Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANGUNAN itu tak lagi berbentuk sebuah kantor. Terletak di Jalan Cideng Barat 39, Jakarta Pusat, di situlah alamat PT Sumacom Matra, rekanan PT Pertamina dalam pengadaan kompor gas. Tak ada satu pun orang di sana. ”Sudah sekitar lima bulan mereka pindah,” kata Lodi, warga yang sudah tujuh tahun membuka warung di dekat kantor yang kini bagian depannya ditutup seng itu.
Jejak kepindahan Sumacom juga tak terlacak Kejaksaan Agung. Menurut seorang jaksa, surat-surat yang dikirimkan ke pemilik perusahaan ini, Yusuf Tanjung Tanuwidjaja, tak terjawab. Mereka baru mafhum setelah mendatangi alamat kantor tersebut. ”Pantas saja panggilan kami tak dipenuhi,” ujar sang jaksa setelah mengetahui kondisi kantor Sumacom di Cideng.
Pemanggilan Sumacom ini berkaitan dengan kasus yang sudah dua bulan ini ditelisik kejaksaan: dugaan korupsi pengadaan kompor gas. Tak hanya Sumacom yang tersangkut. Kepada Tempo, seorang penyidik memberikan daftar nama sepuluh perusahaan lainnya. Mereka antara lain PT Aditec Cakrawiyasa, PT Citra Surya Abadi Prima, PT Wijaya Karya Intrade, PT Karya Bahana Unigram, PT Supra Teratai Metal, dan PT Denpoo Mandiri Indonesia. Menurut jaksa, perusahaan tersebut adalah pemenang tender pengadaan kompor pada 19 Maret 2007. Mereka mendapat proyek pembuatan 4,5 juta kompor gas yang harganya Rp 48.500 per unit.
Ini memang tender untuk mengejar realisasi program konversi minyak tanah yang digemakan pemerintah pada Desember 2006. Pemerintah melakukan ini lantaran kebutuhan minyak yang terus membubung, sedangkan harga minyak dunia terus naik. Maka program pengalihan minyak tanah ke gas pun dilakukan dengan pengadaan kompor gas beserta tabungnya.
Beberapa departemen terlibat dalam proyek besar ini. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ditunjuk sebagai koordinator. Urusan sosialisasi dipegang Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mendapat jatah pengadaan kompor gas. Adapun Pertamina penyedia tabung dan gas.
Pemerintah menargetkan, hingga 2009, sedikitnya 42 juta keluarga sudah mendapat ”satu paket kompor gas lengkap”, termasuk tabung gas isi tiga kilogram, selang, dan regulator, secara cuma-cuma. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah segera bekerja. Untuk tahap awal, lelang pengadaan 371 ribu kompor gas pun digelar.
Namun pengadaan oleh Kementerian Koperasi ini ternyata tak berjalan mulus. Pada Mei 2007 turun keputusan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral: semua yang terkait dengan program konversi ditangani Pertamina. Maka Pertamina pun menggelar tender. Pemenangnya, ya, 11 perusahaan tadi.
Belakangan, proyek ini memunculkan bau tak sedap. Kejaksaan mendapat setumpuk laporan adanya penyimpangan proyek. Sejak akhir Juni lalu, kejaksaan pun turun tangan. ”Ada indikasi penyimpangan,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy.
Sejumlah dugaan korupsi ditunjukkan Marwan. Misalnya, adanya manipulasi dalam perhitungan pembayaran kompor serta adanya selisih dana dari jumlah yang dikeluarkan Pertamina dan dana yang ditagihkan ke pemerintah. ”Uang yang ditagihkan sekitar Rp 104 miliar,” ujar Marwan. Berapa besar dana yang digelontorkan pemerintah ke Pertamina, Marwan tak mengungkapkan. Tapi seorang penyidik berbisik ke majalah ini: ”Sekitar Rp 900 miliar.”
Ada kejanggalan lain. Berdasarkan pemeriksaan, Pertamina ternyata tidak menguji kualitas kompor. Akibatnya, banyak kompor tak layak pakai. Negara pun rugi.
Kejaksaan menilai tender yang dilakukan Pertamina juga cacat hukum. Soalnya, surat perintah pengadaan barang dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ternyata baru terbit dua bulan setelah tender rampung. ”Ini jelas aneh. Surat belum turun, kok, sudah mengadakan tender,” ujar seorang jaksa di Gedung Bundar, sambil geleng-geleng kepala.
Sampai saat ini memang belum ada pemenang tender yang menjadi tersangka. Kejaksaan, ujar Marwan, masih menyelidiki apakah ada penyuapan di balik proyek ini. ”Kami sedang melihat ada gratifikasi atau tidak dalam kasus ini,” ujar Marwan. Tapi sumber Tempo menyatakan, kemungkinan besar sejumlah pejabat Pertamina bakal jadi tersangka. Alasannya, merekalah pemegang ”kunci” proyek.
Sampai saat ini, diam-diam, setidaknya sudah tujuh pejabat Pertamina yang diperiksa Kejaksaan Agung. Mereka, antara lain, Deputi Direktorat Pemasaran Gas Domestik Endang Sri Siti Kusumo Hendariwati, Manajer Region IV Gas Domestik Surabaya Encep, dan salah seorang panitia lelang pengadaan kompor gas, Gunarto.
Pihak Pertamina sendiri menyangkal pengadaan kompor gas itu menabrak rambu hukum. Tentang surat perintah menteri yang keluar setelah tender dilakukan, menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Pertamina Wisnuntoro, itu berlaku surut. ”Karena mendadak, payung hukumnya dibuat belakangan,” katanya.
Wisnuntoro menyatakan, Pertamina juga belum menerima sepeser pun uang pengganti dari pemerintah. Menurut dia, besarnya dana Pertamina yang seharusnya diganti sekitar Rp 1,7 triliun. Itulah biaya untuk semua proyek kompor gas dan tetek-bengeknya: dari pengadaan kompor, tabung gas, selang, regulator, hingga sosialisasi ke kampung-kampung. Dia menolak jika Pertamina dituding tak menguji kualitas kompor. ”Semua sudah diuji,” ujarnya.
Namun Wisnuntoro mengakui, memang ada kesalahan pada lampiran dokumen perincian perhitungan harga dan jumlah kompor. ”Semacam salah hitung,” katanya. Hanya, ujarnya, salah hitung ini tak berdampak pada keuangan. ”Semua uang yang dibayarkan ke perusahaan rekanan sesuai dengan jumlah kompor yang dibuat.”
Marwan mengakui, perincian perhitungan itu belakangan dikoreksi Pertamina. Tapi, ujar Marwan, justru ini mencurigakan. ”Kenapa baru diperbaiki setelah disidik,” katanya. Menurut dia, dari ”struktur” pengadaan proyek ini, ada beberapa pejabat yang harus bertanggung jawab. Mereka pejabat pembuat komitmen, kuasa pengguna anggaran, dan panitia lelang. Di luar itu, rekanan Pertamina.
Sejumlah perusahaan yang sudah diperiksa kejaksaan memilih tutup mulut terhadap kasus yang menimpa mereka. Direktur PT Citra Surya Abadi Prima, Sandra Gunawan, misalnya, lewat sekretarisnya menampik beberapa kali permintaan Tempo untuk wawancara. ”Bapak sedang istirahat,” kata Lilis, sang sekretaris. Adapun Direktur Operasional PT Wijaya Karya Intrade, Hinza Mei Hutagalung, melalui Devi dari bagian hubungan masyarakat, mengaku sedang ke luar kota. Tapi, kepada penyidik, beberapa pemenang tender kompor itu menegaskan, mereka ikut tender ini terutama agar produk kompor mereka dikenal masyarakat. ”Untung kami ini tipis saja, Pak,” ujar seorang pengusaha kepada penyidik. Kalau begitu, siapa yang ”untung tebal”?
Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo