Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Piring menjadi salah satu peralatan piknik yang mesti dibawa. Menggelar tikar di lapangan hijau atau tepi pantai, duduk bersama, membuka bekal dalam kotak makanan, dan meletakkan hidangan di atas piring, kemudian makan bersama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian orang memilih membawa piring styrofoam ketika piknik. Alasannya simpel, langsung buang setelah memakainya. Padahal styrofoam termasuk salah satu limbah yang sulit terurai di alam. Butuh satu juta tahun agar styrofoam benar-benar hancur. Itu pun harus di tempat pembuangan sampah yang tanpa udara dan tanpa cahaya. Yang tak kalah berbahaya adalah serpihan styrofoam yang kerap termakan oleh binatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komunitas Konservasi Indonesia - Warung Informasi Konservasi atau KKI Warsi mengenalkan satu piring alternatif pengganti styrofoam yang dibuat oleh warga Desa Sinar Wajo dan Desa Sungai Beras di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Fasilitator Komunitas dan Kabupaten KKI Warsi, Ayu Shafira mengatakan, pelepah pinang bisa menjadi bahan wadah praktis yang ramah lingkungan.
"Ketika inovasi piring pelepah pinang dikembangkan, petani untung karena mereka tidak harus membersihkan area perkebunan dari pelepah yang setiap hari berjatuhan dan mengotori kebun," kata Ayu dalam keterangan tertulis KKI Warsi yang diterima Tempo, Jumat 17 Agustus 2021. Perajin tinggal mengambil dan memanfaatkan limbah pelepah sebagai bahan baku. Tak perlu membayar sepeser pun.
Piring dari pelepah pinang. Dok. KKI Warsi
Ayu menjelaskan, jika petani membiarkan pelepah pinang berserakan di kebun sampai kering, maka di musim kemarau, sampah pelepah itu mudah terbakar. Ini berbahaya karena bisa memicu kebakaran lahan. Di sisi lain, perajin yang tinggal mengambil pelepah pinang yang berjatuhan di kebun bisa mendapatkan penghasilan.
Untuk membuat piring, pelepah pinang yang baru jatuh sekitar satu-dua hari diambil, lalu dicuci dengan sabun pencuci piring yang aman untuk bahan makanan. Pelepah pinang itu kemudian dijemur sekitar 3 sampai 4 jam. Setelah pelepah kering, piring dicetak dengan alat mesin molding hot press dengan suhu 120 derajat Celcius. Satu menit kemudian, piring siap digunakan.
Dalam proses pembuatannya, perajin tidak menggunakan bahan kimia sama sekali. Karakter piring pelepah pinang ini, menurut Ayu, lebih kokoh ketimbang piring kertas karena pelepah pinang memang tebal dan berlapis lilin. "Piring ini juga tahan lama. Jika sudah dijemur hingga benar-benar kering, ia tidak akan berjamur sama sekali, meski disimpan di dalam lemari tertutup," kata Ayu. "Ketika sudah digunakan atau rusak, piring bisa dibuang ke tempat sampah dan akan terurai di alam tanpa merusak lingkungan."
Piring dari pelepah pinang. Dok. KKI Warsi
Piring dari pelepah pinang ini juga bisa digunakan ulang sampai delapan kali. Proses pencuciannya cukup dibasuh dengan air, jangan direndam, dan tidak pula digosok. "Kalau direndam, piring akan melunak karena air masuk ke celah-celah serat piring," kata Ayu. Makanan kering, gorengan, sampai makanan berkuah panas, seperti bakso, juga dapat berwadah piring ini.
Sejak mulai menekuni usaha piring pelepah pinang pada November 2020 hingga April 2021, warga Desa Sinar Wajo dan Desa Sungai Beras sudah menjual sekitar 400 buah piring. Harga satu piring sekitar Rp 5.000 sampai Rp 6.000. Saat piring ramah lingkungan ini kian populer dan permintaan meningkat, maka ongkos produknya bisa lebih rendah dan harga jualnya murah.
Satu lagi yang menarik dari piring pelepah pinang ini adalah coraknya. Ayu mengatakan, ada tiga jenis piring pelepah pinang yang tersedia, yakni Grade A yang nyaris tanpa corak atau polos, Grade B setengah bermotif, dan Grade C banyak motif. "Warna dan coraknya benar-benar tergantung pada pelepah pinang yang didapat," katanya.
Baca juga:
Tips dan Trik Merapikan Dapur yang Selalu Berantakan