Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pelindungan Anak Korban Pelecehan Seksual Harus Tuntas

Anak yang menjadi korban pelecehan seksual harus dilindungi secara maksimal. Agar tak menjadi pelaku di kemudian hari.

7 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Anak korban pelecehan seksual harus mendapat pelindungan secara tuntas.

  • Tak hanya pemerintah, keluarga dan masyarakat juga dinilai berperan penting untuk mengembalikan kondisi psikologis anak.

  • Pemerintah juga diminta melakukan pendidikan parenting pranikah agar peristiwa seperti ini tak terus berulang.

SEORANG ibu bernama Raihany diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anaknya sendiri. Kasus ini terungkap setelah video pelecehan itu viral di dunia maya. Sang ibu menyerahkan diri ke Kepolisian Resor Tangerang Selatan, Banten, yang kemudian melimpahkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. "Kami menahan R, terduga pelaku," kata Wakil Direktur Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Hendri Umar pada Rabu, 5 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi menjerat Raihany dengan pasal berlapis. Perempuan 22 tahun itu terancam Pasal 76 I Undang-Undang Perlindungan Anak soal eksploitasi anak, Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pornografi ihwal pembuatan dan penyebaran konten asusila. Selain menahan pelaku, polisi berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Tangerang Selatan mendampingi korban yang masih berusia balita. Korban, kata Hendri, akan ditempatkan di safe house atau rumah aman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Subklaster Anak Korban Pornografi dan Cybercrime, Kawiyan, menyatakan pemberian fasilitas rumah aman merupakan salah satu keharusan, terutama bagi anak yang menjadi korban pelecehan seksual oleh orang tuanya. Selain itu, menurut dia, korban harus mendapat pendampingan psikososial; pemeriksaan kesehatan; rehabilitasi fisik, psikis, dan sosial; serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya. Korban pun harus didampingi psikolog anak agar kondisi kejiwaannya bisa dipantau.

Kawiyan pun mengingatkan agar pelindungan dan pendampingan khusus itu dilakukan terus-menerus. Tak hanya sampai proses hukumnya selesai, menurut dia, pelindungan dan pendampingan khusus tersebut harus dilakukan hingga sang anak tak lagi mengalami trauma. "Pihak-pihak (Dinas Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Sosial, dan Dinas Kesehatan) harus memberikan pelindungan khusus kepada korban secara maksimal," kata Kawiyan kepada Tempo, kemarin, 6 Juni 2024.

Tujuannya, menurut dia, agar korban tidak berpotensi memiliki perilaku menyimpang dan menjadi pelaku di kemudian hari. Berdasarkan pemantauan KPAI dalam beberapa kasus, pelaku kekerasan terhadap anak merupakan korban di masa lalu.

Menurut catatan KPAI, orang tua merupakan salah satu pelaku kekerasan terhadap anak paling banyak. Pada 2023, menurut data KPAI, terdapat 262 atau 9,6 persen kasus kekerasan anak yang dilakukan ayah kandung serta 153 atau 6,1 persen kasus dilakukan ibu kandung. 

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Lia Latifah menyatakan pendampingan psikologis secara berkala perlu dilakukan hingga tuntas karena masalah traumatis memiliki dampak lebih kompleks bagi masa depan anak. Selain dari pemerintah, Lia menekankan peran serta keluarga dan masyarakat dalam pemulihan kondisi psikologis anak. 

Keluarga, kata Lia, tak boleh mengabaikan, apalagi memarahi anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Sebaliknya, korban justru harus mendapat perhatian dan kasih sayang terus-menerus. Sedangkan kepada masyarakat, ia meminta agar tidak menjauhi, merundung (bullying), dan mengejek anak korban pelecehan. Masyarakat juga harus menjaga kondisi korban dengan tidak membicarakan, mengingatkan, dan mengungkit peristiwa tersebut. "Itulah yang bisa mempercepat proses penyembuhan anak ketika menjadi korban kekerasan seksual," ucapnya saat dihubungi secara terpisah.

Lia melanjutkan, anak korban kekerasan seksual juga harus diajarkan memaafkan diri sendiri. Sebab, peristiwa tersebut akan membekas dalam ingatannya dan itu akan sangat menyakitkan. Anak korban, menurut dia, harus bisa berdamai dengan peristiwa itu agar dapat melanjutkan kehidupannya.

Menurut Lia, pendampingan ini pun harus dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama, tidak terbatas hingga kasus hukumnya selesai dengan keluarnya putusan pengadilan. Ia menilai tak ada ukuran pasti berapa lama pendampingan harus dilakukan. "Karena bergantung pada kondisi korban," ujarnya.

Ilustrasi pelecehan seksual anak. Shutterstock

Psikolog klinis Gisella Tani Pratiwi pun sependapat bahwa semua elemen masyarakat berperan penting dalam memulihkan kondisi anak. "Secara sosial, fungsi pelindungan anak seharusnya dilakukan semua pihak dalam kapasitas masing-masing," katanya.

Bukan hanya untuk anak, Gisella juga memandang pendampingan psikososial perlu diberikan kepada pihak yang mengasuhnya di kemudian hari. Menurut dia, perlu dipastikan bahwa anak dan pendampingnya mendapat layanan konseling dan terapi yang komprehensif, terutama untuk membantu anak mengelola dampak peristiwa traumatis yang terjadi. Selain itu, pemerintah harus memastikan keberlangsungan pendidikan anak korban, pemenuhan kebutuhan mendasar, dan pertumbuhannya secara memadai, termasuk dukungan sosial.

Agar kekerasan seksual seperti yang dilakukan Raihany tak terus berulang, Kawiyan berpendapat pemerintah harus mengambil langkah pencegahan dengan melakukan pendidikan seksual sejak dini. Anak harus diajarkan mengenal bagian-bagian tubuh dan fungsinya, serta diberi pemahaman ihwal bagian tubuh mana yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain. Anak juga harus dijauhkan dari konten-konten negatif, seperti pornografi dan adegan asusila lainnya. "Orang tua juga harus diberi tahu soal apa saja yang tidak boleh dilakukan kepada anak," ujarnya.

Lia Latifah pun sependapat bahwa pendidikan seks sejak dini penting guna mencegah tindak kekerasan seksual. Pendidikan tersebut harus disampaikan dengan menggunakan bahasa yang sesungguhnya ketika mereka mengenal jenis kelaminnya. Selain itu, anak perlu diberi pemahaman bahwa siapa pun tidak boleh menyentuh area pribadi kecuali diri sendiri, sekalipun orang tua dan saudara kandung. "Anak-anak diajarkan untuk boleh marah, teriak, kabur, dan melapor ketika area pribadinya disentuh. Itulah yang hari ini harus dilakukan," ucapnya.

Berikutnya, menurut Lia, orang tua juga harus membangun komunikasi secara intens dengan selalu mengajarkan anak untuk bisa menyampaikan pendapat dan bercerita sejak usia dini. Pendidikan parenting seperti itu, menurut dia, seharusnya dilakukan sejak calon orang tua menjalani bimbingan pranikah. Selama ini, ia menilai bimbingan pranikah yang dilakukan pemerintah hanya membicarakan hak dan kewajiban suami-istri.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam artikel ini. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus