Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Beda Perlakuan Karena Kawin Campur

Larangan kepemilikan aset bagi warga Indonesia yang menikah dengan warga asing digugat. Dianggap diskriminatif.

22 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ike Farida telah menempuh hampir semua jalan untuk menguasai satu unit apartemen yang dia bayar tunai tiga tahun lalu. Namun segala ikhtiar itu belum membuahkan hasil. Upaya Ike membawa kasusnya ke jalur hukum pun berkali-kali mentok. "Sebagai warga negara Indonesia, saya merasa diperlakukan diskriminatif," kata Ike, Selasa pekan lalu.

Kini Ike melanjutkan "perjuangan" ke Mahkamah Konstitusi. Ia menggugat undang-undang yang membuatnya sulit memperoleh hak milik atas tanah dan bangunan. Sasarannya pasal-pasal yang melarang kepemilikan lahan dan bangunan warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing.

Ike menikah dengan warga negara Jepang di Kantor Urusan Agama Kecamatan Makassar, Jakarta Timur, pada Agustus 1995. Mereka telah melaporkan pernikahan ke Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta pada Mei 1999.

Bersuami warga asing, Ike tetap tinggal di Indonesia. Ia hanya sesekali berkunjung ke Negeri Sakura. Ike pun tak pernah melepaskan status kewarganegaraan asalnya. Dalam sidang perdana di Mahkamah Konstitusi, Kamis dua pekan lalu, Ike menunjukkan sejumlah dokumen, antara lain paspor Indonesia dan visa kunjungan ke Jepang. "Saya tidak berkewarganegaraan ganda," kata Ike.

***

AWAL Mei 2012, Ike dan suaminya mengunjungi pameran properti di Jakarta Convention Centre, Senayan. Petugas pemasaran PT Elite Prima Hutama kala itu menawarkan unit apartemen Casa Grande Avalon di Casablanca, Jakarta Selatan. Setelah membolak-balik brosur, Ike jatuh hati pada unit apartemen di lantai sembilan. Satu unit apartemen seluas 151 meter persegi itu rata-rata dibanderol Rp 3,05 miliar.

Waktu itu, menurut Ike, si petugas pemasaran menjanjikan pengurusan perjanjian pengikatan jual-beli (PPJB) bisa selesai dalam dua hari. Bila apartemen tak ditempati, pengelola bisa mencarikan penyewa dengan tarif sekitar US$ 4.500 per bulan. Tertarik pada berbagai tawaran itu, Ike akhirnya memesan satu unit apartemen.

Pada 26 Mei 2012, Ike menandatangani perjanjian surat pemesanan sekaligus membayar booking fee Rp 10 juta. Berdasarkan ketentuan dalam surat pemesanan itu, PPJB akan diteken 14 hari setelah pembayaran uang muka minimal 10 persen. Kala itu petugas pemasaran pun menjelaskan, harga apartemen bisa berubah bila Ike tak melunasi dalam waktu 3-4 hari. Empat hari kemudian, Ike pun melunasi unit apartemen tersebut.

Sekian lama menanti jadwal penandatanganan perjanjian pengikatan jual-beli, pada September 2012, Ike malah mendapat kabar tentang pembatalan pemesanan apartemen. PT Elite Prima, bagian dari perusahaan properti Pakuwon Group, membatalkan pesanan Ike karena status suaminya yang masih warga negara asing.

Direktur Grup Pakuwon Stefanus Ridwan menjelaskan, pesanan Ike dibatalkan karena tak ada surat perjanjian pisah harta sebelum menikah. Tanpa perjanjian itu, ketika warga Indonesia menikah dengan warga negara asing, harta mereka menjadi milik bersama. "Padahal aturan melarang warga negara asing punya hak milik," kata Stefanus.

Tak terima atas pembatalan sepihak, Ike melaporkan Pakuwon Group ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada September 2013. Ike, yang berprofesi sebagai pengacara, menuduh pihak Pakuwon menipu dan menggelapkan uang dia. Namun, pada 8 Oktober 2014, Polda Metro Jaya menghentikan penyelidikan kasus tersebut dengan alasan tak cukup bukti.

Ketika Ike melapor ke polisi, PT Pakuwon menitipkan uang pembayaran Ike ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Pada November 2014, pengadilan pun menetapkan pembatalan surat pemesanan atas nama Ike Farida.

Mentok di polisi dan pengadilan, Ike menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Ike mengajukan permintaan uji materi atas Pasal 21 ayat 1 dan ayat 3, Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ike juga meminta uji materi atas Pasal 29 ayat 1 dan Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. "Pasal-pasal itu merenggut hak saya memperoleh hak milik dan hak guna bangunan," kata Ike.

Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik. Adapun pasal 21 ayat 3 menyatakan orang asing atau warga negara Indonesia yang melepaskan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak milik dalam jangka waktu satu tahun. Jika tidak, hak tersebut hapus karena hukum dan jatuh ke tangan negara. Senada dengan itu, pasal 36 ayat 1 menyebutkan hak guna bangunan hanya dapat dimiliki warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia.

Menurut Ike, pasal-pasal dalam Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Perkawinan tersebut bertentangan dengan sejumlah pasal dalam konstitusi Indonesia. Ia menyebutkan Pasal 28H ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin setiap warga negara memperoleh hak milik; Pasal 27 ayat 1 tentang kedudukan warga negara yang sama di dalam hukum; Pasal 28D ayat 1 tentang pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum; dan Pasal 28l ayat 2 tentang jaminan kebebasan dari perlakuan diskriminatif.

Dalam sidang, Ike pun berargumen, warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing tidak kehilangan status kewarganegaraan asalnya. "Seharusnya haknya pun sama dengan warga negara Indonesia lainnya," katanya.

Ketua Umum Masyarakat Perkawinan Campuran, Juliani Luthan, mendukung langkah Ike menggugat ke Mahkamah Konstitusi. "Ini momen yang kami tunggu," kata Juliani.

Selama ini warga Indonesia yang menikah dengan warga asing kerap mengakali kepemilikan aset dengan beragam cara. Antara lain dengan mengatasnamakan saudara atau kerabat dekatnya. "Padahal sangat riskan secara hukum," ujar Juliani.

Yuliawati, Dewi Suci Rahayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus