Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Barang bukti, di mana ?

Barang bukti tidak mudah diambil, setelah perkara diputuskan pengadilan. pemilik barang mengeluh kehilangan, karena barang bukti dimanfaatkan oknum kejaksaan. hal tersebut dapat digugat secara perdata. (hk)

5 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGURUS barang bukti, ternyata tidak semudah mengambilnya dari tangan tertuduh atau saksi dalam perkara kejahatan. Orang sekarang sedang asyik membicarakan nasib barang-barang hasil selundupan. Jika perkaranya sudah diputus pengadilan, akan diapakan benda- benda tersebut? Jika keputusan pengadilan menyatakan 'harus dimusnahkan'. ada sebagian orang menyatakan keberatan. Itu mubazir namanya, kata mereka. Bagaimana kalau disita untuk negara dan kemudian "harus dilelang secara umum", seperti usul Adnan Buyung Nasution SH? ada juga yang keberatan. Sebab, begitu selesai pelelangan, bukankah barang-barang itu - seperti tekstil, radio dll - akan membanjiri pasaran dan berarti mengganggu pemasaran barang produksi negeri sendiri? "Ah tidak terlalu mengganggu", ujar Buyung. "Sekali lelang berarti selesai", katanya. Itu dengan pengertian, jika pintu gerbang Indonesia sudah disegani oleh calon penyelundup sehingga tidak ada lagi yang mau coba-coba berlaku gelap di sini. Buyung malah lebih mengkhawatirkan cara pelelangannva sendiri. Sebab sudah menjadi pengetahuan umum, kata advokat itu, "sering lelang dilakukan di bawah tangan, sehingga jatuh pada oknum tertentu dengan harga yang rendah". Ini akan menyulitkan. Padahal lelang dimaksud agar barang eks luar negeri tersebut sampai di pasar dengan harga yang tidak bersaing dengan produksi sendiri. Ada juga orang mengusulkan, agar barang-barang sitaan itu dibagi-bagikan saja ke rumah yatim-piatu, rumah-rumah penampungan orang yang tidak mampu dan penampungan penderita cacat. Pokoknya yang bersifat sosial Dan kalau mau dicari pendapat lain, tentu masih banyak yang igin mengusulkan. Namun sejauh itu pemerintah, yang sedang sibuk mengurus penyelundupannya, belum memberikan penjelasan nasib barang-barang bukti itu. Berbondong-bondong Yang di atas itu menyangkut barang bukti perkara-perkara populer. Tetapi kericuhan ternyata tidak hanya mengenai ke mana barang-barang itu harus dilempar. Ada selingkah-selingkuh lain yang langsung dapat merugikan fihak-fihak yang kena perkara: tertuduh sendiri, saksi maupun fihak ketiga yang beritikad baik. Hal begitu terjadi, "karena kejaksaan sering tidak beres dan kacau administrasinya dalam menyelesaikan lebih lanjut barang bukti yang berada dalam kekuasaannya", kata Buyung Nasution. Pengacara ini sudah mencoba ikut serta menertibkan kerja jaksa yang dianggapnya tidak beres itu. Bulan April 1966, belum sebulan ia keluar dari tahanan rezim lama, Buyung memasang iklan: agar siapa saja yang merasa dirugikan oleh kejaksaan dan menyangkut penyelesaian barang bukti yang pernah disita, menghubungi dia. Betul saja. Berbondong-bondong,"jumlahnya ratusan orang", kata Buyung, mengadukan hal mereka. Rata-rata mereka mengeluh telah kehilangan barang hak milik rumah, mobil, atau perhiasan-- yang pernah 'dipinjam' jaksa untuk barang bukti sesuatu perkara. Buyung bekerja bersama panitia yang dibentuk Jaksa Agung--waktu itu Sugiharto SH. Hasilnya: "banyak terbongkar ketidakberesan". Tapi diakui oleh Buyung, apa-apa yang diketahui panitia tak dapat digarap sampai selesai. "Terus terang saja", ujarnya, 'perkara jadi berhenti. jika sudah menyangkut pejabat ini dan itu, yang ikut menikmati dan memanfaatkan barang bukti itu". Panitia "menjadi loyo dan bubar dengan sendirinya '. Itu soal lama. Yang baru juga ada. Minggu lalu, Buyung Nasution mengirim surat ke Kantor Kejaksaan yang isinya meneruskan keluhan kliennya. Nyonya Asiah, yang tidak dapat meminta kembali sejumlah besar barang perhiasannya yang pernah dipakai sebagai barang bukti oleh kejaksaan. Dalam suratnya itu Buyung, sebagai Direktur LBH, menuntut agar kejaksaan bertanggungjawab atas barang bukti yang berada dalam kekuasaan dan kewenangannya. Riwayatnya begini: Dalam suatu perkara korupsi dan penipuan tahun 1954, dengan tertuduh M. Noer Daeng Pabeta (sekarang sudah almarhum), turut dikuasai oleh jaksa perhiasan isteri tertuduh sebagai barang bukti. Tapi oleh keputusan pengadilan tingkat pertama, tertuduh dibebaskan hakim. Sekaligus jaksa diperintahkann mengembalikan semua barang bukti kepada pemiliknya--dari siapa dulu jaksa mengambilnya. Walaupun tertuduh telah memperoleh pembebasan murni dari hakim, jaksa tetap menyatakan akan naik banding. Dengan begitu barang bukti. jadinya, masih tetap dalam kekuasaan, jaksa. Pengadilan banding, ternyata, juga menolak permohonan jaksa dan tetap membebaskan tertuduh seperti yang sudah diputus bawahannya. Beberapa barang bukti. sebagian, memang sudah diterima kembali pemiliknya -- seperti rumah dan barang lain. Namun barang-barang perhiasan yang dulu diambil dari Nyonya Daeng Pabeta, yang sekarang menyebut dirinya Nyonya Asiah, belum pernah diberikan kepada pemiliknya. Hal itu sudah diurus oleh yang bersangkutan dengan susah payah sejak 1970. Betapa kecewanya janda ini, ketika oleh pejabat kejaksaan waktu itu ia hanya ditunjuki sebuah kotak karton warna merah yang sudah kosong. "Barang-barangnya telah hilang", begitu kata pejabatnya, seperti yang diceritakan kembali oleh Nyonya Asiah. Begitupun sepeninggal suaminya, Nyonya Asiah tetap berusaha memperoleh kembali harta bendanya. Namun jawabnya selalu sama. "Harusnya saya tetap percaya kepada pemerintah kita", keluhnya. "Sebab tak mungkin pemerintah hanya dapat mengatakan barang milik warganya yang berada dalam kekuasaannya, hilang begitu saja tanpa mengganti apa-apa". Harta benda itu, seperti yang tercantum dalam daftar yang cukup panjang (sesuai dengan keputusan hakim) antara lain beberapa pasang cincin emas bermata berlian dan mutiara, batangan emas, beberapa gelang emas, sekian kalung emas permata, sekian pasang gelang emas, beberapa kalung dan giwang emas berpermata mahal, peniti emas dan beberapa arloji. "Malah cincin kawin saya juga hilang". keluh janda berumur 53 tahun itu. Ia dan LBH belum menaksir berapa rupiah harga barang itu sekarang. Namun ditambah dengan kerugian lain-lain -- kedelapan anaknya terpaksa berhenti sekolah karena tak terbiayai "saya kira tidak cukup dengan Rp 60 juta". Bayangkan. Tidak Beres Tapi nasib itu juga dialami oleh Bank Umum Nasional (BUN) -- klien pengacara Azhar Achmad SH. Wong dan kawan-kawan telah diajukan jaksa sebagai tertuduh dalam perkara penipuan 13 cek. yang telah merugikan BUN lebih dari Rp 64 juta. Dari hasil kerja Wong memiliki beberapa mobil, televisi seperangkat meja dan kursi tamu, kulkas dan sepeda motor. Oleh putusan pengadilan ia dinyatakan terbukti bersalah dan dihukum. Tanggal 19 Juli 1975 Pengadilan Tinggi memerintahkan agar jaksa menyerahkan barang bukti perkara itu kepada BUN, sebagai barang titipan. Ada sebuah mobil Honda yang mula-mula diterimakan kepada bank tersebut. Baru bulan Mei yang lalu menyusul seperangkat meja-kursi tamu dan mobil Toyota Corona. "Lain-lainnya". kata Azhar -- seperti sepeda motor Honda Yamaha dan minicar -- "hingga sekarang belum saya terima". Kabarnya sebual mobil Fiat, oleh polisi, telah diserahkan langsung ke BUN bulan Desember lalu. Dari kelambatan penyerahan barang bukti itu, cara-cara penyerahannya yang tidak beraturan, hingga hilangnya di tangan jaksa, Azhar dan Buyung berpendapat sama: "Kejaksaan tidak beres mengurusi barang bukti yang ada dalam kekuasaannya". Itu betul. Jaksa Agung Ali Said SH sendiri, kepada pengacara Azhar Achmad, juga berpendapat demikian.''Bagaimanapun kejaksaan bertanggung jawab atas barang bukti, sebagai instansi yang harus menjalankan keputusan hakim", kata Jaksa Agung. Asisten II Kejaksaan Tinggi Jakarta, Singgih SH, kepada TEMP0 terus terang menyatakan, ketidak-beresan mengurusi barang bukti itu, "jelas merupakan keteledoran". Dua pengacara di atas akhirnya berkesimpulan sama juga. "Kita dapat menuntutnya jika terdapat fakta penggelapan oleh oknum kejaksaan", kata Buyung. Dan "kalau dalam waktu tertentu jaksa tidak menyerahkan barang bukti itu sesuai dengan keputusan hakim atau hilang sama sekali, kita dapat menggugatnya secara perdata", kata Azhar Achmad. Singgih juga tidak keberatan. "Yang menyimpanlah yang harus bertanggung jawab. Jaksa harus menjaga agar barang-barang itu tetap utuh saunpai di tangan yang berhak", kata Singgih . Nah, kalau mau tuntut atau gugat tunggu apa lagi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus