Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Siluet gedung-gedung peninggalan Belanda yang berjejer di pinggir Batang Arau di senja hari, melengkapi keindahan di Pelabuhan Muaro, Padang, Sumatera Barat. Cahaya matahari yang kian redup menyisakan pantulan warna jingga di atas riak sungai yang tenang, dengan beberapa kapal yang tertambat di pinggir sungai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pelabuhan ini pernah menjadi pusat perdagangan di masa lalu. Meski kejayaannya telah berlalu, pelabuhan ini masih ramai dikunjungi orang-orang yang ingin tenggelam di masa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pelabuhan ini dibangun perusahaan dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di akhir abad ke-17. Masa keemasan Pelabuhan Muaro sebagai sebuah bandar perdagangan besar sudah jadi sejarah setelah berabad-abad. Namun peninggalan VOC di pinggiran Batang Arau itu masih tersisa. Jejeran bangunan yang pernah menjadi perkantoran dan gudang beragam komoditas seperti emas, batu bara, teh, kopi, kapur barus, garam dan kemenyan masih berdiri melewati berabad-abad waktu.
Sebagian bangunan berarsitektur Eropa peninggalan Belanda itu saat ini telah berubah fungsi menjadi kafe dengan lampu warna-warni. Menyajikan sajian kekinian dan hiburan musik hidup. Keindahan yang terekam jelas bisa menikmatinya dari atas Jembatan Siti Nurbaya yang membentang di atas sungai Batang Arau.
Gedung GEO Wehry & CO, bangunan di Pelabuhan Muaro yang jadi salah satu ikon Kota Tua Padang (ANTARA/Miko Elfisha)
Revitalisasi bangunan tua
Tidak jauh dari Jembatan Siti Nurbaya, berdiri megah Gedung GEO Wehry & CO. Gedung kantor sekaligus gudang dari firma atau perusahaan ekspor-impor terbesar di Hindia-Belanda (Indonesia) pada masa kolonial itu didirikan pada 1911 dan diresmikan pada 1920. Di bangunan lain, gedung itu amat mencolok karena ukurannya yang lebih besar, tingginya mencapai 24 meter.
Gedung itu kini menjadi aset dari PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Seperti sebagian bangunan peninggalan Belanda di pinggiran Sungai Batang Arau, bangunan itu sempat terlantar, tidak terpelihara, kusam dan mulai lapuk dimakan usia. Namun sekarang, pemugaran besar-besaran dilakukan terhadap bangunan yang telah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya di Padang itu.
Kepala Divisi Manajemen dan Aset PT PPI, Syulia Rahmayanti mengatakan, Gedung GEO Wehry & CO direvitalisasi untuk pemberdayagunaan aset milik negara. PT PPI bekerja sama dengan mitra dari Jakarta mengalihfungsikan gedung itu menjadi restoran dan kafe. Anggaran revitalisasi sepenuhnya ditanggung oleh pihak penyewa, namun tidak boleh mengubah arsitektur bangunan sesuai aturan rancangan cagar budaya.
Kawasan Kota Tua
Bangunan peninggalan Belanda di pinggiran Sungai Batang Arau merupakan bagian dari kawasan Kota Tua Padang yang luasnya mencapai 32.690 meter persegi melingkupi dua kecamatan, yaitu Padang Selatan dan Padang Barat.
Merujuk sejarah, cikal bakal Kota Tua Padang itu berawal dari berkembangnya Pelabuhan Muaro sebagai bandar dagang yang maju yang membuat tumbuhnya pemukiman di daerah itu. Belanda pada pertengahan abad ke-17 kemudian membuat kebijakan membuat batas pemisah antara permukiman mereka dengan pribumi.
Belanda menempati pinggiran Sungai Batang Arau yang sangat strategis pada masa itu, bertetangga dengan masyarakat Tionghoa, etnis Tamil India, dan terakhir baru pribumi. Kawasan permukiman itulah yang saat ini disebut Kota Tua. Hingga saat ini, etnis Tionghoa, Tamil India dan Minangkabau masih saling membaur di Kawasan Kota Tua sehingga menjadi simbol dari akulturasi budaya dan keharmonisan antaretnis di Padang.
Luhur Budianda, Kepala Dinas Pariwisata Sumatra Barat, mengatakan bahwa revitalisasi bangunan peninggalan Belanda di pinggiran Sungai Batang Arau hanya sebagian dari upaya pengembangan kawasan Kota Tua Padang agar menjadi destinasi bertaraf dunia.
Berdasarkan rencana induk (masterplan) yang telah disiapkan, kawasan Kota Tua itu bisa dibagi menjadi sembilan sub kawasan dengan keunikannya masing-masing, seperti Kampung Tionghoa dengan beberapa kelenteng yang masih berdiri kokoh dan aktivitas budaya yang masih terpelihara.
Kemudian, kawasan etnis Tamil India dengan tradisi yang juga masih dipertahankan. Pasar Tanah Kongsi yang memperlihatkan akulturasi budaya hingga Pasar Gadang yang dulunya menjadi pusat bermukim saudagar Minang.
Masterplan itu menjadi pedoman dan rujukan ke depan untuk pengembangan kawasan Kota Tua Padang hingga bisa menjadi destinasi unggulan di Sumbar untuk menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Wisatawan bisa menikmati sensasi berjalan-jalan di pinggiran sungai sambil menatap bangunan gaya Eropa abad ke-17, atau berlayar dengan sampan kecil di Sungai Batang Arau sambil membayangkan pada saudagar membawa rempah dan emas dengan kapal melalui Pelabuhan Muaro.
ANTARA
Pilihan Editor: Kota Tua Padang Kian Digemari Pelancong, Ini Daya Tariknya