Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Bulan separuh purnama mengambang di atas jari-jari daun kelapa. Sinarnya jatuh di pasir pantai yang putih. Angin selatan menderu di balik bukit, menyisakan sepoi-sepoi di Pantai Kasaraeng yang menghadap utara. Di cakrawala, ada delapan cahaya serupa bintang, sinar lampu perahu nelayan.
Kami--fotografer Nita Dian dan saya--sudah ada di pantai yang terletak di Pulau Bukide itu beberapa jam sebelumnya. Bukide adalah satu pulau di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. "Ada lebih dari 150 pulau di kabupaten ini dan hanya 26 yang berpenghuni," kata Kepala Dinas Pariwisata Sangihe Jeffry F. Gaghana, yang kami temui beberapa hari sebelumnya. Butuh dua jam ke Bukide dari Sangihe Besar, pulau utama dan terbesar di kabupaten itu.
Di Kepulauan Sangihe, kita bisa mematahkan kompas, mengangkat jangkar, lalu membiarkan perahu dibawa ombak. Di pulau mana pun terdampar, kita akan mendapati pantai berpasir putih dan laut kehijauan. Airnya begitu jernih hingga, dari atas perahu, kita bisa melihat karang dan ikan. Pantai-pantai inilah yang mengilhami Jan Engelbert Tatengkeng menulis puisi-puisinya hampir seabad yang lalu.
Senja tadi, ketika delapan perahu nelayan melaut dari pantai ini, puisi Pujangga Baru, yang lahir di Sangihe pada 1907, muncul kembali. Deskripsi ”Di Pantai Waktu Petang” persis terwujud. "Berkawan-kawan perahu nelayan/Tinggalkan teluk masuk harungan/Merawan-rawan lagunya nelayan/Bayangan cinta kenang-kenangan//Syamsu mengintai di balik gunung/Bulan naik tersenyum simpul."
Saat melaut malam, para nelayan itu hanya punya lima jam untuk menangkap ikan dengan jaring yang dibentang. Hampir tengah malam nanti mereka akan kembali membawa peruntungan.
Malam itu kami menghabiskan waktu dengan rebahan di pantai, beralaskan pasir putih dan daun-daun kelapa yang jatuh karena telah kering.
Sebenarnya kami telah mendirikan tenda parasut. Ada juga sejumlah gubuk nelayan yang dibuat dari daun kelapa. Tapi sayang, rasanya, mengurung diri di ruang tertutup, sementara alam menyajikan kecantikannya.
Di malam yang tenang ini, puisi lain Tatengkeng hadir. "Di lengkung langit berhias bintang/Cahaya bulan di ombak menitik/Embun berdikit turun merintik/Engkau menantikan ikan datang/.../Ah, mengapa termenung/Mengapa kau pandang ke kaki gunung/Oh, aku mengerti/Kulihat di sana setitik api/Itukah menarik matamu ke tepi?"
Lihat videonya:
QARIS TAJUDIN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini