Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMAN-teman almarhumah menuntut pada pengadilan, supaya tertuduh
dijatuhi hukuman yang berat. Beberapa kali memang hakim terteror
ketika hendak mengambil keputusan. Tapi pada hari itu akhirnya
hakim tadi menjatuhkan putusan yang mengejutkan. "Lalu saya
jatuhkan putusan. Ali, putera bapak Gubernur, dibebaskan dari
tuduhan pembunuhan keji. Tanpa syarat. Supaya orang banyak
tersinggung, marah dan meletup mengganyang Ali dengan hukuman
yang lebih tepat," kata hakim.
Itu adalah sebagian percakapan dalam drama DCR karya Putu
Wijaya. Beberapa hari sebelum State Coroner Singapura, Chang Kok
Ming memutuskan dua pekan lalu sebab kematian Faridah adalah
bunuh diri, Tika Juwena menelepon Putu Wijaya. Ia menyatakan
minatnya untuk membaca naskah drama itu. Meskipun Tika tahu
betul William Loh Shou Lian bukan Ali, dan hakim itu bukanlah
Chang Kok Ming.
Jadi benarkah Christine Faridah Suwantika, 22 tahun, puteri Tika
Juwena tewas karena bunuh diri? (TEMPO 30 Juni). Masih banyak
orang menyangsikan termasuk ahli kedokteran kehakiman dr.
Handoko Tjondroputranto dari Lembaga Kriminologi UI. Setelah
melihat keanehan dari proses pemeriksaan polisi dan juga
persidangan ia tetap yakin Faridah tewas karena pembunuhan.
"Seharusnya polisi menaruh curiga terhadap keadaan yang tidak
normal dari persangkaan bunuh diri. Tapi dalam kasus ini malah
sebaliknya," sebut dr. Handoko "Polisi justru berusaha
menormalkan hal-hal yang tidak normal itu."
Dr. Handoko mengecam kecerobohan polisi setempat dalam melakukan
penyidikan di tempat kejadian. Beberapa barang bukti yang sangat
berharga seperti selimut ternyata lenyap. Bahkan posisi korban
yang telungkup dengan tubuh terbungkus selimut itu, tidak sampai
membuat polisi curiga. "Posisi korban yang telungkup di lantai
dapur, sangat jauh dari teori kebiasaan orang bunuh diri dengan
gas," kata dr. Handoko. "Karena seseorang yang bunuh diri dengan
gas selalu memilih posisi yang enak (TEMPO 2 Juni).
Ada juga pendapat bahwa polisi setempat tak berhasil menjejaki
ceceran darah Faridah, yang berjalan dari ruang tamu ke dapur.
Pun tampaknya polisi tidak berusaha mencari sidik jari seseorang
yang patut dicurigai -- siapakah yang membuka kran gas dan
memegang alat suntik itu?
Tak Ada Bekas Obat Tidur
Beberapa jam sebelum hari naas pada subuh 25 Agustus itu,
menurut pembantu rumahtangga Parmi, Faridah minum 3 pil obat
tidur. Almarhumah juga sempat berpesan, "jaga baik-baik
Jacqueline, karena ini adalah hari penghabisan."
Parmi memang malam itu tidur di sisi si orok di kamar tidur
majikannya. Tapi dr Wee Keng Poh yang melakukan bedah mayat atas
tubuh korban ternyata tidak menemukan tanda-tanda Faridah pernah
minum obat tidur. Baik itu jenis berbiturat, methaqualone,
diazepan, chlorpromazine, chlorsdiazepoxide, antihistamine,
alkaloid atau jenis obat sakit kepala yang mengandung
salicylates di lambung almarhumah. Hanya pada penelitian
toksikologik terhadap darahnya ditemukan senyawaan karbon
monoksida yang sudah terikat menjadi carboxyhaemoglobine, dalam
jumlah 80%.
Sebab kematian dari visum dr Wee Keng Poh, yang juga bisa
diterima akal sehat dr Handoko, adalah benar korban keracunan
karbon monoksida -- atau gas dapur. Yang masih membuat gusar
Handoko adalah pemusatan perhatian Department of Scientific
Service, pada kemungkinan racun mengeram di lambung. "Ini sangat
aneh, karena pada tubuh korban jelas ditemukan bekas-bekas
suntikan, jadi obatnya akan langsung ke darah, tidak ke
lambung," sebutnya pekan lalu kepada wartawan TEMPO Karni Ilyas.
Seperti diketahui di punggung tangan, lipatan siku, dan beberapa
tempat di tubuh korban ditemui bekas suntikan yang jumlahnya 10
buah dengan luka memar. Apakah itu dilakukan orang lain? Seorang
dokter yang tak mau disebut namanya menduga itu dilakukan
Faridah sendiri. Ia menyebutnya haemotoma, yaitu akibat suntikan
meleset tidak masuk pembuluh darah. "Karena panik dan belum
berpengalaman, suntikan dilakukan di beberapa bagian tubuhnya,"
kata dokter itu.
Tapi barangkali itu dilakukan orang lain? Dan cairan apa yang
diinjeksikan? Tidak jelas. Pengadilan tidak meminta kesaksian
dari farmakolog, untuk mengidentifikasi cairan itu. Hanya
disebut di ujung jarum itu ada darah golongan 0, sesuai dengan
golongan darah korban.
Kejangalan
Benarkah obat itu berhasil diinjeksikan? Kalau melihat luka
memar itu, obat tadi mungkin tidak berhasil diinjeksikan. Jadi
ada kesimpulan, bahwa setelah korban tidak berhasil menginjeksi
sendiri, lalu menyayat tubuhnya di beberapa bagian. Inipun
menunjukkan almarhumah tidak pengalaman.
Bersandar pada visum dr Wee Keng Poh itu memang bisa disimpulkan
korban bunuh diri. Meskipun bisa juga ada kecurigaan terhadap
luka memar pada paha kiri sebelah luar dan kaki kanan bagian
tengah, yang tak disebut-sebut meninggalkan bekas luka suntik.
Apakah itu suatu pertanda bahwa sebelum maut menjemput korban
melakukan perlawanan? Sulit memang melakukan pemeriksaan ulang.
"Sebab tidak akan ditemukan petunjuk baru," kata dr. Handoko.
VB Da Costa, anggota DPR RI yang sedang berada di Singapura dan
secara tidak resmi mengikuti jalannya hearing untuk menentukan
sebab kematian Faridah, menemui beberapa kejanggalan. Loo Choon
Beng orang yang pertama datang di tempat kejadian tidak diajukan
sebagai saksi, tapi malah maju sebagai pembela William Loh.
Begitu juga ibu Loh -- Yosephine Loh -- yang membawa pisau lipat
berdarah tidak dipanggil. Alasannya pergi ke Amerika. "Padahal
setelah diselidiki ternyata ada di Singapura," kata Da Costa.
"Keterangan Parmi dan William Loh itu sebenarnya satu-satu. Jadi
tidak bisa dipakai untuk memastikan Faridah bunuh diri."
Tapi persoalan ternyata sudah berakhir. "Kalau state coroner
menyatakan sudah puas dengan pemeriksaannya dan menyatakan
putus, maka itu sudah final," kata Daniel Tan -- perwira
hubungan masyarakat Kepolisian Singapura kepada wartawan TEMPO
Khoe Hak Lep "Itu artinya selesai juga buat polisi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo