Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Papua menjadi sorotan setelah kisah perjuangan masyarakatnya untuk menolak pembangunan perkebunan sawit di Boven Digoel menjadi viral di Internet. Unggahan dengan tema All Eyes On Papua pun bermunculan di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan lalu, masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, mengajukan gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Gugatan ini telah mencapai tahap kasasi di Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suku Awyu menuntut PT IAL yang mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, menurut laman Perkumpulan HuMa. Lahan seluas lebih dari setengah DKI Jakarta itu berada di hutan adat marga Woro, bagian dari suku Awyu.
Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang diberikan izin untuk menggunakan 18.160 hektare hutan adat suku tersebut untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong yang sebagian telah dicabut pemerintah pusat pada 2022.
Suku Awyu
Menurut buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (1997) oleh Dr. Zulyani Hidayah, suku Awyu mendiami daerah pesisir selatan Papua terutama di daerah aliran Sungai Digul. Letaknya kira-kira di sebelah barat tanah merah di Kabupaten Merauke. Mereka mendiami beberapa desa di Kecamatan Edera, Kabupaten Mappi, kini di Papua Selatan. Di sebelah selatan daerah itu berdiam orang Yahrai dan di sebelah baratnya orang Muyu.
Jumlah populasi mereka sekitar 20-an ribu jiwa. Masyarakat adat Awyu umumnya hidup sebagai peramu dan pemburu. Makanan utama masyarakat Awyu adalah sagu serta ikan dan udang yang ditangkap langsung dari sungai.
Tidak heran hutan menjadi begitu penting bagi masyarakat adat suku Awyu. Henrikus Woro, pejuang lingkungan hidup Suku Awyu menyebut hutan sebagai rekening abadi karena menjadi ruang hidup yang memenuhi kebutuhan masyarakat Awyu dari generasi ke generasi.
Masyarakat Awyu bergantung pada hutan dan sungai untuk memenuhi kebutuhan dasar. Hampir setiap hari mereka mengambil sagu, berburu, dan mencari obat-obatan di hutan. Perempuan-perempuan di Kampung Yare bahkan menganggap hutan mempererat persaudaraan mereka.
Suku Moi
Suku Moi tak kalah dekatnya dengan alam. Dilansir dari Antara, awalnya suku itu hanya mendiami satu tempat, yaitu di Kampung Maladofok, kampung kuno yang terletak sekitar dua kilometer di barat Desa Malaumkarta, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat Daya. Namun, setelah bencana alam, suku Moi mengungsi ke sejumlah daerah, seperti ke Desa Malaumkarta, Suatolo, Sawatut, Malagufuk, dan Mibi yang tergabung dalam Malaumkarta Raya.
Seperti Suku Awyu, masyarakat adat Moi juga bergantung pada hutan untuk mencari penghidupan. Makanan pokok suku ini adalah sagu sehingga mereka melestarikan hutan sagu. Pohon sagu tidak hanya dimanfaatkan sebagai sumber makanan pokok, tetapi juga untuk membuat rumah. Bahkan ketika membusuk, pohon saku pun masih memberikan kehidupan bagi masyarakat dengan ulat sagunya. Hutan juga menjadi area berburu hewan dan mencari sayur-sayuran yang tumbuh liar.
Selain hutan, sejak dulu masyarakat Moi dekat dengan laut. Masyarakat mengambil bahan kebutuhan hidup dari laut, tetapi tradisi egek. Tradisi ini memiliki prinsip menjaga alam dengan mengambil secukupnya dari alam. Bahkan dalam penggunaan perahu pun mereka begitu berhati-hati. Daripada memakai perahu bermesin, masyarakat Moi memiih menggunakan kama, perahu tradisional yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Suku Awyu dan Suku Moi kini dijuluki penjaga hutan Papua. Masyarakat kedua suku ini ingin hutan tetap menjadi sumber penghidupan dan mengambil secukupnya dari sana.
Pilihan Editor: Mengenal Suku Dani Papua dan 4 Tradisi Mereka