Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dua Penyelidikan tanpa Titik Terang

Kejaksaan Agung tak kunjung menetapkan tersangka korupsi dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga yang diselidiki sejak 2018. Komisi Pemberantasan Korupsi bersiap menelusuri upaya suap untuk menutupi penyelidikan kasus ini.

5 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kejaksaan Agung sudah memeriksa sekitar 300 saksi dalam kasus korupsi dana hibah Kementerian Pemudan dan Olahraga.

  • Kejaksaan Agung juga menelisik kebocoran anggaran Satlak Prima.

  • KPK berencana menindaklanjuti rencana suap kepada bekas Jampidsus Adi Toegarisman dan Wakil Ketua BPK Achsanul Qosasi.

EMPAT saksi mendatangi Gedung Bundar di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, pada Selasa, 1 November lalu. Tiga di antaranya berinisial MSG, EK, dan FA. Mereka menjabat direktur tiga perusahaan rekanan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Saksi lain berinisial TP, sopir di Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung memanggil mereka demi melengkapi penyelidikan dugaan penyelewengan dana hibah Kemenpora kepada KONI sebesar Rp 25 miliar tahun anggaran 2016-2017. “Kejaksaan terus melanjutkan dana hibah yang terindikasi ada tindak pidana korupsi itu,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono, Jumat, 4 Desember lalu.

Pemeriksaan keempat saksi tersebut merupakan bagian dari rangkaian penyelidikan yang digelar Kejaksaan Agung sejak dua tahun lalu. Surat perintah penyelidikan kasus itu diteken Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus kala itu, Adi Toegarisman, pada Juli 2018.

Hingga Desember ini, penyelidik sudah memeriksa sekitar 300 saksi. Ketiga direktur perusahaan rekanan KONI itu, misalnya, ditengarai mengetahui aliran dana hibah. Namun Kejaksaan belum menetapkan satu pun tersangka. “Pada saatnya nanti kami sampaikan,” ucap Hari.

Penyelidikan berkembang ke dugaan kebocoran anggaran Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) yang diresmikan pada 2015. Kementerian Pemuda dan Olahraga membentuk lembaga ini untuk membina atlet nasional agar memiliki kemampuan tingkat internasional.

Pemerintah membubarkan Satlak Prima lewat Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2017 tentang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional. Namun puluhan miliar rupiah uang negara sudah mengalir ke lembaga tersebut.

Indikasi penyelidikan mengarah ke sana terlihat dari materi pemeriksaan Kejaksaan Agung. Penyelidik memeriksa Bendahara Kemenpora Fauzan Rahim pada 20 Oktober lalu. Undangan pemeriksaan menuliskan soal penghitungan kerugian negara dalam penyaluran dana hibah KONI. Tapi Fauzan justru banyak ditanya seputar pembiayaan program Satlak Prima. “Cuma itu yang saya jelaskan,” ucap Fauzan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terdakwa asisten pribadi Menteri Pemuda dan Olahraga, Miftahul Ulum, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 4 Juni 2020./TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejaksaan menggenjot pemeriksaan setelah menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan. Pada 8 Mei 2020, BPK mengirim hasil audit dana hibah tersebut kepada Kejaksaan Agung. “Memang ada banyak masalah seputar laporan keuangan Kemenpora kala itu. Selama tiga tahun berturut-turut (2017-2019), statusnya disclaimer,” kata Wakil Ketua BPK Achsanul Qosasi.

Sekretaris Kemenpora Gatot S. Dewabroto mengatakan Kejaksaan sudah memeriksa puluhan anggota staf. Sebagian besar di antaranya adalah pegawai di bawah Deputi IV Kemenpora. Deputi IV membawahkan pembinaan sejumlah cabang olahraga, termasuk organ temporer yang dibentuk pemerintah semacam Satlak Prima.

Dugaan penyelewengan anggaran Satlak Prima juga menarik perhatian para penyelidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Tapi baik penyelidikan Kejaksaan maupun polisi belum juga menemukan titik terang.

• • •

KOMISI Pemberantasan Korupsi menangkap sembilan pegawai dalam rangkaian operasi tangkap tangan di kompleks Kementerian Pemuda dan Olahraga pada Selasa, 18 Desember 2018. Petugas turut memboyong Deputi IV Mulyana dan pejabat eselon III. Lima di antaranya, termasuk Mulyana, ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga terlibat korupsi dana hibah Kemenpora kepada KONI.

Penyidikan KPK berkembang ke pejabat yang lebih tinggi. Komisi antirasuah menangkap Miftahul Ulum, anggota staf khusus Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, pada September 2019. Ia diduga menerima setoran Rp 11,5 miliar dari pejabat KONI untuk memuluskan dana hibah.

Dua pekan berselang, KPK menahan Imam Nahrawi. Ia diduga mengetahui penerimaan uang tersebut. Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menghukum Miftahul 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta pada 15 Juni lalu. Pengadilan yang sama menghukum Imam 7 tahun penjara dan denda Rp 400 juta pada 29 Juni 2020. Keduanya terbukti menerima suap dan gratifikasi pengurusan dana hibah Kemenpora kepada KONI.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan pemeriksaan di lembaganya berbeda dengan penyidikan KPK. Penyidik KPK menelusuri anggaran dana hibah 2017-2018. “Kejaksaan berfokus pada pencairan dana hibah periode 2016-2017,” ucapnya.

Sekretaris Kemenpora Gatot S. Dewabroto turut diperiksa di Kejaksaan Agung dan KPK pada Juni dan Juli 2019. Kepada kedua lembaga, Gatot menjelaskan regulasi yang mendasari bantuan Kemenpora kepada KONI.

Ketentuan yang melatari penyaluran dana hibah diatur dalam Pasal 21 Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2017 tentang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional. “Pasal itu sebenarnya menutup peluang bantuan untuk KONI,” tuturnya.

Berdasarkan aturan tersebut, Gatot menambahkan, penyaluran dana hibah mestinya diberikan langsung kepada tiap cabang olahraga. Ia pun menjelaskan hal yang sama saat bersaksi di persidangan Miftahul Ulum dan Imam Nahrawi.

Namun Gatot tidak mengetahui mengapa pejabat Kemenpora tetap menyalurkan dana hibah kepada KONI. “Saya tidak begitu paham. Waktu itu saya sudah jadi Sesmenpora. Kuasa pengguna anggaran itu ada di kedeputian terkait,” ujarnya.

Wakil Sekretaris Jenderal KONI Othniel Mamahit menjelaskan dana hibah yang diterima KONI tidak ditujukan ke cabang olahraga. KONI meminta dana hibah tahun anggaran 2016-2017 untuk biaya pengawasan dan pendampingan.

Ia mengakui banyak persoalan seputar pengelolaan dana tersebut pada periode kepengurusan lama. BPK pun menemukan sejumlah transaksi yang diduga fiktif dalam berbagai laporan keuangan KONI.

Kejaksaan memanggil sekitar 140 atlet dan manajer yang selama ini berhubungan dengan program kerja KONI. Pengakuan mereka melengkapi sejumlah kegiatan fiktif di sejumlah cabang olahraga. “Ke depan, kami bakal menata proses penganggaran yang akuntabel agar kejadian yang menyeret sejumlah pejabat di Kemenpora dan KONI di KPK tak terulang,” ujar Othniel.

• • •

PENGAKUAN Miftahul Ulum saat menjadi saksi bagi terdakwa Imam Nahrawi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, pada 15 Mei 2020, membetot perhatian publik. Ia mengungkap rencana suap Rp 10 miliar mantan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Adi Toegarisman, dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Achsanul Qosasi.

Miftahul mengatakan suap itu diberikan untuk “mengerem” penyelidikan korupsi dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga di Kejaksaan. Ia menjelaskan rencana pemberian uang itu dibahas bersama pejabat KONI berinisial HMD dan AW di salah satu hotel di Jakarta Pusat.

Dalam persidangan, Miftahul menjelaskan mereka bersepakat menyiapkan uang sebesar Rp 10 miliar dari pinjaman dan kas KONI. Dari total dana yang terhimpun itu, sebanyak Rp 7 miliar akan diberikan kepada Adi Toegarisman dan Rp 3 miliar untuk Achsanul.

Kejaksaan pun Agung membentuk tim khusus selepas kesaksian Miftahul di persidangan. Berbekal izin pengadilan, tim penyidik Kejaksaan meminjam Miftah dari rumah tahanan KPK untuk mendalami pengakuan tersebut.

Pemeriksaan tertanggal 19 Mei itu berujung pada kesimpulan bahwa pengakuan Miftah tak terbukti. “Tidak cukup petunjuk yang bisa kami gunakan untuk membenarkan pengakuan dia. Toh, buktinya Miftahul juga sudah membuat pernyataan maaf,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono.

Wakil Ketua Komisi Kejaksaan Bhatara Ibnu Reza mengatakan Komisi Kejaksaan sudah berupaya mengklarifikasi rencana suap Miftahul cs. Timnya menemui Miftahul selepas menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung. Namun Miftahul memilih bungkam. “Dia mengaku hanya akan membuka diri jika ada jaminan keamanan dan keselamatan,” ucapnya.

Komisi Kejaksaan menawarkan Miftahul agar melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Ia tetap menolak. “Miftahul seolah menganggap kami bagian dari Korps Kejaksaan,” tutur Bhatara.

Tempo berupaya menghubungi Adi Toegarisman untuk mengklarifikasi kesaksian Miftahul. Namun ia tak merespons panggilan telepon dan permintaan wawancara lewat pesan pendek hingga Sabtu, 5 Desember lalu. Kepada sejumlah awak media, Adi menganggap tuduhan suap itu fitnah. Ia mengaku tak pernah menemui pihak Kemenpora dan KONI saat menyelidiki kasus dana hibah itu.

Achsanul Qosasi./TEMPO/STR/Andi Aryadi

Achsanul Qosasi juga membantah kesaksian Miftahul. Menurut dia, perkara yang ditangani Kejaksaan berangkat dari hasil audit BPK untuk tahun anggaran 2016-2017. Achsanul mengaku baru membawahkan pemeriksaan anggaran untuk tahun anggaran 2017-2018. “Saya tidak mau komentar lagi soal itu. Karena sudah jelas dia membantah dan meminta maaf,” ujarnya.

Pengacara Miftahul Ulum, Wa Ode Nur Zainab, membenarkan adanya koreksi pengakuan dan permohonan maaf kliennya. Miftahul menyampaikan pernyataan itu saat membacakan pleidoi. Namun, Wa Ode menambahkan, pernyataan Miftahul tidak menganulir pengakuan soal rencana suap. “Dia hanya meminta maaf karena menyebut kedua nama itu dalam persidangan. Substansi ucapannya tidak ada yang dicabut,” katanya.

Menurut Wa Ode, KPK sudah mengantongi petunjuk untuk menelusuri rencana suap tersebut. KPK memiliki rekaman penyadapan pembahasan rencana suap itu. “Klien kami pernah diperdengarkan rekaman sadapan yang menghubungkan siapa saja yang terlibat. Jadi tunggu apa lagi?” ucapnya.

Pimpinan KPK membuka pintu penyelidikan terhadap pengakuan Miftahul Ulum. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan pimpinan sudah mengumpulkan tim penyidik untuk mempelajari kesaksian Miftahul. “Kami akan lihat apakah cukup alat bukti dan keterangan para saksi, juga mempelajari petikan putusan dari kasus-kasus sebelumnya,” ujarnya.

RIKY FERDIANTO | LINDA TRIANITA | ANDITA RAHMA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus