Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANEKA Ria Srimulat dan pimpinan tunggalnya, Teguh, 8 Agustus ini
berulang tahun yang di Surabaya sudah 18 tahun, yang di Solo
genap setahun dan Teguh sendiri 53 tahun. Hari tersebut
dirayakan di Solo dengan wayang kulit semalam suntuk. Dalangnya
Nartosabdo, sahabat Teguh.
Sementara itu gedung Srimulat di Taman Hiburan Rakyat Surabaya
belum jadi dipasangi AC. Generator diesel yang sudah dibeli --
dengan harga Rp 8,5 juta -- untuk menghidupkan AC trsebut,
belum mendapat tanah, meski hanya dibutuhkan 3 x 3 meter saja.
Tapi Mercedes 220 hijau selalu parkir di depan Wisma Seni TIM,
Jakarta, awal Agustus ini, selama Srimulat berpentas di Teater
Terbuka.
Bapak empat anak dari isteri kedua Djuariah (dari isteri
pertama, Srimulat tak ada anak) itu kini sedang merencanakan
membuka pentas tetap Srimulat di Jakarta.
Di bawah ini hasil omong-omong TEMPO dengan Teguh, di Wisma
Seni TIM.
Apa yang mendorong anda merencanakan pentas tetap di Jakarta?
Ini sebagian karena permintaan anak-anak, untuk mengembangkan
karir ke tingkat nasional. Juga karena tantangan. Saya sekarang
tinggal mengarang cerita. Urusan lain-lain: musik, kostum,
administrasi dan sebagainya sudah saya serahkan pembantu saya.
Jadi saya tinggal mikir bagaimana mengembangkan Srimulat. Di
Solo sudah jalan, meski pemasukan masih pas-pasan. Di Jakarta
Johny Gudel pun gagal. Ini 'kan tantangan buat saya.
Anda nampaknya sangat optimis. Apa kira-kira yang menyebabkan
Srimulat bertahan, juga ketika Johny Gudel, Suroto, Kardjo dan
beberapa orang lagi meninggalkan Srimulat sekitar empat tahun
yang lalu?
Ini agak panjang ceritanya. Sampai 1969, saya masih mencari
terus sebetulnya apa yang baik untuk komedi itu. Waktu berdiri
pertama kali di Surabaya, 1961, saya punya simpanan 40 naskah
cerita yang saya ambil dari Dagelan Mataram --entah siapa
pengarangnya. Tapi ternyata penonton tak mau kalau cerita
diulang. Terpaksa saya mengarang cerita setiap hari. Dan tahun
1969 baru ketemu -- bagaimana resep yang menarik itu. Lucu itu
tidak ada. Yang ada hanya aneh. Aneh aktingnya, aneh bicaranya,
aneh kostumnya.
Dan kenapa Srimulat bisa lucu? Setiap orang kalau membayangkan
wanita misalnya, tentu lain-lain. Dan kalau beberapa orang
sengaja membayangkan wanita secara aneh, hasilnya tentu
aneh-aneh dan karenanya lucu.
Ketika beberapa orang meninggalkan Srimulat beramai-ramai, saya
memang gugup. Waktu itu sekitar 40 orang dari hampir 100 warga
Srimulat yang pergi. Jangan lupa, Johny Gudel pergi duluan.
Sampai Walikota Surabaya menyediakan uang Rp 7 juta untuk
memanggil mereka kembali. Tapi saya tidak mau. Yang saya minta
kelonggaran waktu dua bulan untuk menata Srimulat kembali.
Beberapa hari memang penonton menurun sekali. Tapi sesudahnya
biasa lagi. Sebab, yang mengarahkan lucunya itu cerita. Jadi
bukan cerita yang dibuat lucu. Itu yang bisa tidak membosankan.
Meski improvisasi lucunya sama, tapi karena terjadi dalam cerita
yang lain, ya, jadi terasa lain.
Memang benar bahwa satu pertunjukan tergantung beberapa
bintangnya. Dan sejak dulu di Srimulat tak pernah ada bintang
tunggal. Bintang selalu banyak. Itu yang menyelamatkan Srimulat
ketika beberapa orang pergi meninggalkan Srimulat. Dan yang
selalu dilupakan orang, meski jumlah yang pergi lebih 40 orang,
tapi yang berarti 'kan hanya tiga Johny Gudel, Suroto dan
Kardjo.
Bagaimana anda pertama kali membentuk yang di Solo, dan apakah
antara Solo dan Surabaya ada perbedaan khas humornya?
Gampang saja. Saya terima pelawak dari mana-mana ya dari wayang
orang, dari ketoprak dan lain-lain. Tes, saya lakukan sendiri.
Saya ini sudah tahu begitu ketemu orang apa dia berbakat lawak
apa tidak. Tentu, pada awal-awalnya masih dibantu dari Surabaya.
Tiga-tiga, gantian, saya datangkan pelawak yang top dari
Surabaya.
Perbedaan menurut saya tentu ada. Tiap orang 'kan punya
kehebatannya sendiri. Itulah ketika dulu orang bertanya, apakah
saya tidak perlu mencari ganti Johny Gudel, saya bilang, tidak.
Buat apa. Yang penting, saya pimpin menurut bakat masing-masing
menjadi pelawak baik di pentas. Tapi Johny Gudel memang hebat.
Jadi khas Solo atau khas Surabaya itu tidak ada. Yang ada khas
perseorangannya. Ceritanya pun 'kan hanya satu, dari saya.
Setelah 18 tahun berjuang, kini anda nampaknya sudah memetik
hasilnya. Juga warga Srimulat nampaknya sudab hidup lebih baik.
Mercy di depan itu misalnya . . . (Teguh ketawa).
Paling tidak seminggu sekali saya harus berjalan Surabaya-Solo
dan sebaliknya. Dengan mobil itu biar nggak begitu capek. Soal
teman-teman, yah, begitulah. Ada delapan pelawak top Surahaya
yang mendapat Rp 2 ribu sekali main. Kami seminggu 11 kali main.
Yang lain-lain itu di bawah Rp 2 ribu, dan paling rendah Rp 750.
Di Solo karena baru berdiri, dan di sana makanan juga lebih
murah, tentu saja lain. Di Solo berkisar antara Rp 1.200 sampai
Rp 500 untuk Srimulatnya, dan untuk ketopraknya Rp 800 sampai Rp
400.
Cukup atau tidak, tapi Abimanyu dan Bambang (dua top dari
Surabaya), baru-baru ini bisa beli mobil, meski mobil bekas.
Penonton Solo memang hanya hari-hari tertentu saja penuh. Kalau
di Surabaya rata-rata tiap malam lebih tigaperempat tempat
duduk. Karcis di Surabaya Rp 575, Rp 400 dan Rp 250. Kursi
seluruhnya 750. Di Solo harga karcis Rp 400 dan Rp 250. Kursi
600. Karcis ketoprak lebih murah lagi Rp 200, Rp 150 dan Rp 75.
Masuk pintu gerbang Balekambang Solo hanya Rp 50. Pengeluaran
saya? Warga Srimulat seluruhnya 287 dengan saya. Di Surabaya ada
sekitar 80 lebih, dan di Solo 200-an. Setiap hari untuk
honorarium saja di Surabaya antara Rp 60-70 ribu, di Solo antara
Rp 150 ribu.
Ada pemasukan lain kecuali pertunjukan?
Tidak. Tapi ada juga tambahan sedikit kalau kita main di
Jakarta, atau luar kota lainnya. Soalnya honorarium di Surabaya
tetap dibayarkan. Yang tak ikut ke luar kota juga mendapat
bagian, meski tidak sebesar yang berangkat. Kalau rekaman kaset,
tidak laku. Mendengar lawak saja 'kan kurang lucu. Itu mungkin
sebabnya tidak laku. Pernah saya membuat film dua kali.
Dua-duanya gagal. Saya habis puluhan juta. Kalau hanya diajak
main seperti di Suci Sang Primadona atau Inem III, itu 'kan
insidentil saja. Tapi saya masih ingin membuat film.
Kapan-kapan.
(Menurut salah seorang warga Srimulat, para pelawak dan
musikusnya di Surabaya kadang-kadang dipesan juga oleh klab
malam).
Bagaimana nanti di Jakarta, apakah juga akan mengundang
orang-orang Jakarta untuk ikut main, atau mendatangkan dari
Surabaya dan Solo?
Saya kira baiknya mendatangkan saja. Akan saya usahakan memakai
bahasa Indonesia, paling tidak 80 - 90%. Tidak lucu? Belum
tentu.
Dengan karir anda dan hidup anda selama ini, sudah bahagiakah
Pak Teguh ini?
Saya ini dibesarkan dalam kemiskinan. Ayah saya seorang Cina,
hanya pegawai sebuah percetakan. Pendidikan saya hanya sampai
kelas II SMP kalau dibanding sekolah sekarang. Waktu senggang,
saya gunakan bergaul dengan anak-anak saya. Yang sulung lelaki,
sudah kelas III SD di Solo. Kebosanan tentu saja kadang-kadang
saya rasakan. Itulah kenapa saya mencari tantangan baru bikin di
Solo, dan nanti kalau berhasil di Jakarta. Biar ada gairah baru.
Hidup saya agaknya memang sudah ditentukan di kalangan panggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo