Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Masih bergaya ludruk

Tak ada yang istimewa dalam lomba lawak tingkat nasional dan tak ada pemenang pertama dan ketiga. otong lenon dari dki jakarta meraih tempat kedua. (hb)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA badut raksasa dari kayu menghiasi panggung Balai Sidang Senayan, Jakarta. Para peserta Lomba Lawak Tingkat Nasional (LLTN), muncul di sela-sela gigi badut kayu yang menganga. Otong Lenon, salah seorang peserta ketika muncul langsung menertawakan gigi patung badut yang lumayan besarnya itu. "Ini gigi siapa?" tanyanya dan dijawabnya sendiri: "Mungkin gigi orang Departemen Penerangan." Sekiur 2000 orang penonton babak final LLTN Selasa malam pekan lalu, sempat tergelitik oleh banyolan Otong. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari peserta DKI ini, tetapi ia yang paling menarik bagi para juri. Karena itu, ia meraih tempat kedua. Pemenang pertama dan ketiga ditiadakan. Juara-juara harapan diraih Dafri (Sum-Sel), harapan kedua tidak ada dan ketiga Lakidin (Sum-Ut). Di nomor kelompok, juara pertama dan ketiga ditiadakan. Sedang pemenang kedua diraih peserta kelompok dari DKI -- dengan juara harapan Sum-Ut, Kal-Tim dan Bali. Otong Lenon (nama belakangnya, katanya, meminjam nama penyanyi terkenal John Lenon almarhum) dengan tubuh sependek Ateng, sehari-hari adalah penunggu pajangan Pusat Kerajinan Kecil di toko serba ada Sarinah. Bekas mahasiswa Universitas Jakarta (jurusan akuntan) ini, mengaku ingin menjadikan lawak sebagai karirnya. Pernah muncul di beberapa film, dan sudah merekam dua buah kaset banyolan, Otong, 24 tahun, dengan grup Bel Chuapnya, menurut dia, segera akan muncul di beberapa film lagi. Selain beberapa plala, ia juga mengantungi hadiah uang Rp 450.000 -- Rp 300. 000 dari lomba nasional dan Rp 150.000 dari lomba DKI. Babak penyisihan lomba lawak ini diselenggarakan TVRI RRI dan Koordinator Artis Safari, di stasiun TVRI Jakarta, Yogya, Surabaya, Medan, Bali, Ujungpandang, Samarinda dan Manado. Dalam babak final, setiap stasiun TVRI hanya boleh mengirimkan pemenang pertama untuk perorangan, maupun untuk kelompok. Jumlah peserta di babak penyisihan, "cukup membanggakan," ujar Bucuk Soeharto, ketua panitia. Misalnya, untuk nomor perorangan di Surabaya diikuti 1260 orang peserta, dan untuk kelompok di Jakarta 412 grup. Abu Nawas Hanya saja penampilan pelawak - terutama grup -- masih, "begitu-begitu saja," ujar Arwah Setiawan, salah seorang juri. Misalnya dalam penampilan satu kelompok, hampir selalu terjadi: salah seorang muncul dulu, berceloteh sendirian dan kemudian memanggil teman, atau temannya datang sendiri - seperti gaya ludruk atau dagelan Jawa. Dalam nomor perorangan, menurut Arwah, Otong tidak istimewa, karena itu ia tidak memenuhi kriteria pemenang pertama. Di antara para peserta final, bahkan masih ada yang terkena demam panggung. Misalnya peserta dari Bali, tidak mampu bertahan lebih dari 3 menit dari 10 menit waktu yang disediakan. Ida Bagus Pudjana (34 tahun), berpakaian rapi dengan safari dan topi bayi, tetapi bicaranya tak keruan. Dua menit di panggung, ia sudah disuruh penonton turun. Akhirnya, ia pun turun. "Tiba-tiba saya tak mampu berkonsentrasi," dia mengaku kemudian. Ketua Panitia, Bucuk Soeharto, mengakui juga tidak ada yang istimewa dari lomba itu. "Kalaupun ada yang istimewa, adalah karena beberapa menteri ikut menyampaikan hadiah," katanya. Dan memang di antara pengunjung yang memadati Balai Sidang, terdapat Menteri Soerono, Ali Moertopo, Martono, Emil Salim dan Daoed Joesoef. Senda gurau Menpen Ali Moertopo tentang para peserta ternyata menarik juga. Sebab memang tak seorang peserta pun yang non-Jawa, meskipun datang dari berbagai daerah. Anggota grup Kal-Tim yang meraih juara harapan II, ternyata semuanya berasal dari Jawa. "Kok mesti Jawa, mengapa tidak ada Dayak asli misalnya? " tanya Menpen Ali Moertopo ketika menjamu peserta beberapa saat sebelum final dimulai. Akhirnya ia jawab sendiri: "Mungkin karena di Jawa sejak dulu lawak sudah diperhatikan. " Misalnya, tambah Menpen, dalam sejarah Majapahit sendiri, ternyata lawak sudah dilembagakan sebagai salah satu unsur dalam pemerintahan. Kultur Jawa itu, dikombinasikan lagi dengan kultur Islam yang punya "Abu Nawas" di Baghdad. "Jadi saudara-saudara adalah keturunan Abu Nawas," ujar Menpen Ali Moertopo, memancing tawa para pelawak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus