Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=verdana size=1><B>Aliran Sempalan</B></font>Tiada Ampun Penista Agama

Cara polisi tak seragam dalam menjerat penganut aliran sempalan. Mereka yang minta perlindungan tetap dituduh menodai agama.

12 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari seratus orang bergemuruh menuju rumah Haji Juhata di Encle Sebrang, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten. Dengan beringas mereka membakar habis tempat tinggal pemimpin kelompok Nurul Yakin yang mengajarkan ilmu daim itu.

Salah satu ajarannya adalah salat lima waktu boleh ditunaikan kapan saja. Bunyi ikrarnya pun aneh: Laailahailla ana, tidak ada Tuhan selain saya. Inilah yang menyulut amarah massa pada 02.00 Selasa lalu itu. Juhata tunggang-langgang kabur bersama sekitar 40 pengikutnya.

Tiga orang penggerak massa berinisial Aj, Aa, dan Dn kini mendekam di Polsek Pakuhaji. Adapun Juhata dan sejumlah pengikutnya ”diamankan” dari kejaran warga. ”Mereka harus aman,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tangerang, Ajun Komisaris Ade Ari Syam Indradi.

Pada hari yang sama, pengikut Islam Sejati di Bangsalsari dan Tanggul, Jember, Jawa Timur, disatroni penduduk yang tak sealiran. Warga marah karena merasa dilecehkan oleh kelompok yang menyebarkan ajaran salat, puasa, zakat, dan haji, cukup diingat saja. Polisi setempat belum berbuat apa-apa. ”Kami baru mendapat laporan,” ujar Kepala Polres Jember, Ajun Komisaris Besar Adang Ginanjar.

Masih di Jawa Timur, sekitar 30 penyebar Al-Qiyadah terjaring razia polisi. Tak ada yang ditahan. Mereka hanya diwejang semalam suntuk. ”Kalau nggak tobat, kalian kami hukum,” ancam Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan Polres Kediri, Ajun Komisaris Budi Susetyo.

Di Indramayu, Jawa Barat, tujuh anggota Al-Qiyadah masuk sel polisi. Mereka adalah Sukandi (25 tahun), Rahmat (33), Didin Tarsudin (25), Iwan Firdaus (25), Rahman (25), Bisri Haryanto (29), dan Rinal (24). ”Mereka para pimpinan Al-Qiyadah,” ujar Kepala Polres Indramayu, Ajun Komisaris Besar Syamsudin Djanieb.

Di Surakarta, Jawa Tengah, belasan pengikut Al-Qiyadah tak diberi ampun. Tatkala datang ke kantor polisi meminta perlindungan dari amuk massa, mereka malah diperiksa. Enam dari 17 pengikut Al-Qiyadah dijadikan tersangka. ”Aliran itu melanggar aturan,” kata Kepala Bagian Reserse Kriminal Kepolisian Wilayah Surakarta, Komisaris M. Ngajib.

Hingga akhir pekan lalu, razia terhadap pengikut Al-Qiyadah masih berlangsung di sejumlah tempat. Polres Metro Tangerang menambah aparat intelijen untuk mengawasi gerak-gerik jemaah Al-Qiyadah di beberapa lokasi.

Mereka diawasi karena militansinya terhadap ajaran Al-Qiyadah. ”Cara merekrut anggota berkedok pengobatan,” tutur Kepala Polres Metro Tangerang, Komisaris Besar Hasanuddin.

Ia mengisahkan, seorang pengikut aliran merasa syok karena anaknya yang berumur 6 tahun mati. Orang itu dilarang pergi ke dokter. Pengobatan cukup dengan doa oleh petinggi Al-Qiyadah. ”Dokter yang ada sekarang kafir, tak mau masuk Al-Qiyadah.”

Ahmad Mushaddeq, pimpinan tertinggi Al-Qiyadah yang mengorbitkan diri sebagai rasul baru, sudah angkat tangan pada akhir Oktober lalu dan pekan lalu menyatakan bertobat. Ia kini mendekam di tahanan Polda Metro Jaya. Pria 63 tahun ini mengaku rasul setelah bertapa di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat, September lalu.

Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto menyatakan, proses hukum diberikan kepada pucuk pimpinan aliran yang dicap sesat. ”Pengikutnya cukup disadarkan saja,” katanya. Pimpinan aliran itu, katanya, diancam lima tahun penjara sebagaimana diatur Pasal 156 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sepanjang tidak mengajarkan kekerasan dan terlibat keonaran, katanya, aliran itu sah secara konstitusional. Hendardi tengah menghimpun korban delik aduan penodaan agama. ”Kami mengajukan judicial review atas pasal penistaan terhadap agama dalam KUHP,” katanya.

Beberapa kalangan menyayangkan aksi kekerasan dan tindakan polisi. Ahmad Suaedy, Direktur The Wahid Institute, mengatakan bahwa semua paham berhak hidup di republik ini. ”Memang, KUHP itu memungkinkan dipakai untuk menghakimi mereka yang tak sepaham. Kalau punya bukti, polisi bisa menangkap mereka dan menahan sampai proses pengadilan,” ujarnya.

Elik Susanto, Mahbub (Jember), Imron Rosyid (Solo), Zed Abidien (Surabaya), Ayu Cipta, Joniansyah (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus