Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Musa Ibnu Hassan Pedersen, anak dari Dwi Pertiwi, meninggal pada Sabtu, 26 Desember 2020 setelah 16 tahun sakit cerebral palsy. Dwi adalah salah pemohon uji materi Undang-undang Narkotika di Mahkamah Konstitusi yang diajukan pada 19 November 2020. Salah satu pasal yang diuji materi ialah larangan penggunaan narkotika golongan I, termasuk ganja, untuk kepentingan medis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Cerita Musa ini menjadi titik awal yang melatarbelakangi pengajuan permohonan uji materiil UU Narkotika yang diinisiasi Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dalam keterangannya, Senin, 28 Desember 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erasmus mengatakan, sakit yang diderita Musa berasal dari penyakit pneumonia yang pernah menyerangnya ketika baru berumur 40 hari. Namun, terdapat kekeliruan dalam pemberian diagnosis dan pengobatan hingga penyakit tersebut berkembang menjadi meningitis yang menyerang otak.
Pada 26 Desember 2020, kata Erasmus, Musa mengembuskan napas terakhir setelah kondisi fisiknya menurun. Ia berjuang melawan sesak napas akibat produksi phlegm (lendir di dalam paru-paru) yang lebih banyak dari biasanya. Phlegm ini menghambat asupan oksigen ke dalam paru-paru.
Erasmus mengatakan Musa sempat mendapatkan pengobatan atau terapi menggunakan ganja di Australia pada 2016. Terapi dengan ganja selama satu bulan penuh itu disebutnya cukup membuahkan hasil signifikan, bahkan Musa tak lagi mengalami kejang.
Di waktu itu, kata Erasmus, Musa juga dapat terlepas dari penggunaan obat-obatan dari dokter yang biasa dikonsumsi. Menurut sang ibu, di kondisi tersebut Musa dapat lebih mudah mengeluarkan phlegm dari dalam paru-paru tanpa harus bersusah payah seperti yang terjadi menjelang kematiannya.
Namun, ketika kembali ke Indonesia, Dwi Pertiwi tak bisa melanjutkan pengobatan dengan ganja kepada Musa. Sebab, UU Narkotika melarang penggunaan narkotika golongan I, termasuk ganja, untuk pelayanan kesehatan.
Belum lagi mengingat adanya kasus pemidanaan terhadap penggunaan ganja untuk kepentingan pengobatan, seperti yang terjadi kepada Fidelis. Ia dipidana pada 2017 karena memberikan pengobatan ganja kepada istrinya yang menderita penyakit langka syringomyelia. Istri Fidelis meninggal sebulan setelah Fidelis ditangkap Badan Narkotika Nasional.
"Risiko ini tidak dapat diambil oleh Bu Dwi sehingga pengobatan dengan ganja terhadap Musa terpaksa harus dihentikan," kata Erasmus.
Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan, yang beranggotakan Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), EJA, dan Lingkar Ganja Nasional (LGN) pun menyampaikan duka atas meninggalnya Musa. "Selamat beristirahat dengan tenang. Perjuanganmu tak akan sia-sia."