Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebebasan pers terancam setelah dua media di Makassar digugat Rp 700 miliar.
Penilaian Dewan Pers atas pemberitaan dua media itu dijadikan dasar gugatan di pengadilan.
Gugatan terhadap produk jurnalistik di Makassar menjadi preseden buruk bagi iklim kebebasan pers di Indonesia.
SEJUMLAH organisasi yang bergabung dalam Koalisi Advokasi Jurnalis Sulawesi Selatan tengah mengawal perkara gugatan terhadap produk jurnalistik yang tengah bergulir di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan. Para jurnalis khawatir gugatan itu bisa mengancam kebebasan pers di Sulawesi Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar—salah satu organisasi yang bergabung dalam Koalisi Advokasi Jurnalis Sulawesi Selatan—menyesalkan adanya gugatan tersebut. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, mekanisme penyelesaian sengketa pers seharusnya ada di Dewan Pers, bukan di pengadilan. Karena itu, perkara ini dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi iklim kebebasan pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggugat dalam perkara ini adalah lima mantan staf khusus Gubernur Sulawesi Selatan. Sedangkan tergugat adalah dua media daring, yaitu Inikata.co.id dan Herald.id serta dua jurnalisnya, Burhan dan Andi Anwar.
Firmansyah, anggota tim hukum Herald.id, mengatakan sidang gugatan perkara nomor 03/PDT.G/2023 itu telah masuk tahap pengajuan alat bukti untuk para tergugat. Ia menilai gugatan yang diajukan penggugat adalah sebuah kekeliruan. Sebab, dalam perkara ini, jurnalis juga ikut tergugat. Apalagi status para penggugat ini juga tidak jelas. “Mereka merasa dirugikan mewakili siapa? Apakah pemerintah Sulawesi Selatan atau personal,” ujar Firmansah, pekan lalu.
Seharusnya, kata Firman, perkara ini telah berakhir setelah kliennya menjalankan rekomendasi yang diputuskan Dewan Pers. Namun, alih-alih menerima putusan Dewan Pers, penggugat justru melanjutkan persoalan ini ke ranah perdata.
Kuasa hukum tergugat 3 dan 4, Firmansyah. Dok.Koalisi Advokasi Pers
Berita Inikata.co.id yang dipersoalkan oleh para penggugat berjudul “Oknum Staf Khusus Eks Gubernur Sulsel Dituding Recoki Proyek Dinkes dan Disdik”. Sedangkan berita Herald.id berjudul “ASN yang Dinonjobkan di Era Andi Sudirman Sulaiman Diduga Ada Campur Tangan Stafsus”. Dua berita itu ditayangkan pada 19 September 2023. Isinya tentang dugaan keterlibatan staf khusus gubernur dalam mutasi sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Adapun lima staf khusus gubernur yang menjadi penggugat adalah Muh. Hasanuddin Taiben, Andi Ilal Tasma, A. Chidayat Abdullah, Arif, dan Arman. Mereka mempersoalkan dua berita itu karena merasa disudutkan. Apalagi pemberitaan tersebut tidak memuat tanggapan dari pihak mereka. “Berita itu seharusnya adil, dalam arti tidak menyudutkan salah satu pihak,” kata Murlianto, kuasa hukum para penggugat. “Tak ada klarifikasi yang dilakukan dua media ini. Seolah-olah menuduh bahwa apa yang dilakukan staf ini adalah keliru.”
Lima staf khusus itu kemudian mempersoalkan masalah ini ke Dewan Pers pada 3 Oktober 2023. Selanjutnya, Dewan Pers mengeluarkan surat penilaian pada 1 November 2023. Dewan Pers menyimpulkan bahwa berita yang ditayangkan Herald.id dan Inikata.co.id itu tidak mencakup sudut pandang kedua belah pihak dan melanggar kode etik jurnalistik. Kedua media tersebut kemudian diminta memuat hak jawab pihak-pihak yang dirugikan atas pemberitaan.
Belakangan, penilaian Dewan Pers itu justru dijadikan acuan bagi penggugat untuk meminta ganti rugi secara materiil sebesar Rp 200 miliar dan kerugian imateriil Rp 500 miliar. Mereka mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Makassar pada 4 Januari 2024. Menurut Murlianto, penilaian Dewan Pers itu menunjukkan bahwa dua media online tersebut terbukti memuat berita yang tidak sesuai dengan UU Pers.
Kuasa hukum Inikata.co.id, Adnan Buyung Aziz, mengatakan kliennya sudah memuat hak jawab dan permintaan maaf sesuai dengan rekomendasi Dewan Pers. “Tapi kami tak bisa melarang kalau mereka menggunakan hak hukumnya ke perdata,” kata dia. Hanya, kata Adnan, nilai ganti rugi yang dituntut penggugat sangat tidak rasional. “Nanti kita dengar kesaksian penggugat.”
Pendapat serupa disampaikan Firmansyah. Ia berpendapat bahwa tuntutan ganti rugi ini merupakan upaya untuk membangkrutkan perusahaan pers. Sebab, total angkanya, Rp 700 miliar, tidak relevan. “Belum ada pertimbangan obyektif, masih sebatas penilaian personal,” kata Firman.
Koordinator Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar) Sahrul Ramadhan berharap Dewan Pers turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini. “Di sinilah seharusnya Dewan Pers berperan dengan turut andil menjadi penengah, bukan sebatas menerbitkan rekomendasi saja,” katanya. Munculnya gugatan ini, kata Sahrul, menunjukkan bahwa pers belum merdeka, meskipun memiliki UU Pers.
Proses mediasi penggugat dan tergugat di Pengadilan Negeri Makassar. Dok. Koalisi Advokasi Pers
Wakil Ketua Dewan Pers Muh. Agung Dharmajaya, dalam sebuah diskusi di Makassar, Maret 2024, mengatakan Dewan Pers tidak bisa langsung campur tangan untuk proses pengadilan yang sudah berjalan. Namun lembaganya bisa memberikan pendampingan dengan meminta kuasa hukum tergugat untuk menghadirkan ahli dari Dewan Pers.
Pakar hukum dari Universitas Hasanuddin, Judhariksawan, mengatakan UU Pers sudah mengatur mekanisme untuk menyelesaikan sengketa pers. Karena itu, setiap persoalan yang berkaitan dengan produk jurnalistik seharusnya diselesaikan menggunakan mekanisme tersebut. "Karena ada sifat keistimewaan dalam sistem perundang-undangan,” katanya.
Pers memiliki peran penting dalam menjaga demokrasi. Ketika demokrasi terganggu, seharusnya bukan hanya jurnalis yang terkena dampak, tapi juga seluruh masyarakat. Karena itu, keberadaan pers harus terus dijaga. “Bila ada masalah dengan UU Pers, maka yang mengawasi adalah masyarakat,” kata Judhariksawan. “Sedangkan Dewan Pers membantu menyelesaikan permasalahan pers.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Didit Hariyadi dari Makassar berkontribusi dalam penulisan artikel ini