Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari Pelabuhan ke Perkampungan

Perusahaan di Tangerang diduga menjual sampah impor kepada warga sekitar. Pengakuan para pembeli.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sampah impor dijual eceran seharga Rp 200-400 ribu per truk.

  • Ada yang dibakar di dekat permukiman.

  • Pedagang loak menerima keuntungan Rp 500 ribu dari satu truk sampah impor.

ASAP tipis mengepul dari onggokan sampah gosong di lahan seluas lapangan sepak bola yang sekelilingnya ditutup seng berkelir biru. Inilah area pembakaran sampah yang letaknya tak jauh dari Kampung Baru, Rajeg, Tangerang, Banten. Di dekat sana, ada gubuk kecil tempat warga setempat beristirahat selepas membakar sampah. Pada Senin siang, 20 April lalu, tampak dua orang sedang berteduh di sana setelah selesai membakar sampah. “Ini sampah yang dibakar dari Harves,” ujar Sarwita, salah satu dari mereka. Satu orang lagi bernama Ngkus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sarwita menjelaskan, Harves yang ia maksud adalah PT New Harvestindo International yang beralamat di Kampung Picung, Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang. Jaraknya tak begitu jauh dari Kampung Baru. Dua tahun terakhir ini Sarwita mencari nafkah dengan membeli sampah impor dari PT Harvestino. “Satu truk Rp 250-400 ribu, tergantung kualitas sampahnya,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampah-sampah itu kemudian ia pilah. Kepada Tempo, Sarwita menunjukkan sampah yang masih bisa dijual, seperti botol air mineral merek Fort dan Spring Water. Dia membakar sampah berupa bungkus udang produksi Cornerstone Premium Foods of Syracuse, New York, Amerika Serikat, dan botol spray Pyrethrum, produk pembunuh serangga buatan Australia. “Yang seperti ini tidak bisa dijual, sampah, ya kami bakar,” ucapnya.

Dari jerih payah memisahkan sampah itu per truk, Sarwita biasanya mendapatkan penghasilan Rp 500 ribu. “Botol, ember ini dijual ke pengepul. Dibeli per kilogram. Ada yang Rp 2.000 atau Rp 3.000 per kilo,” katanya. Belakangan ini Sarwita mengaku hanya mendapat kiriman tiga-empat truk tiap pekan. Kondisi tersebut jauh merosot jika dibandingkan dengan tahun lalu. Dalam satu minggu, Sarwita dan Ngkus biasanya mendapat pasokan sampah sepuluh truk.

PT New Harvestindo International merupakan perusahaan pengimpor scrap plastik untuk diproduksi menjadi polyester staple fiber, salah satu bahan baku tekstil. Perusahaan ini satu grup dengan PT Harvestindo International, pabriknya dalam satu area yang sama. Dua perusahaan ini tersandung masalah dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pada Mei-Agustus 2019, sebanyak 1.018 kontainer sampah PT Harvestindo ditahan Bea dan Cukai Tanjung Priok serta Bea dan Cukai Tangerang. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan lembaganya total menahan 2.041 kontainer karena berisi sampah bercampur limbah. Kontainer ini tersebar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya; Batam; Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara; dan Tangerang. “Beberapa sudah kami kembalikan ke negara asal,” tutur Heru saat rilis pada September 2019.

Aturan mengenai impor scrap plastik tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri. “Dalam peraturan itu sudah jelas bahwa bahan baku tidak boleh bercampur dengan sampah, tidak berasal dari tempat pembuangan akhir, ataupun bercampur dengan limbah B3,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati.

Sampah-sampah impor New Harvestindo yang dianggap tak bermasalah inilah yang kemudian dibeli Sarwita dan puluhan warga di Kecamatan Rajeg, Kecamatan Sepatan, dan Kecamatan Sindang Jaya, Kabupaten Tangerang, dua-tiga tahun belakangan.

Bukan hanya warga Kampung Baru, warga Desa Sindang Penon, Kecamatan Sindang Jaya, juga membeli sampah dari New Harvestindo. Maman, misalnya, biasa mendatangkan enam truk sampah dari Harvestindo tiap pekan. Ia membeli sampah per truk Rp 200-350 ribu. “Tapi empat bulanan ini kami tidak mendapat kiriman sampah lagi. Katanya tidak boleh, perusahaan satunya tutup,” ujarnya.

Maman mengaku membeli sampah itu melalui badan usaha milik desa Mandiri Jaya Pasar Kemis. “Duitnya saya titipin ke sopir, Pak Haji yang ngurusin bumdes (badan usaha milik desa) yang berhubungan dengan perusahaan,” ucap pria 60 tahun tersebut. “Kami memilah dari jam 10-an. Rampung sore hari, sampah yang tidak bisa dijual lalu dibakar malamnya,” kata Maman. Di sekitar Kampung Sindang Penon itu ada belasan lapak lain bekas pembakaran sampah New Harvestindo.

General Manager PT New Harvestindo International Agung Priadi membantah jika perusahaannya disebut menjual sampah kepada masyarakat. Ia juga berkelit bahwa sampah impor itu tercecer di kampung-kampung. “Enggak ada. Kami juga dengar katanya ada sampah asing. Setelah kami cek, itu sampah hotel,” ujar Agung.

LINDA TRIANITA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus