Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati sudah melayangkan surat kedua, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas mengaku tak bisa melakukan upaya paksa jika Ketua Mahkamah Agung itu menolak datang. “Undang-undang tidak memberikan kewenangan untuk itu,” kata Busyro saat diwawancarai wartawan Tempo, Abdul Manan, Kamis pekan lalu, di kantornya. Berikut petikan wawancara tersebut.
Apa persisnya latar belakang Komisi Yudisial memanggil Bagir Manan?
Kami memanggil Pak Bagir sebagai hakim agung yang menjadi ketua majelis perkara Probosutedjo. Ada beberapa hal yang akan kami tanyakan berkaitan dengan laporan yang kami dapat dari Probosutedjo, dan pemeriksaan Harini serta lima pegawai Mahkamah Agung.
Misalnya, Harini mengaku diterima Pak Bagir di ruang kerjanya sekitar September. Menurut Pak Bagir dalam pernyataan di pers, pertemuan itu sudah enam bulan yang lalu. Itu kan ada perbedaan. Lalu, Pak Bagir mengatakan Harini menemuinya cuma untuk pamitan karena sudah pensiun.
Kami ingin tanya, masa pamit harus dengan Ketua MA? Harini saat datang ke ruang kerja Pak Bagir mengaku sebagai keluarga Probosutedjo dan menyatakan Probosutedjo sedang ada masalah. Dia bertanya, apakah Bagir bisa membantu, dan Pak Bagir menjawab, “Coba tunggu saja nanti.”
Lalu, menurut versi Harini, pertemuan itu cuma satu menit. Saksi lain yang kita panggil mengatakan berlangsung lima sampai 10 menit. Kita analisis, wajar atau tidakkah orangnya kalau bertemu hanya satu menit. Kalau menyangkut materi, Bu Harini, kata Pono, mengatakan bahwa P (pembaca) 1 dan P2 sudah dibereskan. Sisi lain Pono juga mengatakan bahwa uang Rp 5 miliar dari Pak Probo itu akan diberikan kepada atasannya. Kami ingin tahu siapa atasannya itu.
Apakah uang itu disebutkan untuk Bagir Manan?
Itu juga yang akan kami mintakan keterangan. Soal benar atau tidak, bisa menjadi clear setelah kami memanggil.
Apa sebenarnya alasan Bagir Manan tak mau datang?
Ada empat poin yang ia sebutkan. Pertama, perkara dugaan suap dalam perkara Probo sedang ditangani KPK. Dalam suratnya, Pak Bagir menyatakan telah memberikan keterangan kepada KPK dalam pemeriksaan yang bersifat pro-yustisia sehingga sebaiknya KPK diberi kesempatan untuk menuntaskan pemeriksaannya.
Kedua, ia menyatakan tidak tahu-menahu mengenai perbuatan karyawan MA dalam hubungannya dengan Probo. Ketiga, selaku pimpinan MA, ia telah menggariskan seluruh jajaran MA memberikan akses kepada KPK dalam penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan suap. Keempat, dengan alasan seperti itulah ia menyatakan tidak dapat memenuhi panggilan Komisi Yudisial.
Alasan itu bisa diterima?
Alasan soal pemeriksaan di KPK untuk kepentingan pro-yustisia bisa kami pahami. Untuk yang kedua, justru ini yang akan kami tanyakan. Kalau ada kasus suap di MA dan terjadi berkali-kali–saya sebagai pengacara 20 tahun sudah hafal itu–dilihat dari sudut manajemen tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab orang nomor satu. Justru kami akan bertanya, bagaimana manajemen yang ia pimpin kok bisa ada kasus semacam ini.
Saya melihat, surat ini merupakan penolakan secara halus. Alasannya kan disebutkan bahwa ada pemeriksaan KPK yang bersifat pro-yustisia. Kami memeriksa bukan untuk pro-yustisia, tetapi dalam perspektif adanya dugaan pelanggaran kode etik perilaku hakim. Koridor kami di situ. Soal suap, biar tugas KPK.
Ada alasan lain dari keengganan Bagir Manan memenuhi panggilan?
Kepada pers, Pak Bagir mengatakan, “Kalau ke KPK saya tak hadir, sesuai asas equality (kesetaraan), ya, ke Komisi Yudisial tak hadir juga.” Apakah alasan itu dengan merujuk asas paling mendasar dalam hukum? Kalau dia konsekuen, hakim agung yang lain buktinya hadir, seperti Pak Parman Suparman (hakim agung yang juga memeriksa kasus Probo), hakim tinggi, dan juga hakim pengadilan negeri.
Bahkan hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, seorang perempuan, datang ke Jakarta naik bus. Sesuai dengan asas equality below the law, Pak Bagir seharusnya tampil prima dan legowo untuk menunjukkan, kalau bawahan hadir, tentu dengan jiwa besar dia juga hadir.
Kenapa Komisi Yudisial tidak datang saja ke MA seperti dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi?
Kami tidak akan hadir ke sana justru untuk menghormati beliau yang sekarang lagi menjabat Ketua MA. Kalau beliau nanti berkenan hadir pada panggilan kedua, orang akan respek. Sebaliknya, kalau kami hadir ke sana, kami khawatir nanti itu akan menjadi contoh dan stimulus yang kurang baik bagi hakim-hakim lain.
Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie berencana mempertemukan Ketua Mahkamah Agung dengan Ketua Komisi Yudisial. Pendapat Anda?
Kalau bertemu antarlembaga penegak hukum, itu memang penting. Adapun mengenai substansinya, menurut Pak Jimly kan ada konflik kewenangan atau sengketa antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Kami tak melihat ini ada sengketa kewenangan. Perspektif Komisi Yudisial adalah kode etik perilaku hakim. Kompetensi Komisi Yudisial juga jelas, untuk melakukan pengawasan dan menegakkan kehormatan dan menjaga perilaku hakim seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo