Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puguh Wirawan mungkin tak sadar bahwa gerak-geriknya pada Rabu siang pekan lalu itu diawasi sejumlah orang. Tatkala masuk ke sebuah bank untuk mengambil duit Rp 250 juta, ia sudah dikuntit. Para penguntit tak lain penyelidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Para penyelidik ini sudah berbekal informasi, hari itu Puguh akan melakukan transaksi. ”Informasi dari masyarakat,” ujar Wakil Ketua KPK Haryono Umar kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Puguh adalah kurator dalam kasus kepailitan perusahaan garmen PT Skycamping Indonesia, yang pernah beperkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut sumber Tempo, penyidik KPK memperoleh informasi bahwa hari itu Puguh akan menyerahkan uang suap untuk memuluskan izin penjualan aset milik PT Skycamping berupa dua bidang tanah di Bekasi senilai Rp 16 miliar dan Rp 19 miliar. Dua aset yang sudah diputuskan inkracht pada 2007 itu jadi jaminan pailit. Aset ini akan diubah statusnya menjadi aset yang tidak terkait dengan perkara, sehingga bisa dijual oleh pemiliknya yang sudah dinyatakan pailit.
Dengan segepok uang, malam itu, sekitar pukul 20.00, Puguh mengarahkan mobilnya ke arah utara. Ia berbelok masuk ke kawasan Sunter, lalu berhenti di sebuah rumah di Jalan Sunter Agung Tengah, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Rumah itu adalah kediaman dinas seorang hakim pengawas kasus kepailitan yang bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tim penguntit dari KPK masih terus mengikuti.
Tanpa canggung, Puguh masuk ke rumah yang ditempati Syafruddin Umar itu. Tuan rumah menyambut hangat, kemudian mereka berbincang hampir dua jam. Sekitar pukul 22.00, Puguh keluar dari rumah. Ia mengambil sesuatu dari dalam mobilnya. Sebuah tas jinjing kertas berwarna merah. Di dalamnya teronggok sebuah amplop cokelat berukuran besar berisi uang Rp 250 juta. Tak lama setelah tas itu berpindah tangan, Puguh pun pamit. Transaksi sudah terjadi.
Aparat Komisi Pemberantasan Korupsi, yang anteng menunggu sedari tadi, langsung merangsek masuk ke rumah dan menangkap Syafruddin. Sang hakim tidak melawan, tas kertas pemberian Puguh memang betul berisi bergepok uang. Ternyata penyidik mendapat bonus. Mereka menemukan lagi sebuah tas hitam di ruang tamu Syafruddin. Di dalamnya, ditemukan uang dalam pecahan mata uang asing. Nilainya jumbo, US$ 84.228, Sin$ 284.900, 20 ribu yen, dan 12.600 baht. Namun soal uang asing itu KPK tidak mau berspekulasi asal-muasalnya. ”Masih belum jelas berasal dari suap kasus lain atau bukan,” kata Haryono.
Tidak lama setelah itu, penyelidik KPK juga menangkap Puguh, yang sempat nyelonong pergi dari rumah Syafruddin. Ia ditangkap di Pancoran, Jakarta Selatan. Malam itu keduanya, berikut sopir mereka, dibawa ke markas KPK. Kini keduanya sudah menjadi tersangka. Syafruddin ditahan di penjara Cipinang, sedangkan Puguh menginap di penjara Polda Metro Jaya. ”Kami memang menyiapkan tim khusus,” ujar Haryono.
Dua bulan belakangan ini, setiap kali Syafruddin memimpin sidang, selalu ada yang menilik. Dua sampai tiga orang berpakaian rapi kerap tampak di ruang sidang tempat Syafruddin menjalankan tugas. Mereka mengamati dengan saksama, mencatat dan mengambil dokumentasi. Siapa para penilik ini? Mereka adalah tim investigasi yang dibentuk Komisi Yudisial. Tugasnya mengawasi semua gerak Syafruddin setiap kali beracara sidang. ”Itu kami lakukan sejak mendengar ada laporan masyarakat soal dia,” ujar Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki kepada Tempo.
Menurut Suparman, berdasarkan pemantauan tim investigasi selama ini, Syafruddin terbilang hakim yang patut dimasukkan ke kategori ”perhatian khusus”, terutama dalam kasus vonis bebas Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamuddin. ”Banyak kejanggalannya,” kata Suparman. Komisi Yudisial memang belum bisa mengungkapkan fakta tentang permainan Syafruddin dalam kasus lain. Namun mereka menyambut baik penangkapan yang dilakukan KPK. ”Ini ibarat pucuk dicita ulam tiba,” kata Suparman. Komisi Yudisial berencana mendesak Mahkamah Agung memberhentikan hakim Syafruddin.
KPK kini terus melakukan pemeriksaan intensif terhadap Syafruddin dan Puguh. Menurut juru bicara KPK, Johan Budi S.P., tim penyidik sedang mempertajam alat bukti. Diharapkan dalam 20 hari bisa selesai.
Setelah diperiksa KPK pada Kamis pekan lalu, dua tersangka suap ini keluar tanpa komentar sama sekali. Berkaus hitam dan mengenakan gelang merah putih, Syafruddin berjalan tanpa menjawab pertanyaan pewarta sedikit pun. Pria yang merupakan salah satu hakim pengawas kepailitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu keluar dengan menenteng dokumen dalam plastik. Begitu juga dengan Puguh, diam, tak mau menjawab pertanyaan wartawan.
Sandy Indra Pratama, Dianing Sari
Si Sulung Lagi Buntung
Syafruddin Umar bukan sosok populer di kota kelahirannya, Parepare, Sulawesi Selatan. Di luar keluarganya, hanya sedikit orang mengaku kenal dengan si sulung dari sembilan bersaudara ini. Syafruddin anak pengusaha. Ayahnya, Umar Lahade, dikenal sebagai pengusaha pelayaran rakyat. Syafruddin sejak kecil dikenal ulet dan rajin membantu orang tuanya. ”Saya baru berpisah dengan dia (Syafruddin) setelah ia kuliah di Makassar,” tutur Umar Lahade.
Syafruddin sejak SD hingga SMA tinggal di Parepare. Selesai SMA Negeri 1 Parepare, ia kuliah di Universitas Muslim Indonesia, Makassar, mengambil jurusan hukum. Hingga saat berbincang dengan Tempo pada Jumat pekan lalu, Umar belum yakin bahwa anaknya terjerat urusan hukum. Apalagi soal suap. Sebab, Umar yakin semua anaknya, termasuk Syafruddin, sudah dibekali dengan akhlak yang baik.
Namun penilaian lain mengenai Syafruddin muncul dari para penggiat antikorupsi di Makassar. Menurut Direktur Anti-Corruption Committee (ACC) Sulawesi Selatan, Abraham Samad, hakim yang terakhir berkarier di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu pantas diberi penilaian buruk. Apalagi tatkala sang hakim bertugas di Pengadilan Negeri Makassar. Berbagai kasus korupsi yang ditangani Syafruddin selalu menuai kontroversi.
Berdasarkan data ACC Sulawesi Selatan, mantan Ketua Pengadilan Negeri Jeneponto, Sulawesi Selatan, itu pernah membebaskan 35 terdakwa korupsi pemberian dana purnabakti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Luwu 2004 pada Februari-Maret 2009. Di Jakarta, seperti diketahui, Syafruddin juga membebaskan Gubernur Bengkulu (non-aktif) Agusrin Najamuddin dari jeratan kasus korupsi.
”Putusannya memang banyak yang janggal dan dilaporkan oleh masyarakat,” kata Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki kepada Tempo.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Febri Diansyah pun berpendapat sama. Bahkan, dalam kasus vonis bebas Agusrin, ICW mencurigai adanya peran negatif dari hakim yang sempat jadi kandidat ad hoc pengadilan Tipikor itu.
Kini Umar dan Syafruddin dipisahkan terali. Sebab, anak sulung yang ia banggakan itu harus meringkuk di balik tembok penjara Cipinang gara-gara tertangkap tangan KPK menerima suap di ruang tamunya sendiri. Umar tetap mendoakan Syafruddin memiliki akhlak yang baik seperti ajarannya dulu. ”Mudah-mudahan ia masih ingat nasihat-nasihat saya. Mungkin sedang buntung nasibnya,” kata sang ayah dengan pasrah.
Sandy Indra Pratama, Suherman Madani (Parepare)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo