Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ahmad Muhdlor Ali kembali tak memenuhi panggilan penyidik KPK.
Seharusnya Bupati Sidoarjo itu menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka pada Jumat kemarin.
Eks politikus PKB itu menjadi tersangka setelah lolos dari jerat OTT pada Januari lalu.
KOMISI Pemberantasan Korupsi didesak segera menangkap Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali yang terjerat kasus pemotongan dana insentif aparat sipil negara Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) 2021-2023 di kabupaten itu. Desakan tersebut muncul setelah Muhdlor Ali tak memenuhi panggilan kedua yang dilayangkan KPK pada Jumat kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhdlor Ali seharusnya menjalani pemeriksaan perdananya sebagai tersangka pada Jumat kemarin. Tapi pemeriksaan itu batal karena eks politikus Partai Kebangkitan Bangsa tersebut mengaku sakit. Juru bicara KPK Ali Fikri menyatakan pihaknya menerima surat pemberitahuan bahwa Muhdlor Ali tengah sakit dan dirawat di RSUD Sidoarjo Barat. Namun KPK menemukan kejanggalan dalam surat keterangan sakit itu. Pasalnya, tak ada keterangan penyakit apa yang diderita Muhdlor Ali ataupun sampai kapan dia harus dirawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Keterangannya dirawat sejak 17 April 2024 sampai sembuh. Ini agak lain suratnya. Sampai sembuhnya kapan kan kami enggak tahu. Penyakitnya juga enggak tahu,” kata Ali.
Bukan kali ini saja Ahmad Muhdlor Ali tak menghadiri panggilan KPK. Menurut Ali Fikri, pria 33 tahun itu juga tak hadir saat penyidik memanggilnya pada awal bulan lalu. “Makanya kami mengingatkan juga yang bersangkutan agar kooperatif. Termasuk dokter yang memberi surat keterangan semacam ini bisa dipersoalkan secara hukum karena menghalangi proses penyidikan,” ujarnya. KPK pun menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap Muhdlor Ali pada pekan depan.
Kuasa hukum Muhdlor Ali, Mustofa Abidin, membenarkan bahwa kliennya telah ditetapkan sebagai tersangka. Dia menyatakan telah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dari KPK sejak beberapa hari lalu. Dia pun menyatakan Wakil Ketua Pengurus Wilayah Ansor Jawa Timur itu akan mengambil langkah hukum. "Sebagai warga negara, beliau menghormati keputusan KPK dan menjalani proses keputusan KPK tersebut. Dalam waktu dekat kami akan melakukan upaya hukum. Tim upaya hukum belum bisa memutuskan karena melihat karakteristik perkara ini," ujarnya.
Soal kliennya absen dari pemeriksaan KPK, Mustofa menyatakan Muhdlor Ali sedang sakit. Dia pun menyatakan kliennya akan bersikap kooperatif terhadap pemeriksaan yang dilakukan lembaga antirasuah itu. “Hari ini memang Bupati Sidoarjo tak dapat hadir memenuhi panggilan pemeriksaan oleh KPK tersebut karena sakit,” ucapnya.
Kembali absennya Muhdlor Ali membuat sejumlah pihak mendesak KPK mengambil langkah tegas. Eks penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap meminta lembaga antirasuah itu segera menangkap Muhdlor Ali. Dia khawatir lambatnya penanganan kasus ini membuat Muhdlor Ali lolos dari jerat hukum. Yudi menyinggung kasus eks Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej, yang lolos dari jerat KPK setelah memenangi praperadilan.
"Jika memang punya bukti kuat, KPK segera memanggil dan menahan tersangka agar kasusnya bisa segera dilimpahkan ke pengadilan,” ujarnya saat dihubungi pada Jumat kemarin. Dengan segera melimpahkan berkas kasus ini ke pengadilan, menurut dia, Muhdlor Ali akan kehilangan kesempatan untuk mengajukan praperadilan.
Yudi menilai pria yang juga menjabat Wakil Sekretaris Pengurus Cabang Ansor Sidoarjo itu seharusnya sudah menjadi tersangka sejak menggelar OTT. “Kenapa KPK baru menetapkan tersangka saat ini? Bukankah dari saat OTT seharusnya sudah bisa?” katanya.
Sependapat dengan Yudi, Ketua lembaga IM57+ Institute M. Praswad Nugraha menyatakan heran atas langkah KPK yang baru menetapkan Muhdlor Ali sebagai tersangka saat ini. Pasalnya, menurut dia, sejak awal KPK sebenarnya sudah mengantongi bukti keterlibatan Muhdlor Ali.
Hal itu, menurut Praswad, terlihat jelas dari pernyataan Komisioner KPK Nurul Ghufron pada Januari lalu. “Pasca-OTT, Nurul Ghufron selaku pemimpin KPK sudah menjelaskan bahwa uang yang dikumpulkan dalam rangka kepentingan pemenuhan kebutuhan Bupati,” kata bekas penyidik KPK itu saat dihubungi pada Jumat kemarin.
KPK sebenarnya telah mengincar Muhdlor Ali sejak operasi tangkap tangan pada Januari lalu. Saat itu, lembaga antirasuah ini menangkap 10 orang yang diduga terlibat dalam korupsi pemotongan dana insentif ASN BPPD Kabupaten Sidoarjo tahun 2023. Penyidik juga menyita uang senilai Rp 69,9 juta.
Laporan majalah Tempo pada 25 Februari lalu menyebutkan bahwa KPK akhirnya tetap mempertahankan kasus ini setelah penyidik menemukan bukti bahwa pemotongan itu sudah berlangsung sejak 2021 dengan nilai total mencapai Rp 8 miliar. Selain itu, penyidik menemukan bukti pemotongan tersebut atas perintah Muhdlor Ali.
Awalnya, KPK hanya menetapkan Kepala Subbagian Umum dan Kepegawaian BPPD Kabupaten Sidoarjo Siska Wati serta Kepala BPPD Kabupaten Sidoarjo Ari Suryono sebagai tersangka. Siska menjadi tersangka setelah terjaring OTT. Sedangkan Ari menyusul sebulan berselang.
Laporan itu juga menyinggung soal aroma politik dalam perkara ini. Muhdlor Ali dan keluarganya, yang sebelumnya mendukung pasangan nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam pemilihan presiden 2024, mendadak berubah haluan dengan mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pasangan calon nomor urut 02.
Tapi Muhdlor Ali lolos dari operasi itu karena tak ada di tempat. Lolosnya Muhdlor Ali membuat KPK terbelah. Sebagian petinggi di Kuningan, markas KPK, meminta agar kasus ini diserahkan ke kepolisian. Alasannya karena nilai korupsinya kecil dan tak ada keterlibatan penyelenggara negara.
Juru bicara KPK Ali Fikri memberi keterangan kepada awak media soal mangkirnya pemeriksaan Bupati Sidoarjo, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 19 April 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Perubahan arah dukungan itu diduga karena adanya iming-iming Muhdlor Ali akan mendapat pelindungan dari kubu 02 jika memberi dukungan. Seorang politikus pendukung pemerintah sekaligus tokoh Nahdlatul Ulama di Jawa Timur menceritakan adanya kunjungan dari sejumlah perwira tinggi Polri ke kediaman ayah Muhdlor Ali, KH Agoes Ali Masyhuri. "Ada komunikasi seorang menteri loyalis Jokowi dengan petinggi di Mabes Polri," katanya.
KH Agoes Ali sempat membantah adanya kesepakatan itu. Namun, pada 1 Februari lalu, Pesantren Bumi Shalawat yang dia pimpin menggelar hajatan akbar bertajuk "Santri Nderek Kyai". Dalam hajatan itu, Agoes Ali dan keluarganya mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo-Gibran. Dalam pidatonya, Gus Ali menganggap Presiden Joko Widodo berhasil membangun negeri sehingga penting kebijakannya dilanjutkan. Secara terang-terangan, ia mengatakan hanya Prabowo-lah yang bisa melanjutkan kepemimpinan Jokowi. "Jawabane nderek kiai, milih Pak Prabowo (jawabannya ikut kiai, memilih Pak Prabowo)," ujarnya saat itu.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya menilai kasus ini menggambarkan secara jelas bahwa hukum di Indonesia masih sarat akan unsur politik. Diky mengatakan, dari proses OTT sudah terlihat jelas, KPK menangkap orang-orang yang bukan penyelenggara negara. “Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 11 ayat 1 huruf a UU KPK, salah satu subyek dari proses hukum yang ditangani KPK haruslah berstatus sebagai penyelenggara negara."
Diky pun menyatakan ICW ikut mendesak KPK agar segera mengambil langkah tegas terhadap Muhdlor Ali. KPK, menurut dia, harus segera memanggil Bupati Sidoarjo itu kembali. “Jika kemudian yang bersangkutan mangkir dari panggilan pemeriksaan, jemput paksa menjadi langkah yang dapat ditempuh KPK pada proses selanjutnya."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Bagus Pribadi berkontirbusi dalam penulisan artikel ini