Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Aliran yang Didiamkan

Dari kasus pembobolan BII terungkap sejumlah nama yang kecipratan aliran dana. Polisi terkesan lamban melacak.

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETENANGAN Hartono Tjahjadjaja sungguh luar biasa. Divonis hukuman 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuduhan membobol Bank Rakyat Indonesia (BRI), Kamis pekan lalu, ia tetap adem. Mengenakan hem biru muda dan celana krem, wajah Hartono justru terlihat cerah. Komisaris PT Delta Makmur Ekspresindo ini juga tidak terlalu kaget ketika namanya dikaitkan dengan kasus pembobolan Bank International Indonesia (BII) yang belakangan meledak. "Saya hanya pengusaha yang menjadi korban. Buktinya, dalam kasus BRI, hukuman terhadap saya lebih tinggi dibanding pejabat bank," ujar Hartono kepada TEMPO. Dijepit dengan dua perkara pelik, lelaki 49 tahun itu berusaha membela diri. Bisa dibayangkan jika Hartono juga dinyatakan terlibat dalam kasus BII, ia akan menghabiskan hidupnya di bui. Kasus penggangsiran BII meletup setelah Yayasan Dana Pensiunan PT Pusri (Dapensri) berusaha mencairkan depositonya pada awal Juli lalu. Ternyata dana senilai Rp 31 miliar yang disimpan di BII Cabang Pembantu Senen, Jakarta, tidak ada. Yang ada cuma deposito Rp 200 juta. Kenapa bisa menciut? Menurut polisi, semua itu ulah sindikat pembobol bank yang melibatkan orang dalam bank. Lewat permainan mereka, dana Rp 31 miliar milik Dapensri mengalir ke sebuah perusahaan bernama PT Kharisma International Hotel di Cirebon, Jawa Barat. Dapensri semula tidak menyadari hal itu karena tetap mendapat kiriman bunga deposito setiap bulan, yang boleh jadi diatur oleh sindikat tersebut. Dari duit yang mengalir ke PT Kharisma itulah, Mabes Polri bisa mengendus perkara ini. Ternyata dana tersebut dibagi-bagi ke sekitar 15 orang. Di antaranya Wahyu Hartanto (Kepala BII Cabang Pembantu Senen, Jakarta), yang mendapat jatah Rp 325 juta. Lalu seorang pengusaha bernama Tonny Martawinata kebagian Rp 2,75 miliar. Keduanya sudah ditangkap polisi. Hartono sendiri memperoleh jatah yang cukup besar, Rp 31,5 miliar. Hanya, kepada TEMPO ia membantah keterlibatannya dalam aksi pembobolan. "Betul, saya mendapat aliran dana dari PT Kharisma. Tapi saya tidak tahu sama sekali kalau uang itu milik Dapensri. Itu kan duit pengembalian investasi," kata pengusaha properti ini. Orang mencurigai Hartono karena modus pembobolan BII sungguh mirip dengan yang terjadi di BRI. Dalam kasus terakhir, bersama rekan-rekannya ia didakwa menggangsir BRI Cabang Segi Tiga Senen dan Cabang Pembantu Pasar Tanah Abang senilai Rp 180,5 miliar. Caranya dengan "mempermainkan" deposito milik BPD Kalimantan Timur yang disimpan di BRI, sehingga dana mengalir ke PT Delta Makmur Ekspresindo, perusahaan milik Hartono. Kasus ini juga melibatkan Kepala Cabang BRI dan ia pun telah diadili. Dalam penggangsiran BII, bukan cuma orang bank yang terlibat. Direktur Keuangan PT Pusri Alwin Rosad juga dicurigai. Soalnya, ia menerima aliran dana Rp 800 juta dari Tonny Martawinata, salah satu tersangka. Sejauh ini pihak Alwin masih membantah. "Transfer sebesar itu merupakan pembayaran utang Tonny," kata Alwin seperti dituturkan Farhan Makawi, pengacaranya. Yang mengherankan, polisi sendiri terkesan lamban menangani kasus tersebut. Sudah dua pekan kasus ini terungkap, Hartono belum juga dipanggil kendati ia gampang ditemui di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta. Seorang pejabat Mabes Polri, Brigjen Samuel Ismoko, menyatakan bahwa belum ada tersangka lain kecuali Wahyu Hartanto, Kepala Cabang Pembantu Senen, dan Tonny Ch. Martawinata. "Mencari orang itu tidak mudah. Karena, ketika didatangi alamatnya, ia tidak pernah tinggal di situ," ujarnya. Hartono? "Kalau Hartono dia ada di Salemba, tentu lebih mudah memeriksanya. Bukti sudah cukup kuat untuk menyentuhnya," kata Ismoko lagi. Menghadapi rencana polisi, Hartono lagi-lagi tetap saja tenang. Dia bersikukuh bahwa duit yang diterima dari PT Kharisma merupakan buah investasi usaha peternakan di perusahaan tersebut. Ayah tiga anak ini mengaku menanamkan modalnya sejak tahun 2000. "Saya siap diperiksa dalam kasus BII, tapi saya khawatir dijadikan korban untuk kedua kalinya," katanya kalem Eni Saeni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus