Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Parliza Hendrawan
Kontributor Tempo Palembang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matahari mulai meninggi hingga ujung batang nibung di Selat Bangka. Pelan-pelan pompong Serang, transportasi laut yang saya dan rombongan tumpangi, merapat ke tangga kayu di bagan milik Haji Syam setelah melewati Sungai Sungsang, Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin. Dengan cekatan, anak buah kapal menambatkan tali ke salah satu tiang nibung yang tampak dihinggapi teritip putih kecokelatan. Kami bergegas menaiki tangga bagan yang cukup curam di tengah debur ombak yang bisa membuat perut mual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mang Ali, Rusdi, dan Lekat, yang sudah berada di bagan yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun nipah, menyambut kami dengan hangat. Kebetulan, pada pagi menjelang siang itu mereka sedang beristirahat di sela aktivitas mencari ikan serta merebus hasil tangkapan di atas tungku besar. Dengan leluasa ketiganya bisa membantu menaikkan peralatan memancing dan ransum di pompong. Sebagai welcome drink, Lekat menyodorkan teh manis hangat sembari menawarkan camilan berupa cumi-cumi dan teri yang sedang dikeringkan di sekeliling bagan. Pompong pun berlalu menuju empat bagan lain.
Belum sempat beristirahat setelah melakukan perjalanan lebih dari empat jam dari Kota Palembang, Ando Aries, salah seorang anggota tim Angler Sumsel Fishing Club (ASFC), langsung mencari tali dan kail. Ia melempar mata pancing menggunakan metode casting dengan lure berupa umpan jenis metal jig seberat 10 gram. Sedangkan saya dan keempat orang lainnya masih asyik di dalam bagan menyiapkan peralatan pancing, seperti joran, mata kail, spool, senar, reel, timah pemberat, kili-kili, serta tali jenis leader yang konon tahan terhadap gesekan teritip. Tak lupa juga umpan berupa udang beku dan ikan janjan hidup dikeluarkan dari sebuah boks merah.
Selama hampir satu jam Ando menantikan tarikan dari kerapu dan gerot. Namun keberuntungan belum berpihak kepadanya. Ando semakin penasaran karena biasanya metode casting bisa menarik perhatian banyak ikan yang berkeliaran di sekitar bagan. Masuk ke bagan, ia membuka tas besar yang berisi peralatan pancing. Dia menyiapkan mata kail dengan beragam ukuran dan mengambil semangkuk udang beku sebagai umpan. Ia kembali bertapa di salah satu sudut bagan yang terbuat dari kayu.
Lagi-lagi, keberuntungan belum berpihak kepadanya. "Kebetulan umpan udang masih di boks, jadi saya pilih casting yang biasanya bisa mendapatkan banyak ikan," kata Ando membuka obrolan.
Matahari mulai condong ke barat. Air laut semakin mendekat ke lantai bagan ketika Adi, salah seorang anggota tim, menunjukkan kepiawaiannya merayu senangin. Dilemparnya mata kail dengan umpan udang ke arah timur bagan. Berselang beberapa menit, jorannya berayun kencang. Seketika dia berdiri mengangkat joran sembari menggulung tali agar ikan bisa mendarat di bagan dengan selamat. Ikan di ujung kail memberikan perlawanan dengan membawa tali menyelinap di antara tonggak nibung. Tarik dan ulur pun tak bisa dihindari. Setelah sempat tarik-menarik beberapa saat, akhirnya senangin seberat hampir 2 kilogram berhasil didapat. Inilah ikan pertama yang didapat tim.
Hari mulai berangsur gelap, matahari tertutup kabut asap. Ikan tampak mulai kelaparan, sehingga mata kail yang dilempar dengan segera mereka santap. Dengan diterangi lampu petromaks, petualangan kecil malam itu dilanjutkan hingga lewat tengah malam. Sejumlah ikan beragam jenis berhasil mengisi ruang kosong di boks plastik yang sudah disiapkan. Keesokan harinya hingga tengah hari menjelang kepulangan, pemancing masih tampak tak ingin beranjak dari spot-spot pilihan mereka.
Beberapa hari sebelum berangkat, pengurus Angler Sumsel Fishing Club menyebar ajakan melalui media sosial untuk berburu ikan hingga ke Selat Bangka. Tanpa perlu waktu lama, belasan anggota menyatakan ketertarikannya bermalam di bagan. Uang saweran pun berhasil dikumpulkan untuk membayar sewa bagan, sewa perahu, serta membeli umpan dan perlengkapan dapur. Berikutnya, Yasir Cambai dan Achmad Romeli Kecenk, pengurus ASFC, mulai belanja beragam keperluan, seperti air minum dalam galon, gula, kopi, mi instan, beras, hingga sayur-mayur.
Sehari sebelum berangkat, persisnya pada Jumat, 27 September 2019, saya memastikan diri ikut dalam rombongan berjumlah 18 orang itu. Dari ujung telepon, Romeli meminta saya datang sebelum pukul 03.00 ke kediaman Yasir sebagai meeting point. Hari-H tiba, pukul 02.00 saya berangkat. Ternyata sebagian besar anggota rombongan sudah berkumpul di rumah Yasir dan mengemasi keperluan yang akan diangkut menggunakan empat mobil minibus.
Kabut asap begitu pekat ketika kami mulai meninggalkan Kota Palembang ke arah desa dan Kecamatan Sungsang, Banyuasin, yang berjarak 70 kilometer. Bau sangit akibat kebakaran hutan dan lahan terasa menusuk hidung manakala sesekali jendela kendaraan Fortuner putih yang dikendarai oleh Irawan ZN, Ketua Umum ASFC, terbuka. Sebetulnya kami bisa sampai di tujuan kurang dari dua jam, tapi kendaraan baru tiba di dermaga Sungsang 2,5 jam kemudian.
Kami tiba di dermaga kayu di Desa Marga Sungsang sekitar pukul 05.30. Masih sepi. Hanya beberapa kendaraan yang sudah parkir menunggu pompong ke arah bagan. Pompong baru membawa rombongan ke bagan sekitar pukul 07.30.
Kapal terisi penuh. Ternyata bukan hanya tim dari ASFC yang akan bermalam di bagan. Setidaknya saya masih melihat empat rombongan lain yang juga siap berlayar. Tegur sapa dan kebersamaan tampak terjalin selama 90 menit pelayaran, Sabtu pagi itu. Walaupun baru pertama kali bertemu, para pemancing tampak akrab. Mereka saling bercerita perihal perkembangan dunia memancing.
Belum 10 menit berlayar, Serang diminta menepi ke sebuah warung terapung di pinggir Sungai Sungsang. Ternyata warung tersebut sudah dikenal sebagai tempat membeli umpan pancing berupa udang burung. Kami tak lama di situ. Perahu berlayar kembali ke tengah sungai untuk menjumpai perahu penjual es balok. Yasir kembali mengeluarkan isi dompetnya untuk membayar enam balok es sebagai pembeku hasil tangkapan kami kelak.
Perjalanan sesungguhnya benar-benar dimulai. Muara Sungai Sungsang kami tinggalkan. Tiupan angin semakin kencang, saya mulai merekam adegan pelaut di sekitar pompong. Kamera digital single lens reflex (DSLR) dikeluarkan dari tas dengan harapan bisa menangkap momen langka. Sesekali ombak besar tampak menghantam badan perahu dan air tak jarang membasahi pakaian para penumpang. Di tengah laut lepas, kami beberapa kali berpapasan dengan kapal besar, termasuk kapal tongkang pengangkut batu bara. Kamera dibidikkan hingga mendapatkan gambar sebuah tongkang yang melaju pelan dengan latar belakang hutan mangrove.
Hampir tiap akhir pekan puluhan bagan di Selat Bangka disambangi oleh pemancing dari Kota Palembang, Pangkalan Balai, Kayuagung, Pangkal Pinang, dan kota-kota lain di Sumatera Selatan serta Bangka Belitung. Banyaknya pemancing yang berlibur di tengah laut lepas itu tak terlepas dari semakin mudahnya akses ke bagan. Dengan jadwal berangkat dari Palembang pada pukul 09.00, para anglers dapat menaiki speed boat dari dermaga Rumah Buruk di Pasar 16 Ilir atau Sayangan ke dermaga Sungsang dengan tarif Rp 70 ribu per orang. Adapun trip dari Sungsang hanya ada pada pukul 16.00.
Eliyas Hadinata, Sekretaris Desa Sungsang IV, Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, mengatakan menggunakan angkutan darat atau travel berupa minibus juga bisa menjadi pilihan. Ongkos moda transportasi yang tersedia sepanjang hari dari Sayangan dan Pasar 16 Ilir sebesar Rp 50 ribu per orang. Menggunakan kendaraan pribadi paling direkomendasikan karena bisa menghemat biaya. Pemilik kendaraan hanya membutuhkan biaya tambahan berupa jasa parkir Rp 10 ribu per 24 jam. Dari Sungsang ke bagan, perjalanan beralih menggunakan pompong dengan tarif Rp 100 ribu per orang atau Rp 1,5 juta untuk harga borongan yang bisa diisi hingga 30 orang.
Buah tangan tentu dengan sangat mudah dijumpai, baik dalam bentuk ikan dan udang segar maupun hasil olahannya. Di Desa Sungsang I, misalnya, wisatawan dapat berbelanja empek-empek, model, tekwan, kerupuk, kemplang, dan terasi dengan udang sebagai bahan baku utama. Diana, pemilik usaha, mengatakan kemplang udang siap goreng dijual dengan harga Rp 48 ribu per kilogram, kapal selam Rp 7.000/ biji, pempek-pempek kecil Rp 2.000/biji, dan terasi Rp 40 ribu/kilogram.
Ikan dan udang segar bisa dibeli melalui pengepul di tempat pelelangan ikan di Desa Sungsang IV. Toha, salah seorang pengepul, mengatakan ikan senangin dijual Rp 40 ribu/kilogram, sembilang Rp 20 ribu, belut laut Rp 25 ribu, nior Rp 50 ribu, utik Rp 20 ribu, tenggiri Rp 40 ribu, parang-parang Rp 30 ribu, dan udang burung Rp 80 ribu. Yus, pengepul udang petak, mengaku menjual hasil laut itu bervariasi, mulai Rp 50-90 ribu per ekor dengan panjang maksimal 25,5 sentimeter.
Selain memiliki kondisi fisik yang prima, memancing ke bagan harus menyiapkan modal. Yasir Cambai mengatakan panitia harus mengeluarkan Rp 1 juta untuk sewa bagan dengan kapasitas enam orang dan pompong, biaya BBM kendaraan Rp 100 ribu, juga ransum, umpan, dan es batu. Yasir menarik uang Rp 350 ribu dari setiap anggota. Uang tersebut ia pastikan cukup untuk bertahan hidup di bagan selama 1 malam 2 hari. Bahkan, dari uang yang terkumpul, sepulang dari bagan para anggota masih bisa makan sore bersama di pondok santai Cek Diah Sari.
Pada Sabtu, 26 Oktober lalu, saya menemui Eliyas Hadinata, Sekretaris Desa Sungsang IV, dan Haji Abdul Wahab, ketua adat Desa Sungsang IV. Eliyas menuturkan, selain mengandalkan destinasi bahari, pihaknya sedang mempopulerkan wisata budaya berupa adat istiadat pernikahan. Dia berharap industri pariwisata bisa mengangkat derajat warga. Saat ini, Sungsang IV dihuni oleh 5.067 jiwa yang terbagi dalam 16 rukun tetangga. Dari data itu, diketahui 2.035 penduduk tidak sekolah, 332 tidak tamat SD, 435 belum tamat SD, 1.686 tamat SD, 247 tamat SMP, dan 299 tamat SMA. "Sebelum ini puluhan turis Australia datang untuk mengenal adat pernikahan di sini," kata dia.
Abdul Wahab mengatakan warganya masih teguh menjalankan adat istiadat pernikahan. Prosesi perkenalan, lamaran, akad nikah, hingga acara resepsi berlangsung detail sesuai dengan yang diajarkan leluhur mereka. Pestanya bisa berlangsung 3 hari 2 malam dengan memotong kerbau beberapa ekor untuk menjamu undangan. Penyajiannya bukan di meja prasmanan, tapi dihidangkan di lantai rumah. Setiap hidangan dikelilingi hingga delapan orang tamu. "Penyajiannya dengan sistem ngobeng, dilakukan oleh warga yang terlatih," ujar dia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo