Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menghadiri ulang tahun pertama pusat cinderamata, Teras Malioboro 1, yang berada di ujung Jalan Malioboro, Selasa, 7 Februari 2023. Teras Malioboro 1 yang berada di seberang Pasar Beringharjo tersebut merupakan tempat relokasi para pedagang kaki lima (PKL) yang sebelumya berjualan di sepanjang Jalan Malioboro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Dulu kami (pemerintah provinsi) mengambil kebijakan agar para PKL di Jalan Malioboro bisa naik kelas (saat direlokasi di Teras Malioboro)," kata Sultan HB X.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Istilah naik kelas itu, menurut Sultan, artinya para pedagang itu sebenarnya kini tidak lagi menyandang predikat 'kaki lima'. Sebab, secara tempat, mereka sudah tidak berjualan di trotoar jalan tapi menempati tempat lebih tertata dengan bangunan cukup megah di Teras Malioboro 1.
"Istilahnya bukan PKL lagi, karena faktanya dari barang barang yang dijual di Teras Malioboro itu juga sudah sangat berbeda dibanding ketika pedagang berjualan di sepanjang Malioboro," kata Sultan.
Barang-barang yang dijual pedagang di Teras Malioboro itu pun, menurut Sultan, kini sudah semakin bervariasi. Barang yang dijual itu ada yang didapat pedagang dengan cara kulakan langsung lalu dijual kembali di Teras Malioboro atau ada juga yang hanya barang titipan dari perajin lokal kepada pedagang yang menempati lapak di Teras Malioboro untuk kemudian dijual lagi.
"Yang menitipkan barang-barang produksinya di Teras Malioboro ini adalah produsen, walau mungkin dia hanya menjahit daster (dari rumahnya)," kata Sultan.
Kondisi para produsen atau perajin lokal rumahan yang memproduksi barang-barang cinderamata untuk dititipkan dan dijual kembali di Teras Malioboro inilah yang lantas menjadi perhatian Raja Keraton Yogyakarta itu. Sultan menuturkan para perajin lokal yang tak memiliki tenant se-strategis Teras Malioboro perlu diperhatikan kondisinya agar juga bisa ikut menikmati untung atas hasil jerih payahnya.
Sebab, para perajin batik, pembuat kerajinan logam, kayu dan bahan-bahan lain itulah yang mencipta produk-produk itu dari hilir sehingga bisa terpajang di hulu atau etalase Teras Malioboro. "Keprihatinan saya, bagaimana agar pembatik batik di Imogiri, perajin perak di Kotagede itu juga bisa menikmati hidup, bisa meningkatkan penghasilan, sebab selama ini upah mereka masih kecil," kata Sultan.
Menurut Sultan, jika para perajin lokal yang jauh dari pusat transaksi dengan konsumen langsung itu kondisinya tak ikut membaik seperti halnya pedagang di Teras Malioboro, maka Yogya akan mengalami kehilangan besar potensi luar biasa itu. "Saya yakin yang mau bekerja (sebagai perajin) itu hanya orang-orang tua jika upahnya masih kecil, anak muda tak akan mau meneruskan usaha (produksi kerajinan) itu," ujarnya.
"Harapan saya, jangan mau untung sendiri, jika produk produk perajin itu ketika dijual harganya bisa jutaan rupiah, maka saya harap perajin perajin itu juga bisa meningkat upahnya, sehingga ada yang mau meneruskan usahanya," kata Sultan.
Sultan menggambarkan Teras Malioboro seperti sebuah pusat ekonomi yang tak akan mati sepanjang lokasinya masih di Malioboro yang merupakan kunjungan wisatawan saat di Yogyakarta. "Maka saya harap ada kerjasama yang baik di sini dengan para pengrajin lokal, beri edukasi juga jika kualitas produk tak layak agar menjadi layak baik jahitannya atau pekerjaannya," kata dia.
"Teras Malioboro seperti rumah, yang bisa melibatkan banyak produsen mulai dari produksi gentengnya, lantainya, besinya," kata Sultan. "Maka di Teras Malioboro juga bisa melibatkan banyak perajin entah batik, sepatu, kayu, logam, untuk bekerjasama," ujarnya.