Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada beberapa rute menuju Baduy Dalam, dari rute cepat hingga rute panjang dan menantang.
Jalur tak biasa menuju Baduy menyuguhkan pemandangan indah hutan, sungai, ladang, dan kampung.
Melewati hutan ketika malam tiba diwarnai dengan suara kodok, jangkrik, cericit burung, dan kucing hutan.
Kami baru saja tiba di Cibeo, kawasan Baduy Dalam, siang itu sekitar pukul 14.00 WIB. Saya, yang ditemani warga Baduy Luar, Sardi, tidak bisa lama-lama di sana. Saya tidak bisa bermalam karena warga Baduy Dalam sedang menjalani Kawalu, ritual penyucian diri masyarakat adat tersebut. Pada masa Kawalu selama tiga bulan, yang tahun ini jatuh pada 13 Februari hingga 13 Mei 2024, kawasan Baduy Dalam ditutup untuk kunjungan wisatawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya bisa masuk ke Baduy Dalam karena hendak menulis soal budaya dan kearifan lokal mereka. Saya memulai perjalanan dari Terminal Ciboleger, Lebak, Banten. Saya lalu berjalan kaki sepanjang 1 kilometer menuju rumah Sardi di Kampung Kedu Ketug 1, Kampung Baduy Luar. Kami lalu melanjutkan perjalanan melintasi Kampung Cempaka menuju Danau Dandang Ageung. Dari danau itu, kami menyusuri hutan hingga Kadu Keter atau perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam. Dari Kadu Keter, kami berjalan lagi menuju Cibeo, perkampungan Baduy Dalam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rute perjalanan yang kami tempuh bukanlah jalur biasa dengan perjalanan kurang dari dua jam. Saya memilih rute menantang dengan perjalanan sekitar tujuh jam sekali jalan sejauh 12 km atau 14 jam perjalanan pulang-pergi. Maka, setelah beristirahat sebentar, bertemu dan berbincang dengan warga, kami segera meninggalkan Baduy Dalam agar tidak kemalaman dan kehujanan di jalan, yang bisa membuat perjalanan makin sulit.
Siang itu, Selasa, 27 Februari lalu, begitu hangat. Cahaya matahari menerobos celah-celah pepohonan yang bergerombol dalam jurang. Kami terus berjalan kaki pulang menuju Baduy Luar. Kami kemudian tiba di jalan setapak penuh bebatuan berlapis lumut menjorok tajam, membuat kaki-kaki harus menapak pelan-pelan dan berpijak kukuh supaya tidak tergelincir karena licin. Peluh membasahi sekujur tubuh.
Orang Baduy menamai jalan ini sebagai tanjakan dan turunan cinta, bergantung pada arah dan rute mana orang melewatinya. Ini merupakan jalan paling berliku dan sulit dilalui. Setiap orang yang melewatinya biasanya berpegangan pada teman seperjalanan supaya tidak jatuh. Itu mengapa diberi nama turunan cinta.
Warga Baduy Luar sedang membersihkan rumah saat hari suci Kawalu di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, 27 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Tapi, bila ingin menguji kemandirian dan ketahanan fisik tubuh, pejalan bisa mengandalkan tongkat dari batang kayu sebagai pijakan. Kehati-hatian ekstra diperlukan karena jurang mengapit jalan dengan kemiringan 45 derajat di atas perbukitan Gunung Baduy ini.
Gunung Baduy dianggap keramat bagi warga Baduy. Dalam hutan Baduy yang sunyi, mitos hidup abadi. Dia tumbuh lestari antar-generasi, seperti pohon-pohon raksasa yang dihuni roh-roh gaib. Pejalan yang lewat pantang mengabadikannya melalui kamera. “Rute ini masuk hutan larangan Baduy Dalam untuk difoto,” kata Sardi mengingatkan saya.
Orang Baduy menetapkan batas-batas hutan yang boleh difoto dan tidak. Sesuai dengan aturan adat yang ketat, perkampungan Baduy Dalam pantang difoto. Sardi merupakan orang Baduy yang hafal hutan dan pegunungan Baduy. Sejak masih bocah, dia terbiasa berjalan bertelanjang kaki melintasi jalan yang ekstrem menanjak dan menurun serta menyeberangi sungai. Sardi sering mengantar wisatawan masuk hutan dan perkampungan Baduy Dalam.
Dia menemani saya dalam perjalanan dengan rute yang tak biasa dilalui wisatawan itu. Kami menempuh perjalanan selama hampir satu hari satu malam pulang-pergi untuk menembus pekatnya hutan, menyeberangi sungai-sungai kecil, perkampungan Baduy Dalam, dan kembali ke perkampungan Baduy Luar di Kampung Kadu Ketug 1.
Rute pulang-pergi: Kampung Kadu Ketug 1-Cempaka-Danau Dandang Ageung-Kadu Keter 2 (perbatasan Baduy Luar dan Dalam)-Cibeo-Cebak Bayu-Cicakal-Gajeboh-Marengo-Balambang-Lebak-Kadu Ketug 2-Kadu Ketug 1.
Wisatawan biasanya menggunakan jalur yang lebih dekat menuju Cibeo, kampung Baduy Dalam, hanya dalam waktu satu jam dari terminal atau warung Cijahe. Orang mengenalnya sebagai jalur Bojongmanik. “Rute ini tak cocok untuk yang terbiasa naik gunung, kurang menantang,” kata Sardi.
Ada juga jalur Desa Gajeboh yang memerlukan waktu tempuh enam jam menuju Cibeo, melewati Sungai Ciujung yang menjadi batas penghubung Baduy Luar dan Baduy Dalam. Pengunjung yang datang ke Cibeo biasanya menginap untuk beristirahat dan sehari setelahnya baru kembali ke Terminal Ciboleger menuju titik awal keberangkatan.
Tapi kami melewati rute berbeda dengan jalur yang lebih sulit dengan jarak tempuh lebih lama. Perjalanan kami tempuh selama 24 km atau 14 jam dari kampung Baduy Luar, Kadu Ketug 1, melewati 12 kampung Baduy.
Semua hunian warga Baduy hampir serupa, berupa rumah panggung beratap daun kirai dan berdinding bambu. Tapi rumah warga Baduy Dalam tidak menggunakan paku sesuai dengan aturan adat.
Selain rumah, ada leuit atau lumbung padi yang jauh dari permukiman dan berada di hutan. Itu untuk mengantisipasi kebakaran di perkampungan. Leuit menjadi simbol kemakmuran sekaligus cara warga Baduy menjaga ketahanan pangan. Di ladang-ladang hutan juga terdapat saung-saung sebagai tempat istirahat para petani. Di perkampungan kerap terlihat buah laja dan padi yang masih ada gagangnya dijemur di depan rumah.
Warga Baduy kini sedang menjalani ritual Hari Raya Kawalu atau penyucian diri, sehingga wisatawan tak boleh masuk ke hutan dan perkampungan Baduy Dalam. Saya tak boleh menginap di Baduy Dalam dan harus langsung kembali ke Kadu Ketug, tempat saya menginap di rumah Sardi. Mereka memberi nama perjalanan lintas bila seseorang tidak menginap di Baduy Dalam.
Menyusuri hutan, Sardi berjalan tanpa alas kaki dengan langkah cepat. Dia mengenakan baju hitam dengan ikat kepala berwarna biru tua. Selama menjelajahi hutan dan mendaki pegunungan, saya mengenakan setelan baju adat suku Baduy berwarna hitam beserta koja, tas khas Baduy berbahan kayu teureup.
Tantangan Sardi melewati rute itu terbayarkan. Jalur itu menyuguhkan pemandangan hutan Baduy yang indah. Kami menikmati udara segar. Pepohonan kirai atau palem menjulang tumbuh subur di sekitar Danau Dandang Ageung. Warga kerap mencari ikan di danau berwarna hijau itu.
Menurut Tetua Adat Kanekes, Jaro Saija, danau itu angker dan penuh misteri. Danau tersebut menyimpan legenda tentang pintu di tengah-tengah danau yang bisa menembus Selat Sunda dan cerita ular besar sebagai penjelmaan dewa air yang menghuni danau. “Tak boleh sembarangan melanggar pantangan. Di sana pernah ada orang tenggelam,” kata Jaro Saija.
Di sepanjang hutan, kami berpapasan dengan bocah-bocah, remaja, perempuan, lelaki, dan manula Baduy yang memikul durian menuju Pasar Ciboleger, tak jauh dari terminal. Mereka berjalan bergegas dengan langkah cekatan, melewati jalan bebatuan terjal, naik dan turun.
Warga Baduy kini sedang berpesta, panen raya durian atau kadu dalam bahasa Baduy. Petani Baduy menjadikan durian sebagai tumpuan hidup selain pisang, sayuran, padi, palawija, dan tanaman obat-obatan.
Di tengah perjalanan menuju Kampung Cibeo, kami bertemu dengan Kudir, 23 tahun, warga Baduy Dalam yang memikul durian. Kami beruntung bisa menyantap lodong, durian khas Baduy yang bentuknya lonjong. Pohon durian jenis ini lebih tinggi dan besar ketimbang durian jenis lain. Durian ini bercita rasa legit, berwarna kuning dengan tekstur kulit agak kasar. Menurut Sardi, durian jenis ini tak banyak di Baduy.
Perjalanan kami teruskan. Tak ada warung dan perut kami keroncongan karena bekal yang kami bawa terbatas. Kami mengandalkan buah-buahan yang berlimpah, jatuh berserakan di antara dedaunan kering, untuk menambah energi. Rambutan, duku, manggis, serta pisitan yang mirip langsat dan kaya vitamin C mengganjal perut kami, menggenjot kembali tenaga.
Sungai Ciujung di hutan Baduy, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, 27 Februari 2024 TEMPO/Shinta Maharani
Sore itu, geluduk menggelegar di langit yang kelabu. Kepala Sardi sebentar-sebentar mendongak ke langit. Gerimis turun. Saya khawatir hujan lebat mengguyur hutan yang tentu akan makin menyulitkan langkah kaki. Jika hujan, medan akan bertambah berat dengan lumpur yang menjerat kaki dan licinnya bebatuan. Tapi langit kembali terang. Saya tak tahu kenapa Sardi kerap menghadap langit dengan bibir seperti merapal mantra. Orang Baduy percaya pada mantra-mantra yang bisa menghentikan hujan turun.
Setelah 5 km menempuh rute berkelok-kelok, kami melewati huma atau ladang tadah hujan yang ditumbuhi padi varietas lokal Baduy. Bunga-bunga berkelir merah muda, harendong, tampak bermekaran. Kami kembali bertemu dengan tiga petani durian yang sedang panen. Mereka memanggil kami untuk berhenti, menawari kami durian yang baru saja dipetik dari pohonnya. Menggunakan golok, mereka membuka tiga durian yang baru saja jatuh dari pohon. Kami kekenyangan dan mabuk durian.
Petani Baduy yang baik hati masih memberi bekal tiga durian untuk kami bawa dalam perjalanan. Sardi memikul tiga durian itu. Kami pamit dan melanjutkan perjalanan. Perut saya tiba-tiba kembung dan kebelet pipis. Saya menuju sungai kecil dengan air terjun yang ditutupi gedek atau anyaman bambu.
Setelah melewati perkampungan Cibeo dan mampir minum kopi, kami melewati jembatan Sungai Ciujung. Matahari mulai menyingsing di perbukitan, pertanda malam segera tiba, sementara kami masih harus menempuh separuh lagi perjalanan. Gelap malam pelan-pelan menyergap. Kami menggunakan senter dan ponsel untuk menerangi langkah kaki.
Hutan Baduy malam itu semarak dengan suara kodok, jangkrik, dan cericit burung. Suara air sungai mengalir membuat saya merasakan ketenangan dan mengantuk. Di ujung jalan yang berkelok, kami dikejutkan oleh seekor kucing hutan bertubuh kecil yang mengiringi langkah kami hingga 3 km jauhnya.
Kucing itu menangkap seekor tikus dan menyeretnya memakai mulut. Sardi menyatakan tak pernah melihat kucing jenis itu selama berada di hutan. “Saya waswas itu pertanda akan datang macan,” ujar Sardi.
Di perkampungan yang hampir mendekati rumah Sardi, kami berhenti untuk istirahat. Kaki kanan saya sontak terasa sakit, seperti terkilir. Saya berjalan tertatih-tatih. Samar-samar saya melihat lampu minyak dari ujung rumah Sardi.
Istri Sardi, Ana, dan anaknya menyambut kami dengan senyuman mengembang dari beranda rumah. Saya langsung merebahkan tubuh di atas beranda berlantai bambu. Begitu pun Sardi. Rasanya plong telah menyelesaikan perjalanan yang melelahkan dan menantang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo