Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

3 Tahun Lalu Pollycarpus Terpidana Kasus Pembunuhan Munir Meninggal, Apa Sebabnya?

Hari ini, Sabtu, 17 Oktober 2020 eks terpidana kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, Pollycarpus Budihari Priyanto meninggal. Ini sebabnya.

16 Oktober 2023 | 19.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini, Sabtu, 17 Oktober 2020 atau tiga tahun lalu, mantan terpidana kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, Pollycarpus Budihari Priyanto meninggal. Kabar meninggalnya pilot Garuda Indonesia itu didapatkan melalui mantan pengacaranya, Wirawan Adnan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Berpulang hari ini pukul 14.52,” kata Wirawan ketika dihubungi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar itu Wirawan dapat dari istri Pollycarpus, Yosephine Hera Iswandari. Wirawan mengatakan Pollycarpus meninggal karena Covid-19. Polly sudah dirawat di Rumah Sakit selama 16 hari hingga menghembuskan nafas terakhirnya.

“Karena C19, telah 16 hari berjuang melawannya,” kata dia.

Koran tempo, terbitan Selasa 7 September 2021 mengulik kembali kasus kematian Munir Said Thalib, 38 tahun pada 7 September 2004 silam. Aktivis HAM itu dibunuh dengan racun arsenik di dalam pesawat menuju Belanda. Dua bulan sejak pembunuhan itu, Polri membentuk tim forensik dan tim investigasi. Pada Maret 2005, Polri lalu menetapkan Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai tersangka.

Pilot Garuda Indonesia yang berada dalam satu pesawat dengan Munir dari Jakarta ke Singapura itu, menurut saksi mata, berbincang-bincang dengan korban di Bandara Changi, Singapura, ketika pesawat transit. Pollycarpus dan musikus Ongen Latuihamallo disebut duduk bersama Munir di kedai Coffee Bean di bandara tersebut. Seorang saksi melihat mereka makan.

Begitu pesawat kembali mengangkasa, Munir sakit perut dan bolak-balik ke toilet. Dia sempat mendapat perawatan dari penumpang yang seorang dokter, tapi tak tertolong. Munir meninggal di langit Eropa sekitar pukul 08.10, dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam.

Sidang kasus Munir dengan terdakwa Pollycarpus mulai digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 9 Agustus 2003. Pollycarpus didakwa melakukan pembunuhan berencana dan diancam hukuman mati. Pada 18 November, dia diperiksa dalam sidang. Pollycarpus mengatakan tidak pernah mengontak korban sebelum penerbangan. Dia mengaku hanya berbasa-basi memberikan kursinya di kelas bisnis kepada Munir.

Polly kemudian terbukti terlibat dalam kejahatan itu. Pada 1 Desember 2005, Jaksa menuntut hukuman penjara seumur hidup untuk Pollycarpus. Pada 20 Desember, Majelis Hakim membacakan putusan. Pollycarpus terbukti turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan pemalsuan dokumen. Dia dijatuhi hukuman penjara 14 tahun. Pollycarpus mengajukan banding.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 27 Maret 2006 menolak banding dan menjatuhkan vonis 14 tahun penjara bagi Pollycarpus. Sama seperti putusan pengadilan sebelumnya. Ia lalu mengajukan kasasi. Di tingkat ini, pada 3 Oktober 2006 Mahkamah Agung menyatakan Pollycarpus tidak terbukti terlibat membunuh Munir. Pollycarpus hanya terbukti bersalah menggunakan dokumen palsu. Dia cuma divonis dua tahun penjara.

Selanjutnya: Pollycarpus bebas dari masa tahanan setelah mendapat remisi

Pada 25 Desember 2006, setahun sejak putusan di pengadilan pertama, Pollycarpus bebas dari masa tahanan setelah mendapat remisi. Kejaksaan Agung kemudian mendaftarkan permohonan peninjauan kembali (PK) kasus Munir ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 27 Juli 2007. Pada 25 Januari 2008. Mahkamah Agung menyetujui permohonan PK Kejaksaan Agung. Polly lalu dihukum 20 tahun. Tetapi Polly mengajukan PK atas putusan tersebut.

Pada Desember 2008, dia mendapatkan remisi 1 bulan pada Hari Natal. Polly juga mendapat remisi hari kemerdekaan 7 bulan pada 17 Agustus 2010. Lalu pada 30 Mei 2011, Pollycarpus mengajukan peninjauan kembali (PK) kali kedua ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada 7 Juni 2011, Sidang PK Pollycarpus digelar. Dia panen remisi lagi pada 17 Agustus tahun itu, 9 bulan 5 hari. Saat Natal 2011, remisi juga didapatnya lagi 1,5 bulan.

Mendapatkan sejumlah pemotongan hukuman, Polly bebas murni pada Agustus 2018 setelah menjalani hukuman 8 tahun bui. Saat itu banyak yang memprotes keputusan hukum pembebasan Polly itu. Tapi dia tidak ambil pusing. Polly mengklaim dirinya sudah menjalani seluruh prosedur hukum. Dia meminta kepada pihak yang tak terima untuk mengkonfirmasi ke pihak berwenang.

“Mengenai ada yang protes atau tidak, kita sudah melalui semua jalur hukum. Silakan saja lihat semua prosedur hukum yang kita jalani, jadi silakan tanyakan pada pihak yang berwajib,” kata dia di Lapas Sukamiskin, Bandung, Sabtu, 29 November 2014.

Pollycarpus kala itu bersikukuh dirinya tidak bersalah dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib yang mengantarnya ke penjara. “Saya merasa tidak bersalah,” kata dia, sebelum menutup pintu taksi yang membawanya meninggalkan Lapas Sukamiskin saat itu.

Selain Polly, kepolisian juga menetapkan Mayor Jenderal (Purn.) Muchdi Purwoprandjono, Direktur Utama PT Garuda Indra Setiawan, serta Sekretaris Chief Pilot Airbus 330 Rohainil Aini, sebagai tersangka. Dua yang disebut terakhir terbukti terlibat pembunuhan berencana terhadap Munir dengan membantu Pollycarpus. Kedua orang itu masing-masing dihukum 1 tahun dan 1,5 tahun penjara.

Sedangkan Muchdi, Mantan Komandan Kopassus yang juga bekas Deputi V BIN itu dituding sebagai otak pembunuhan Munir. Dalam sidang Muchdi Pr, Kolonel Budi Santoso memberikan pengakuan yang memberatkan terdakwa. Saat kasus pembunuhan Munir terkuak, Budi dipindahkan dari Direktur Perencanaan BIN ke Kedutaan Indonesia di Pakistan. Ia jadi saksi kunci pembunuhan Munir karena mengetahui rencana itu sejak awal.

Menurut Budi, mengutip Pollycarpus yang menjadi eksekutor Munir, perintah pembunuhan datang dari Muchdi. Belakangan, Budi mencabut kesaksian itu. Ternyata, surat pencabutan kesaksian yang ditunjukkan pengacara Muchdi Purwoprandjono di pengadilan itu palsu. Majalah Tempo edisi 8 Desember 2014 menulis Budi tak pernah membuat surat dan mencabut keterangan yang menyebut Muchdi memerintahkan pembunuhan terhadap Munir pada 7 September 2004.

“Opini dan surat itu sebagai upaya memaksa saya pulang ke Indonesia,” kata Budi saat bersaksi di depan penyidik yang direkam video, akhir September 2008, di Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. “Saya akan dihabisi begitu pulang, sehingga kasus Munir akan ditimpakan kepada saya.”

Muchdi kemudian bebas karena kesaksian Budi telah “dicabut”. Jaksa ataupun hakim tak menyelidiki keabsahan surat tersebut dengan meminta Budi bersaksi langsung di Pengadilan. Meski berkas pemeriksaannya menjadi bahan tuntutan oleh jaksa, hakim tak mengakuinya untuk memvonis Muchdi.

Kepala Divisi Hukum Kontras, Andi Muhammad Rezaldy, menyatakan proses hukum kasus Munir baru menyentuh aktor lapangan, belum aktor intelektual. Padahal, kata dia, ada empat level aktor dalam kasus tersebut: pelaku di saat dan tempat kejadian, pembantu di tempat kejadian, penyuruh, serta perancang. “Seharusnya, dari fakta yang tersedia, bisa memudahkan penelusuran lebih lanjut,” ujar dia.

Senada dengan Andi, Deputi Direktur Amnesty International, Wirya Adiwena, mengatakan kasus pembunuhan Munir sudah luntang-lantung lintas generasi. Tak kunjung selesainya perkara ini, ujar dia, menjadi cerminan buruk penegakan HAM di Indonesia.

“Jika kasus ini bisa diselesaikan dengan adil, ini menjadi pertanda baik bahwa negara ini mampu menyelesaikan pelanggaran HAM berat, melindungi negara, menjunjung tinggi HAM, serta menjamin tidak ada impunitas,” katanya.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | M ROSSENO AJI | DRIYAN | KORAN TEMPO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus