Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Benarkah Ada Mafia di Pulau Sisilia?

Sisilia tak hanya terkenal dengan mafianya. Ia punya bangunan kuno artistik, ladang gandum, kebiasaan tidur siang, dan pesta.

29 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SISILIA hanya bisa dibayangkan dalam dua warna: kuning keemasan dan hijau. Selama ratusan tahun, pulau yang terletak di pinggir Laut Mediterania itu tercatat sebagai lumbung gandum Romawi Kuno. Warna kuning keemasan datang dari ladang gandum yang diterpa cahaya matahari petang. Warna hijau datang dari pohon-pohon jeruk yang tumbuh di lembah-lembah suburnya. Bibit jeruk baru masuk ke Sisilia pada abad ke-9 di bawah invasi Arab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari jendela pesawat yang membawa saya dari Amsterdam menuju Palermo, kota utama Sisilia, Italia, terhampar Laut Mediterania yang biru dan lapang, pantai berpasir putih, kapal-kapal, serta batu-batu karst yang menghitam. Kota Palermo terletak di sebuah pulau bekas letusan vulkanis seluas 25.711 kilometer persegi, hampir dua kali luas Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Kota ini berdiri di tengah kawah vulkanis purba yang telah mati. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kuil-kuil Yunani, katedral Spanyol yang menjangkau langit, masjid kaum Moor, puri Normandia yang telah berdiri jauh sebelum Kristus lahir, semua bagai ornamen purba yang membentuk Palermo. Bukit-bukit batu, tandus dan runcing, memagari kota dengan rumah-rumah beton yang terkotak-kotak, tersusun berlapis-lapis seperti apartemen kuno berwarna kusam yang tak pernah disentuh cat. 

Setiap petak rumah itu memiliki balkon tempat pot-pot bunga ditaruh dan disirami saban pagi. Orang Sisilia sepertinya menyukai bunga sebagai bagian sentimental yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. 

Ladang gandum di Corleone Sisilia, Italia, 6 Juli 2023. Fatris MF

Di satu sudut Palermo yang berimpitan sesaknya hunian, pasar tradisional, katedral, dan toko-toko mewah, saya mengenal seorang gadis bernama Antonia. Kami berbincang tentang pantai-pantai menawan, tertawa penuh basa-basi, dan ia mulai bercerita tentang Palermo—kota yang hingga hari ini masih diragukan keamanannya.

“Kenapa aku harus menceritakan semua hal kepadamu? Bapakku lebih tahu semua kejadian di kota ini sejak dulu, tapi dia tidak bisa berbahasa Inggris. Sayang sekali. Kenapa bukan kau saja yang mempelajari bahasa Sisilia?” kata Antonia ketika saya bertanya lebih jauh tentang Sisilia.

Gadis 23 tahun itu menatap saya lekat. Sorot matanya tak sedikit pun mengandung keraguan, mengingatkan saya pada pepatah lama di sini: gadis Sisilia sama berbahayanya dengan sepucuk senapan yang telah dikokang. 

Namun itu hanya pepatah lama ketika semua wilayah Italia, termasuk Sisilia, berada di bawah cengkeraman diktator fasis Benito Mussolini. Saat itu fasisme yang paranoid mencurigai siapa pun warganya. Kekuasaan yang mengekang, alih-alih membuat patuh, justru memunculkan para pemberontak. 

Satu dari sepuluh pemberontak ternama di Italia masa itu adalah Salvatore Giuliano. Dia membunuh seratusan polisi dan carabinieri (sebutan polisi khusus di Italia) serta puluhan warga sipil yang ia anggap sebagai pengkhianat, juga merampok uang jutaan dolar Amerika Serikat dari pemerintah dan orang kaya. Hasil kerja keras Giuliano dan komplotannya dibagikan kepada orang miskin. Koran-koran tak henti memberitakan sosok "Robin Hood Sisilia" itu, yang lebih banyak ditulis sebagai bandit. 

Saat Italia yang lapar dipenuhi pejabat, jaksa, hakim, dan polisi korup yang terlalu banyak bicara, Giuliano dikelilingi sederet pengikut setia yang tak berat bibir. Di Sisilia, senjata lebih banyak berucap daripada mulut manusia. Membuka mulut berarti dekat dengan berkhianat. Untuk puasa bicara, orang-orang Sisilia menjalani hidup selibat yang disebut "omerta"—istilah untuk tutup mulut yang susah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.

Bagi pemerintah, Giuliano tidak bisa dibiarkan bertindak seenaknya. Sebanyak 2.000 petugas pun dikerahkan ke Sisilia. Pada 1950, Giuliano ditembak mati. Koran-koran ramai memberitakannya, termasuk The Argust yang memuat potret dan obituari kematiannya.

Sekarang, Juli 2023, saat saya bertandang ke sana, musim panas sedang garang-garangnya, dan banyak orang masih ragu akan keamanan di Sisilia. Empat bulan sebelum saya datang ke sana untuk berpelesiran, koran-koran setempat masih memberitakan kematian tiga lelaki di tempat berbeda yang terjadi dalam waktu hampir bersamaan.

Saya berkunjung ke rumah Antonia. Ia menyalakan tungku dan sibuk memasak. “Kau tahu, kami harus terus bekerja sepanjang hari. Lihat, aku akan memakai kacamata hitam yang dua pekan lalu kubeli, biar aku tidak terlihat seperti gadis kampung saat kau memotretku sedang memasak,” ujarnya. 

Antonia dan dapurnya di Palermo Sisilia, 4 Juli 2023. Fatris MF

Antonia kemudian bercerita tentang pesta yang sering digelar di sana dan tentang kotanya yang tidak pernah berubah. Ia berbicara dalam bahasa Inggris dengan intonasi bergelombang, aksen yang terdengar begitu menggelikan di telinga saya.

Bagi Antonia, Palermo adalah kehidupan hari ini. Dia mencari uang, bekerja, dan kemudian—menurut dia—akan menikahi seorang pria yang ia idamkan, ia impikan, yang bakal membawanya keluar. Ia begitu ingin keluar dari Palermo yang telah tua bangka ini. 

Sebagaimana Antonia, banyak orang di Palermo yakin bahwa selama seratus tahun ini tidak ada pembangunan yang berarti dalam upaya mengubah wajah Palermo yang artistik, yang kuno tapi mengesankan. Arsitekturnya, lukisannya, pernak-perniknya, seakan-akan debu yang dipacakkan dari kereta kuda yang telah berangkat. 

Angin payau yang bertiup sesekali dari Laut Mediterania menerbangkan debu, menyelisik ke gang-gang Palermo, menggoyangkan kain-kain jemuran di rumah-rumah beton bertingkat berwarna kusam. Seekor anjing berteduh di bawah kursi reyot tempat ayah Antonia duduk dan menatap orang lalu-lalang di gang-gang sempit yang berimpitan seperti labirin.

Dari rumah Antonia, saya kembali menelusuri Palermo. Saya berjalan di bawah siraman sinar matahari di Palermo, di antara gudang-gudang dan gedung-gedung tua Abad Pertengahan, di antara sisa peninggalan peradaban ribuan tahun silam, berdesakan dengan hunian rapat, kafe-kafe, toko-toko pakaian, museum, dan carabinieri yang tengah duduk bergerombol. 

Agak ke pinggir, aroma pesing kencing nyaris menguar di tiap mulut gang. Di tengah cuaca panas, tak banyak yang bisa dilakukan. Orang-orang berteduh. Sekelompok laki-laki bergerombol bermain kartu, tiga pemuda tertawa-tawa menenggak bir dingin.

“Kamu begitu asing. Orang mana? Kau tahu dia? Dia ini istriku, anak bos di sini. Kau harus menghormatinya, semua orang di sini menghormatinya.” Baru dua menit saya duduk di sebuah warung, seorang lelaki muda berbicara meracau kepada saya. 

Saya menyalami istrinya. Laki-laki muda itu terus berkata tentang penghormatan. Istrinya, yang duduk di depannya, perempuan yang disebutkan sebagai anak seorang don atau bos di sini, hanya memesongkan bibir setengah tersenyum. 

Lelaki setengah mabuk itu meminta saya memotretnya. Lalu dia berbicara kembali, “Ia begitu dihormati di Palermo ini. Ayahnya seorang bos—ia mertua saya. Ia berkuasa atas pasar-pasar di sini. Tezzonovante,” tuturnya. 

Istrinya sibuk memakan spageti. Kata terakhir yang ia ucapkan secara harfiah bisa diartikan sebuah tembakan besar, kaliber peluru 95 milimeter. Tapi, maksudnya, istilah itu digunakan untuk menyebut seseorang yang sangat berpengaruh.

Interior rumah seorang tuan tanah di Corleone Sisilia, 5 Juli 2023. Fatris MF

Sebelum disebut Palermo, kota ini punya banyak nama. Berabad-abad ia dijuluki “Zyz”, lalu “Panormos", "Balarm", "Belermus”, dan entah apa lagi—ingat, sejarah Sisilia bagai mata rantai yang rapuh dan kerap tak lengkap untuk disusun rapi. Yunani, Bizantium, Arab, semua memiliki jejak peradaban di Sisilia. Romawi mencengkeramnya selama ratusan tahun. 

Tempat penuh legenda dan mitologi akan kekuasaan dan cinta ini sekarang telah banyak beralih fungsi sesuai dengan tuntutan zaman; H&M membuka gerai besarnya, toko-toko tas yang menaikkan martabat, kafe-kafe yang dipenuhi turis, restoran yang serba “Sicilian Food”, tapi juga ada restoran Bangladesh dan India. 

Di antara bangunan itu, orang di Palermo masih menyimpan lukisan-lukisan pada dinding-dinding tua yang telah somplak dan mengelupas: ruang-ruang pertemuan tempat Mussolini bergembira ketika Italia berada di bawah kekuasaan fasis. Tanah Sisilia kemudian diingat sebagai kota para pemberontak yang didekatkan dengan istilah Cosa Nostra, Camorra, Ndrangheta. Koran-koran di Barat menyebutnya dengan elegan: mafia.

•••

DI lain waktu, Antonia menghidangkan kepada saya pasta, mi kenyal berwarna hitam legam dengan cumi-cumi yang dimasak dengan tintanya. Cuminya utuh, lengkap. Saya merasa agak geli untuk mencoba memakannya karena belum terbiasa memakan cumi dengan tintanya. 

Saya akhirnya menyantap mi yang dicampur udang dan ikan laut itu. Rasanya tidak terlalu enak, agak janggal di lidah saya. Ada aracini beraroma safron yang dibulatkan seperti bola golf berwarna cokelat. "Ini mesti dicoba selagi hangat," ucap Antonia. 

Terung Sisilia yang dicincang selalu saja ada di tiap hidangan di mana pun saya makan di Sisilia. Polpette yang gurih. Masakan mereka tidak terlalu beragam sebagaimana di Tanah Air, kecuali jika mereka membincangkannya, akan terasa jauh lebih nikmat. 

Sore hari, pada akhir pekan, banyak pernikahan dilangsungkan di katedral tua di tengah kota. Mereka berpose di istana-istana kuno Yunani, kapel-kapel Roma, dan entah di gedung-gedung apa lagi. Yang pasti, seperti kata Antonia, akan ada pesta setelahnya. 

Saat Antonia sibuk dengan pesta, saya berkendara menuju perkampungan-perkampungan di tengah pulau. Melewati jalan-jalan sepi, padang-padang gembala, ladang-ladang gandum, hingga tiba di Corleone.

Saya bertemu dan berkenalan dengan Alessandra Manzo, anak seorang polisi di Corleone. Alessandra bercerita, suatu kali ia pernah keluar dari Pulau Sisilia. Ia pergi ke Milan dan kota-kota lain di Italia.

Alessandra di ruang penyimpanan arsip kejahatan mafia di Corleone, 5 Juli 2023. Fatris MF

“Mendengar dialek saya, mereka bertanya, ‘Kamu dari mana?’ Saya jawab Corleone, dan wajahnya berubah seketika, menganggap saya bagian dari Cosa Nostra, mafia,” tutur Alessandra.

“Itu jelas membuat saya sedih sebagai orang Sisilia, apalagi saya orang Corleone. Saya ini masih 17 tahun, dan bapak saya seorang polisi,” katanya lagi, mengeluh. 

Kenapa harus mengeluh kepada saya? Saya membatin. Saya tidak tahu apa-apa tentang daerah ini. Saya orang asing yang datang sebagai pelancong. Lagi pula, saya hanya mengenal Sisilia dari bacaan dan film-film yang mengisahkan bagaimana kehidupan di Corleone yang sengsara. 

Apa artinya menjadi orang Sisilia? Mana saya tahu? Yang saya ingat, orang Sisilia sejati tidak membicarakan politik, tapi membincangkan roti.

Lalu apakah kamu menyesal terlahir sebagai gadis Sisilia? “Tentu tidak. Saya hanya sedih. Saya mencintai Corleone ini. Bapak saya, ibu saya, kakek saya, semua Sisilia. Mari mengobrol di dalam,” gadis itu tersenyum dan membawa saya masuk ke ruangan dengan penyejuk udara yang tak henti menyala. 

Alih-alih mengajak saya minum cappuccino, ia malah menyodorkan tumpukan kertas, berkas penangkapan anggota mafia. Lalu foto-foto kematian para anggota mafia yang berbahaya, wajah-wajah yang kaku sehabis ditembak di dalam mobil, darah yang berceceran, perempuan yang histeris dengan mulut ternganga seperti berteriak dan menangis dalam waktu bersamaan. Sungguh sebuah pemandangan yang rumit untuk seorang pelancong seperti saya.

“Itu dulu. Corleone sudah aman sekarang, sudah tidak ada lagi mafia. Sebab, kami telah punya gerakan antimafia,” ujarnya, menenangkan, begitu melihat saya seperti kebingungan menapaki satu demi satu arsip foto dan laporan polisi mengenai mafia yang digelar. 

Saya bertemu dengan Alessandra di gang sempit yang membelah-belah perkampungan Corleone. Sebelum bersemuka dengan anak polisi ini, selama dua jam saya mencari-cari teman ngobrol, dan tidak seorang pun orang Sisilia yang bisa diajak berbincang. Toko-toko tutup, restoran dan kafe belum ada yang buka, padahal telah pukul 2 siang.

Pasangan pengantin di kota Palermo , Italia, 5 Juli 2023. Fatris MF

Siapa saja yang berkunjung dan mendapati Corleone ketika siang dalam keadaan lengang setidaknya akan mengira, “Apa memang tidak ada orang? Atau jangan-jangan sedang ada perang antarmafia, atau banyak yang sudah mati karena saling bunuh, atau merantau ke Amerika?” 

Bisa jadi saya saja yang paranoid, menganggap daerah ini masih berbahaya sebagaimana pada masa lalunya, walau sejak 2018 dilansir ada 93 asosiasi mafia di Italia dan setengahnya berasal dari pulau ini.

Pada saat siang, Corleone memang bagai kampung yang malas. Orang-orang sedang siesta, istilah kawasan Mediterania untuk menyebut tidur siang. Orang di Sisilia menyebutnya pennichella atau pisolino, istirahat sejenak dari pukul 2 siang hingga 4 sore. Kebiasaan itu tidak bisa lepas di Sisilia sampai hari ini. Hal yang berbeda tentunya dibanding kebiasaan daerah Eropa lain. 

Selain terbiasa tidur siang, di sini orang masih membasuh pantat mereka dengan air, tidak cebok menggunakan tisu sebagaimana di Eropa pada umumnya. Kota-kota di Sisilia adalah “Eropa yang tidak teratur”. Orang bisa saja parkir sembarangan, mobil lumrah tergeletak berjam-jam di zebra cross atau depan lampu merah. Tidak ada yang mengingatkan. Tidak saya temukan polisi yang marah-marah meniup peluit sembari mengeluarkan kertas tilang. 

Anda akan kesusahan menemukan orang berteriak-teriak, atau bicara kencang, tertawa terbahak-bahak di tengah keramaian—bagi orang Sisilia, hal konyol seperti itu tidak menunjukkan martabat seseorang. 

Tiap sore, banyak lelaki tua berkumpul di taman di Corleone, 6 Juli 2023. Fatris MF

Corleone sepi. Selama berabad-abad, tidur siang adalah kebutuhan wajib di sana. Hanya Alessandra, si anak polisi, yang rupanya masih keluyuran. Kami berkenalan, berbincang. Saya lebih banyak diam mendengarkan ia berbicara dalam bahasa Inggris beraksen Sisilia yang mendayu-dayu.

Alessandra mengaku tak suka film The Godfather, yang berkisah tentang keluarga mafia asal Sisilia di New York, Amerika Serikat. Bagi dia, film yang dibintangi Marlon Brando dan Al Pacino itu memperburuk citra Corleone; tanah kelahirannya yang terletak di lembah setengah mengering, dikelilingi lahan-lahan subur tempat masyarakat bertanam gandum, zaitun, buah-buahan, kayu putih.

•••

SATU sore, saya bertemu dengan seorang lelaki tua. Namanya Michael. Bisa saja Michele, Michail. “Terserah bagaimana kamu mengejanya, yang penting kamu tidak salah mengucapkannya,” kata Michael. “Apakah kau percaya Kristus? Menurutmu, kalau seorang mafia mati, dia akan di surga atau di neraka?” ujar Michael lagi, beruntun. 

Baru saja berkenalan, saya dihadapkan pada pertanyaan pelik. Berbicara dengan lelaki tua di Corleone serasa tengah diinterogasi. Cara mereka bertanya penuh penekanan, intimidatif, dan Michael bicara seenaknya. Apa yang hendak ia katakan akan ia sampaikan ke pangkal telingamu dengan suara dan penekanan berbisik. 

Betapa janggal, seperti tidak ada topik yang hendak dibincangkan selain mafia, mafia, dan mafia di Sisilia ini. Di masa lalu, Mussolini pernah berupaya melenyapkan mereka dari Sisilia. Sang diktator sadar, mafia bukanlah sekumpulan penjahat ugal-ugalan dan compang-camping, melainkan pemerintah bayangan yang mengendalikan kekuasaan mereka dengan cara terstruktur.

Michael mulai merapat mendekati saya sembari membawa kursi. Berbicara dekat dengan telinga saya, seperti orang-orang Sisilia dalam film-film, “Corleone ini miskin di Sisilia yang miskin! Hanya ada gandum! Apa yang kau harapkan di sini?” tuturnya. 

Miskin bagaimana? Pesta tiap minggu digelar, minuman banyak, tungku terus menyala di dapur, panen gandum tidak pernah gagal? Saya menukasnya.

“Ha-ha-ha..., kau memang tidak tahu apa-apa tentang kemiskinan. Semua orang menganggap Sisilia berisi mafia saja. Kau tahu, yang kau sebut sebagai ‘mafia’ itu muncul dari sini. Dari rasa lapar,” Michael mengelus-elus perutnya yang membuncit dan susah dibendung oleh kaus ketatnya. 

“Kau tahu apa itu istilah ‘pizzo’? Kata yang berbeda membentuk nama makanan ‘pizza’? Sepertinya yang kau ketahui hanya pizza,” ia terus mengoceh. Katanya, pizzo adalah kelebihan dari takaran gandum yang digantang. Sisa gandum itulah yang dijadikan "zakat", pajak tak tertulis untuk membuat Sisilia aman.

Saya meninggalkan Michael. Tiap sore, taman kota dipenuhi lelaki tua. Anda tidak akan menemukan satu pun dari mereka yang membawa peliharaan sebagaimana yang lumrah dilakukan banyak lelaki tua di Eropa, membawa anjing ke taman. Orang Sisilia datang membawa dirinya sendiri. Ada Johanes tua, Pablo tua, dan entah siapa lagi yang tua.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Melawat ke Sisilia"

Fatris M.F

Fatris M.F

Penulis lepas dan penulis perjalanan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus