Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Keraton Kanoman yang berada di Cirebon, Jawa Barat punya tradisi Grebeg Syawal setiap tahunnya, mirip dengan Keraton Yogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berbeda dengan Grebeg Syawal di Yogyakarta dan Solo yang identik dengan arak-arakan lalu berebut gunungan berisi hasil bumi, Grebeg Syawal di Cirebon dilakukan dengan berziarah ke makam leluhur kawasan Cirebon.
Waktu pelaksanaannya juga berbeda. Grebeg Syawal di Keraton Kanoman biasanya digelar 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Acara ini dipimpin oleh Patih Keraton Kanoman Cirebon, Pangeran Patih Raja Muhammad Qodiran yang mewakili Sultan Kanoman XII, Pangeran Raja Muhammad Emirudin.
Menurut Patih Qodiran, tradisi Syawalan merupakan representasi dari bentuk rasa syukur umat muslim atas karunia Allah SWT.
Diadakan setiap tanggal 8 Syawal
Kegiatan ini rutin diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah Idu Fitri. Hal ini disebabkan karena keluarga keraton melaksanakan puasa sunnah Syawal pada 6 hari sebelumnya.
Acara berlangsung ketika keluarga besar Keraton Kanoman yang datang dari berbagai daerah di Indonesia beramai-ramai naik ke puncak Gunung Sembung, yakni tempat di mana para leluhur dimakamkan.
Sebelum sampai ke puncaknya, mereka harus melalui Lawang Pitu atau pintu tujuh yang hanya dibuka saat ritual tertentu saja.
Keluarga Keraton Kanoman kemudian mengadakan tahlilan dan bersama-sama mendoakan Pangeran Chakrabuana atau Mbah Kuwu Cerbon yang merupakan pendiri Kota Cirebon. Mereka juga turut mendoakan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yakni tokoh penyebar agama Islam dari Kota Cirebon serta sanak keluarganya yang dimakamkan di tempat tersebut.
Biasanya, warga sekitar pun antusias untuk datang ke lokasi dan turut meramaikan acara ini, apalagi pada prosesi surak atau pelemparan uang receh oleh keluarga keraton. Masyarakat percaya, koin yang didapat dari surak ini membawa berkah.
Lebih lanjut, karena dirasa tidak mengganggu akses jalan dan ketertiban masyarakat, Harja selaku juru bicara sekaligus penjaga Keraton Kanoman mengungkap bahwa tidak ada perizinan khusus dari pihak keraton pada pemerintah.
“Beda dari Muludan (acara memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW) yang ramai, yang harus ada izin tempat dan segala macam. Syawalan mah agak longgar, enggak bikin jalan macet, enggak ganggu dan enggak perlu perizinan. Tahun lalu (saat pandemi Covid-19) pun begitu,” katanya kepada Tempo, tahun lalu.
Menurut laporan dari Antaranews, 20 Mei 2021, Patih Qodiran juga mengatakan bahwa tradisi ini harus dijaga agar tidak hilang karena perkembangan zaman.
"Kita tidak lupa dengan leluhur. Tradisi (Gerebeg Syawal) ini jangan sampai hilang karena perkembangan zaman," kata Qodiran.
TIM TEMPO
Pilihan editor : Mengenal Grebeg Syawal yang Akan Digelar Keraton Yogyakarta Besok
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.