Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMULA ada yang patuh dan memberikan tabik sembari mengucapkan ''permisi'' begitu lewat di depannya. Namun, lama-kelamaan patung polisi di persimpangan jalan itu menjadi bahan tertawaan, bahkan diberi tasbih serta dikalungi tas. Dan ke dalam tas itu disetor uang. Dagelan itu akhirnya dijadikan cap negatif untuk polisi. Menurut Kapolri Jenderal Kunarto, ada anggapan di masyarakat, hanya dua jenis polisi yang tidak bisa disuap, yakni polisi tidur dan polisi patung. ''Kalau saya berdiri di pinggir jalan, mungkin ada yang melempar korek api berisi uang,'' katanya. Begitulah yang diutarakan Kapolri dalam seminar ''Sikap dan perilaku pemakai jalan serta aparat pengaturnya terhadap ke- lancaran lalu lintas'', Rabu dan Kamis pekan lalu, di Bandung. Seminar yang dihadiri 250 peserta itu diselanggarakan oleh Universitas Langlangbuana, Markas Besar Kepolisian RI, dan Polda Jawa Barat. Mungkin kebiasaan memberi suap atau ''tip'' (dalam korek api) itu akibat pengaruh budaya modern. Artinya, orang mau hemat waktu: kasih uang, habis perkara. Misalnya, pengemudi truk yang kelebihan muatan menyuap petugas agar tidak ditilang. ''Dan ia seperti tidak berdosa memberikan semacam uang damai kepada polisi,'' tutur seorang pembicara, A. Ruslan, ketua PWI Jawa Barat. Karena itu, Kunarto berpendapat, masyarakat pengguna jalanlah yang menyebabkan perilaku polisi menyimpang. Ia mengajukan bukti, 70 sampai 75% kasus pungli polisi justru disebabkan oleh faktor masyarakat. Sebaliknya, masyarakat bersikap tidak adil dengan main vonis saja, yakni memberikan cap negatif kepada polisi. Apa yang diutarakan Kunarto menggambarkan betapa memprihatinkan disiplin pengguna jalan. Mereka baru patuh jika ada rangsangan dari luar. Dalam hal ini berlakulah adagium: ada polisi, baru ada hukum? Agaknya keadaan ini juga pertanda bahwa dari berbagai lini dalam masyarakat kini memang ''sakit'' dan sulit disembuhkan. Ketika Operasi Zebra, misalnya, mereka segera melengkapi berbagai peralatan kendaraannya. Dan begitu operasi selesai, kacau lagi. Demikian pula tatkala ada operasi menindak langsung di Jalan Thamrin, Jakarta, misalnya, pejalan kaki mau menyeberang di jembatan penyeberangan atau di zebra cross. Setelah operasi usai, mereka berebutan lagi menyeberang di jalan. Contoh lain, sewaktu akan diberlakukannya Undang-Undang Lalu Lintas (1992), orang ramai-ramai ke kantor polisi mengurus SIM (surat izin mengemudi). Ketika ada berita penangguhan berlakunya UULL itu, loket urusan SIM sepi lagi. Dan contoh tambahan dari Kunarto: banyak pemohon SIM sering membayar sejumlah uang tanpa harus ikut tes. Psikolog Sarlito Wirawan dari Universitas Indonesia, yang juga berbicara pada seminar hari itu, menganggap soal disiplin masyarakat terhitung masalah klasik. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana menegakkan kembali wibawa dan kepercayaan pada aparat. Menurut Sarlito, preseden penundaan berlakunya UULL dan peraturan tiga penumpang dalam satu mobil (three in one) di Jakarta ternyata menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat. ''Jangan seperti yang terjadi kini, yang melanggar mendapat kemudahan, yang patuh dan disiplin malah mendapat kesulitan,'' ujar Sarlito. Happy Sulistyadi dan Taufik Abriansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo