Miss Indonesia Kimidia Radisti. Namun banyolan sekitar 45 menit itulah main course malam itu.
Banyolan mengalir lancar khas Kartoloan, dalam bahasa Jawa Timur kasar. Misalnya ”caleg” yang singkatan dari calon legislator, diubah jadi cangkeme legrek—kata-kata kasar berarti ”mulut rusak karena kebanyakan omong”. Celaan seperti rupamu kaya bedhes ngresulo (wajahmu seperti monyet yang banyak mengeluh) atau kupingmu kaya rempeyek, makane budheg (kuping seperti rempeyek, makanya tuli) berhamburan di sana-sini.
Saling cela juga dilakukan dengan cepat, seperti refleks. ”Arek gantheng anakke wong gendheng (orang gila)” langsung dijawab: ”Arek bagus anakke wedhus (kambing)”. Atau ada ungkapan yang sudah melegenda seperti: ”Isuk-isuk sarapan dingklik” (pagi-pagi sarapan bangku kayu), biasa digunakan bila bercerita tentang ribut dengan istri.
Bahasa kasar dan makian bukan ukuran ketidaksopanan di sini, justru merupakan tanda keakraban. Sajian ini mungkin hanya bisa dinikmati oleh yang sudah akrab dengan Kartoloan, yang muncul sejak pertengahan 1980-an—ketika Kartolo banyak merekam guyonan dalam kaset dan mengudara di beberapa stasiun radio di Surabaya. Atau yang merasa nyaman dengan bahasa kasar Suroboyoan. Orang Jawa yang tidak biasa dengan bahasa kasar mungkin risi dengan ludruk seperti ini.
Ibarat musik metal, Kartoloan adalah hardcore. Yang tidak paham makna bahasanya, semangat dan suasananya, pasti tidak bisa menikmatinya. Tapi, bila orang sudah kesengsem, wah... susah lepas. Lihat saja betapa banyak rekaman panggung dan parikan Kartolo disimpan di banyak situs. Buktikan saja, googling dengan kata ’Kartolo’.
Bina Bektiati, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo