Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA hal yang sekaligus mengejutkan Adnan Buyung Nasution.
Pertama, berita tentang Ali Murtopo, Menteri Penerangan, yang
mengecam LBH-nya sebagai telah berpolitik dan komersial. Kedua,
surat Menteri Kehakiman Ali Said, yang katanya "mengangkat saya
sebagai penasihat Menteri di bidang bantuan hukum." Kedua berita
kaget tersebut sama-sama muncul akhir bulan lalu.
LBH-Buyung Nasution seperti telah menjadi kata majemuk. Sejarah
LBH memang dimulai ketika Buyung, orang Batak kelahiran Jakarta
dan bergelar Raja Namorasution (45 tahun), berpikir tentang si
miskin dan buta hukum yang memerlukan bantuan hukum menghadapi
tuntutan di pengadilan. Buyung, pemegang The Inernational Legal
Aid Award (1976), ketika itu sebagai jaksa di kota-kota kecil
seperti Bekasi, Cikarang, Tanggerang.
Di luar negeri, ketika ia mendapat kesempatan belajar di
Australia, terbuka pikirannya mengapa rakyat miskin tak dapat
memperoleh bantuan hukum secara percuma? Tapi apa yang bisa
dilakukannya sebagai jaksa? Menteri Kehakiman, ketika itu Prof.
Oemar Seno Adji, menyarankannya agar terlebih dulu berganti
profesi - menjadi advokat.
Tak cukup dengan itu saja. Prof. Soemitro Djojohadikusumo dan
Mochtar Lubis menambahkan sebuah syarat: Untuk memberi bantuan
hukum secara cuma-cuma, katanya, si pembela harus mempunyai
pendapatan yang cukup. Buyung melangkah: setelah keluar dari
lingkungan kejaksaan (1968), ia mendirikan Kantor Advokat &
Konsultan .
Dalam setiap kunjungan ke luar negeri, ke Amerika, Jerman atau
Belanda, disempatkannya mempelajari badan atau lembaga-lembaga
bantuan hukum. Sehingga pada Kongres Peradin ke III, 1969, putra
tertua wartawan kawakan dan bekas pemimpin LKBN Antara, Rachmat
Nasution, tersebut, berani mengajukan gagasannya mendirikan
LBH. Ternyata gol. Dan ia kontan diserahi untuk membentuknya.
Untuk itu berbagai instansi dimintai restu. Dari Pemda DKI tak
hanya restu yang diperolehnya. Gubernur Ali Sadikin (waktu itu)
malah memberi subsidi Rp 300 ribu setiap bulan -- dengan
catatan: tak keberatan bila sewaktu-waktu LBH harus membela
rakyat menggugat DKI. Beberapa waktu setelah peresmian, Ali
Murtopo, atas nama Golkar, juga menyumbang beberapa buah Vespa.
Selamatan nasi tumpeng di sebuah rumah kontrakan di Jalan
Ketapang 3 (Jakarta Barat) menyertai peresmian LBH.
Setelah itu pencari keadilan berdatangan dan merepotkannya
setiap hari hingga lewat tengah malam. Untung Kantor Advokat &
Konsultannya bisa dijalankan para asisten. Hingga ia dapat
sepenuhnya bekerja untuk LBH-nya. Termasuk berteriak-teriak
"Bubarkan Kopkamtib . . . " atau "hapuskan UU Subversi." Hal
itu, ditambah tuduhan ikut menggerakkan Peristiwa 15 Januari,
menyebabkannya masuk tahanan selama 22 bulan sebagai "penjahat
subversi" yang tak diadili.
Belakangan Buyung mendirikan Yayasan LBH Indonesia bersama
tokoh-tokoh seperti Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, Jakob
Utama, dan lain-lain. Yayasan itu disetujui kongres Peradin
baru-baru ini sebagai bagian dari Peradin yang hanya
bertanggungjawab secara moral kepada kongres.
Namun, kongres ternyata juga membebani beberapa persoalan.
Misalnya: kongres melarang anggota Peradin menjadi anggota atau
pengurus badan atau lembaga bantuan hukum selain LBH. Padahal
nyatanya banyak advokat Peradin memberikan bantuan hukum prodeo
di luar LBH.
Namun begitu di medan kongres, penampilan Buyung yang telah
beranak empat itu bak primadona. Hampir di setiap waktu senggang
ia dikerumuni mahasiswi -- ada yang terus-menerus membuntutinya.
Tapi, yang mengecamnya juga seorang wanita, Advokat Nurbany
Yusuf yang mengundurkan diri dari Peradin sebelum pemecatan
dibacakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo