Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengadilan Italia membebaskan tersangka kasus TPPO ferienjob yang jadi buruan Polri.
Lemahnya pembuktian dan tak adanya perjanjian ekstradisi menjadi alasan hakim di sana.
Polri pun dinilai kurang kuat dalam melakukan diplomasi dengan polisi Negeri Piza.
KEPOLISIAN Republik Indonesia (Polri) gagal membawa pulang satu buron kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ferienjob, Enik Rutita alias Enik Waldkonig dari Italia. Tidak adanya perjanjian ekstradisi plus lemahnya diplomasi dianggap sebagai penyebab banyaknya buronan Indonesia bebas melenggang di luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enik ditangkap polisi Italia saat sedang berlibur di Kota Venezia pada 9 Juni 2024, tiga hari setelah International Criminal Police Organization (Interpol) memasukkannya ke daftar pencarian orang (red notice). Enik menjadi buruan Polri setelah tak kunjung memenuhi panggilan penyidik. Namun dia mengajukan gugatan ke pengadilan setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan Venezia pun menerima gugatan itu dan memerintahkan polisi membebaskan bos PT Sinar Harapan Bangsa (SHB) tersebut dari penjara. “Ibu Enik dibebaskan tanggal 17 (Juni),” kata kuasa hukum Enik, Husni Az-Zaki, kepada Tempo.
Dalam putusan yang diterima Tempo, majelis hakim membebaskan Enik karena beberapa pertimbangan. Pertama, pengadilan menilai tidak ada bukti kuat perempuan Enik merupakan tersangka kasus TPPO ferienjob. Selain itu, hakim mempermasalahkan tidak adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Italia sehingga mereka tak memiliki kewajiban untuk menyerahkan Enik ke Polri. “Tindakan terhadap Enik harus dicabut dengan konsekuensi pembebasannya,” demikian bunyi surat putusan yang dikeluarkan pada 18 Juni 2024 tersebut.
Tempo telah menghubungi Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Krishna Murti, baik melalui telepon maupun pesan WhatsApp, untuk memberi tanggapan perihal pembebasan Enik Rutita. Namun, hingga berita ini diturunkan, Krisna tak kunjung merespons pertanyaan yang diajukan Tempo.
Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyatakan proses ekstradisi seorang buron memang tak semudah yang dibayangkan. Menurut dia, ekstradisi bergantung pada diskresi otoritas hukum negara yang menjadi tempat si buron ditangkap. Proses akan semakin rumit jika negara tersebut tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Mereka tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan si buron. “Bila ada perjanjian ekstradisi, negara di mana pelaku berada punya kewajiban (bukan diskresi) untuk menyerahkan ke otoritas Indonesia,” ujarnya kepada Tempo, Selasa, 25 Juni 2024.
Perjanjian ekstradisi, menurut dia, juga tak menjamin Indonesia akan mudah membawa seorang buron pulang untuk diadili. Menurut dia, seorang buron bisa saja mengajukan keberatan ke pengadilan negara tersebut. Hikmahanto mencontohkan kasus perburuan terhadap Hendra Rahardja, tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 2,659 triliun.
Hendra meninggal di Australia pada 27 Januari 2003 dan Indonesia tak pernah bisa membawanya pulang meski Australia mempunyai perjanjian ekstradisi. Pasalnya, Hendra meminta perlindungan kepada pengadilan Australia agar tidak dikembalikan ke Indonesia. “Dan ini dikabulkan oleh pengadilan,” ucap Juwana.
Ilustrasi ekstradisi buronan pelaku pembobolan Bank BNI Maria Pauline Lumowa (tengah) sejak 2003 dari Serbia tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, 2020. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Hal senada dinyatakan oleh dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Menurut dia, tanpa adanya perjanjian ekstradisi, negara tempat pelarian buron tak memiliki alasan untuk melakukan penangkapan dan penahanan. “Kecuali dia (si buron) melakukan kejahatan di sana,” kata Fickar saat dihubungi secara terpisah.
Dia menyatakan penerbitan red notice oleh Interpol tak bisa menjamin seorang buron bisa diboyong ke Indonesia jika memang negara tempatnya tertangkap tak memiliki perjanjian ekstradisi. Jika si buron bersembunyi di negara seperti itu, menurut Fickar, kepolisian setempat hanya berkewajiban untuk memberikan informasi keberadaannya kepada Polri. “Kalau ingin menangkap dan membawa pulang, tetap harus ada perjanjian ekstradisi,” ujarnya.
Direktur Hukum dan Perjanjian Politik dan Keamanan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Indra Rosandry, membenarkan bahwa Indonesia belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Italia. Bahkan, menurut data Kemenlu, saat ini Indonesia baru memiliki perjanjian ekstradisi dengan 14 negara dan 13 di antaranya sudah diratifikasi dalam bentuk undang-undang. “Kebetulan karena bicara Italia, di Eropa (Indonesia) baru punya (perjanjian ekstradisi) dengan Rusia. Itu pun belum berlaku, masih proses ratifikasi,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa, 25 Juni 2024.
Soal minimnya perjanjian ekstradisi dengan negara lain, Indra menyatakan hal itu karena pembuatannya tak mudah. Pasalnya, setiap negara memiliki sistem hukum dan prosedur yang berbeda-beda. “Tergantung sistem hukum, prosedur domestik masing-masing, bisa cepat bisa lama,” Indra menjelaskan. Bahkan, berdasarkan data, tak jarang perjanjian ekstradisi baru bisa diratifikasi beberapa tahun pasca ditandatangani.
Meski demikian, menurut Indra, masih ada jalan bagi Indonesia untuk memulangkan seorang buron dari negara yang tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan menggunakan kerangka konvensi multilateral. Misalnya dengan menggunakan Konvensi Melawan Kejahatan Transnasional Terorganisasi atau The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC). Indonesia telah meratifikasi konvensi itu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009. Dengan meratifikasi konvensi itu, menurut dia, Indonesia bisa meminta seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang juga menjadi anggota UNTOC untuk menyerahkan seorang buron tindak pidana lintas negara.
Selain itu, Indra menambahkan, ekstradisi bisa dilakukan atas dasar hubungan baik kedua negara dan asas resiprositas atau hubungan timbal balik antarnegara. Soal pembebasan Enik, Indra menyatakan jika pengadilan Italia menyatakan kurang bukti untuk menjeratnya. “Itu murni menjadi wewenang otoritas Italia.”
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhamad Haripin, juga menilai lepasnya Enik karena kesalahan Polri yang tak bisa menunjukkan bukti kuat Enik sebagai tersangka kasus TPPO ferienjob. Selain itu, Haripin menyoroti diplomasi Indonesia yang kurang sigap.
Padahal Indonesia pernah menyerahkan satu buron kepada kepolisian Italia pada tahun lalu. Buron berinisial AS itu ditangkap di Bandara Ngurah Rai, Bali, pada 3 Februari 2023. AS menjadi buron dalam kasus peredaran narkoba. Haripin menyatakan Indonesia menyerahkan AS saat itu karena diplomasi yang kuat dari Italia. Saat itu, menurut dia, Italia menawarkan insentif dalam bentuk lain ke kepolisian Indonesia yang tentu saja tidak diumumkan ke publik. “Hal seperti itu lumrah dalam diplomasi atau penegak hukum antarnegara,” kata Haripin saat dihubungi secara terpisah.
Dalam kasus Enik, Haripin menduga Indonesia tidak menawarkan imbalan apa pun. Jika ada, bentuk atau jumlahnya dinilai tidak seberapa. Ia juga menyarankan agar Pori berkoordinasi lebih erat lagi dengan Interpol maupun dengan otoritas hukum di Italia untuk membawa pulang tersangka kasus TPPO ferienjob itu. Polri, menurut Haripin, juga perlu berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Italia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo