Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RINTIHAN Maringan Pasaribu, 17, tiada lagi. Anak sulung enam bersaudara tersebut - dengan mulut, hidung, dan telinga berdarah - tak tertolong. Ia meninggal setelah dilarikan ke puskesmas. Dan Bharada Holder Nababan, yang sejak 29 Januari lalu diperiksa di Provost Banda Acch, hanya mengenang bagaimana ia mengentakkan kepala anak itu ke tembok. Berdasarkan visum dokter puskesmas setempat, Maringan "habis" akibat penganiayaan. Pada kepala korban ada bekas bcnturan benda tumpul. Karena itu, batok kepala bagian belakang retak dan ia menderita gegar otak. Maringan bersama 3 orang temannya, Ramli Napitupulu, Jamen Napitupulu, dan Anggiat Tampubolon, menghadiri perayaan Natal di Lawe Desky. Pada acara 23 Desember tahun lalu itu, keempat anak ini sedikit membuat ulah. Dengan menendang kaleng kecil seperti main pingpong, tingkah mereka justru menimbulkan suara bising. Jaga Pangaribuan, seorang "preman" yang disegani di Lave Desky, yang saat itu berada di tempat kejadian, tak tinggal diam. Lalu ia mendatangi keempat pemuda itu. Tak cukup begitu. Jaga juga melayangkan tangannya ke muka keempat pemuda tersebut. Karena merasa tak enak ditampar di hadapan orang banyak, Jamen mencabut belati simpanannya. Dan menikam perut Jaga sampai empat kali - tapi tak meninggal. Tempat acara Natal berlangsung jadi ribut. Karena takut digebuki massa, keempat pemuda itu lari. Tapi tak berhasil lolos dari terkaman polisi. Mereka kemudian dijebloskan alam tahanan Polsek Lawe Sigala-gala, Polres Aceh Tenggara. Selama di tahanan, Bharada Holder Nababan memanfaatkan tenaga Maringan bersama temannya untuk mencari kayu bakar ke Pegunungan Hutan Lindung Leuser. Selanjutnya, ketika acara makan di rumah polisi ini, Maringan berseloroh kepada temannya. "Kita ini seperti kerja paksa di zaman penjajahan saja. Makan pun terus-menerus berlauk dengan ikan asin kepala batu," ujar Maringan. Ketika itu, istri Holder Nababan, boru Sianturi, sedang di dapur dan mendengar ocehan anak muda itu. Sore, 20 Januari, Nako Pangaribuan, abang kandung Jaga Pangaribuan yang pernah kena tikam itu, bertandang ke pos polisi. Dan baik Nako Pangaribuan maupun Holder Nababan sepengambilan, sama-sama mengawini boru Sianturi kakak-adik. Nako, bersama Holder, baru saja minum minuman keras di pos itu. Menjelang malam, Holder, 26, sehabis menenggak minuman tersebut, pulang ke rumahnya, tak jauh dari pos polisi itu. Di rumah, istrinya mengadukan ejekan yang dilontarkan Maringan. "Dan saya juga dikatakan istri polisi taik," katanya. Holder terkesiap mendengar pengaduan istrinya. Polisi yang sudah 4,5 tahun berdinas ini pergi ke sel tahanan malam itu juga. Padahal, bukan tugasnya. Dalam sel 4 x 4 meter yang pengap itu, Holder menegur Maringan. "Kau bilang ke istriku dia istri polisi taik," hardik Holder. "Kau 'kan polisi taik," jawab Maringan. Ucapan Almarhum itu ditirukan Kadispen Polda Aceh Mayor Azwar Azis, seperti dikutip Holder ketika ia diperiksa. Dan kata Holder, gara-gara ucapan itulah emosinya bangkit lalu menganiaya Maringan. "Saya memang menganiaya Maringan. Tapi tidak dengan benda keras. Hanya pakai tangan dan kaki," ujar Holder. "Ketika itu tak terpikirkan bahwa tindakan saya telah melawan hukum dan tugas," tutur ayah satu anak itu. Menurut Kadispen itu, sejak masuk polisi, Holder bersikap baik. "Tak pernah minum minuman keras," kata Azwar Azis. Tapi mengapa mayat Maringan tak diotopsi? "Kami tak dapat memberikan keterangan tentang kematian Maringan," kata Mayor Nazwar Rismadi, Wakil Kapolres Aceh Tenggara. "Ini pesan Kapolres," katanya melanjutkan. Pihak Perkumpulan Marga Pasaribu se-Aceh Tenggara, melalui ketuanya, Hasan Pasaribu, melayangkan surat ke Kapolres Aceh Tenggara. Isinya: menggugat kematian Maringan yang ganjil itu. "Segalanya disalurkan melalui Perkumpulan Marga Pasaribu," ujarnya. Karena itu, "uang duka" Rp 80.000 dari polisi mereka tolak. Pihak keluarga tak sempat melihat pemakaman anak yang hanya lulusan SLTP itu. "Mengapa dia membunuh anakku?" ratap Amintas Pasaribu, 41, karyawan PTP V Riau. Selama ini, anaknya itu tinggal dengan sang paman - Edward Pasaribu - di Lawe Sigala-gala. Kapolda Aceh Kolonel Abdoellah Moeda menjanjikan, kasus ini segera dibawa ke Mahkamah Militer Aceh. Gatot Triyanto, Laporan Amir S. Torong (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo