Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

WISATA PANTAI: Sangihe, Laut yang Melahirkan Puisi

Di pantai-pantai Sangihe, kita selalu teringat akan puisi J.E. Tatengkeng. Di sanalah puisi "Pujangga Baru" itu lahir.

22 November 2015 | 12.04 WIB

Bangkai kapal kargo Jepang di Pelabuhan Tua Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. TEMPO/Nita Dian
Perbesar
Bangkai kapal kargo Jepang di Pelabuhan Tua Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. TEMPO/Nita Dian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Bulan separuh purnama mengambang di atas jari-jari daun kelapa. Sinarnya jatuh di pasir pantai yang putih. Angin selatan menderu di balik bukit, menyisakan sepoi-sepoi di Pantai Kasaraeng yang menghadap utara. Di cakrawala, ada delapan cahaya serupa bintang, sinar lampu perahu nelayan.

Kami--fotografer Nita Dian dan saya--sudah ada di pantai yang terletak di Pulau Bukide itu beberapa jam sebelumnya. Bukide adalah satu pulau di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. "Ada lebih dari 150 pulau di kabupaten ini dan hanya 26 yang berpenghuni," kata Kepala Dinas Pariwisata Sangihe Jeffry F. Gaghana, yang kami temui beberapa hari sebelumnya. Butuh dua jam ke Bukide dari Sangihe Besar, pulau utama dan terbesar di kabupaten itu.

Di Kepulauan Sangihe, kita bisa mematahkan kompas, mengangkat jangkar, lalu membiarkan perahu dibawa ombak. Di pulau mana pun terdampar, kita akan mendapati pantai berpasir putih dan laut kehijauan. Airnya begitu jernih hingga, dari atas perahu, kita bisa melihat karang dan ikan. Pantai-pantai inilah yang mengilhami Jan Engelbert Tatengkeng menulis puisi-puisinya hampir seabad yang lalu.



Senja tadi, ketika delapan perahu nelayan melaut dari pantai ini, puisi Pujangga Baru, yang lahir di Sangihe pada 1907, muncul kembali. Deskripsi ”Di Pantai Waktu Petang” persis terwujud. "Berkawan-kawan perahu nelayan/Tinggalkan teluk masuk harungan/Merawan-rawan lagunya nelayan/Bayangan cinta kenang-kenangan//Syamsu mengintai di balik gunung/Bulan naik tersenyum simpul."

Saat melaut malam, para nelayan itu hanya punya lima jam untuk menangkap ikan dengan jaring yang dibentang. Hampir tengah malam nanti mereka akan kembali membawa peruntungan.

Malam itu kami menghabiskan waktu dengan rebahan di pantai, beralaskan pasir putih dan daun-daun kelapa yang jatuh karena telah kering.

Sebenarnya kami telah mendirikan tenda parasut. Ada juga sejumlah gubuk nelayan yang dibuat dari daun kelapa. Tapi sayang, rasanya, mengurung diri di ruang tertutup, sementara alam menyajikan kecantikannya.

Di malam yang tenang ini, puisi lain Tatengkeng hadir. "Di lengkung langit berhias bintang/Cahaya bulan di ombak menitik/Embun berdikit turun merintik/Engkau menantikan ikan datang/.../Ah, mengapa termenung/Mengapa kau pandang ke kaki gunung/Oh, aku mengerti/Kulihat di sana setitik api/Itukah menarik matamu ke tepi?"

Lihat videonya:



QARIS TAJUDIN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anton Septian

Anton Septian

Menjadi wartawan Tempo sejak 2007. Saat ini Redaktur Eksekutif Tempo. Sebelumnya Redaktur Eksekutif Tempo.co dan Redaktur Eksekutif majalah Tempo. Banyak meliput isu politik dan hukum serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Asia Journalism Fellowship 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus