Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cerita Ruh Yanti

Yanti, 18, siswa smea vii jakarta ditemukan mati di lantai 15 hotel jayakarta. tertuduh im di depan polisi mengaku membunuh karena cemburu. (krim)

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI tingkat 11 sampai 12 Hotel Jayakarta di Jalan Hayam Wuruk, yang belum siap itu, biasa berdiri anak-anak sekolah menengah menghabiskan waktu luangnya memandang kota Jakarta. Tapi subuh hari itu, 16 November, seorang ayah menemukan anak perempuannya di sebuah kamar kecil lantai 15 dalam keadaan sengsara. Masih terbungkus seragam SMEA VII, Yanti (18 tahun) tertelungkup setengah menungging. Tak bernyawa lagi. Yanti Widayanti, siswa kelas II SMEA VII, memang tak pulang sejak berangkat sekolah siang 9 November. Biasanya ia sudah bernyanyi-nyanyi di rumah paling telat jam 19.30. Ditunggu sampai larut tak juga pulang, ayahnya, A. Sumarna, anggota kepolisian sektor kota (Kosekta 733) Tambora berpangkat Pembantu Letnan Pol. I, sibuk mencari. Baik ke rumah neneknya di Tomang maupun ke famili lain. Usut punya usut Sumarna menemukan nama kawan anaknya, Iim (17 tahun) siswa SMA II, yang pagi hari sebelumnya datang dan mencoba pergi bersama anaknya tapi ditolak. Malam itu juga, jam 24.00, Sumarna membangunkan lim di rumah neneknya. Iim membantah bertemu Yanti sepanjang hari itu. Sumarna juga tidak dapat menangkap perasaan di balik wajah Iim yang polos dan tampak tak berdosa. Masih penasaran, keesokan harinya Sumarna mendatangi Iim lagi di sekolah. Lagi-lagi remaja ini membantah. Bukankah ia mengunjungi Yanti pagi-pagi sebelum anak gadis itu hilang? Begitu desak Sumarna. Iim geleng kepala. Bahkan saksi yang diajak Sumarna, yang menyaksikannya hendak menjemput Yanti (dan waktu itu, katanya, Yanti menolak sambil berkata "Berangkat duluan saja, deh!"), oleh Iim didamprat. "Jangan menuduh orang sembarangan!" Sumarna tidak putus asa. Setiap keterangan diusutnya tak tanggung-tanggung. Hanya dalam waktu semalam, malam Minggu 10 November, Sumarna sudah mengubak tiga kota Bogor, Cianjur, Sukabumi. Tak ada hasilnya. Namun Minggu siang berikutnya ada keterangan kemungkinan Yanti berada di Serang (Jawa Barat). Menarik, karena cocok dengan dugaan Sumarna: bukankah Iim anak Serang? Senin berikutnya Sumarna bertindak lebih jauh. Dia membuat laporan resmi ke polisi anaknya diculik Iim. Polisi pun lalu menurunkan tim pelacak ke Serang -- dan tentu saja Sumarna sendiri ikut bergabung. Iim tak dapat dijumpai di Serang. Tapi di Pandeglang ia tak dapat lolos lagi. Mula-mula ia bersikeras menyatakan tak tahu-menahu perihal Yanti. Tapi sesampainya di Jakarta -- katanya karena takut dianiaya, menurut Sumarna sendiri -- Iim akhirnya membuka mulut Yanti disembunyikannya di Hotel Jayakarta. Semula Sumarna tak menyangka nasib anaknya demikian parah. Paling-paling, pikirnya, anaknya cuma disekap di salah satu tempat. Tapi harapannya buyar, ketika begitu keluar dari lift di lantai 15, hidungnya disergap bau busuk yang keras. "Wah, anak saya sudah . . .", kata Sumarna kemudian. Dan benar saja. Sumarna menangis. "Untung saya tidak pingsan," tuturnya kemudian. Jenazah Yanti, gadis mungil anak pertama Sumarna di antara 7 saudara yang manja itu, dimakamkan hari itu juga setelah mendapat visum dari Rumahsakit Umum dr Tjipto. Dibantah Visum dokter belum diumumkan. Tapi, menurut pengakuan Iim sendiri - menurut cerita Sumarna kepada TEMPO -- sebelum menganiaya ia sempat membawa Yanti piknik ke Kebun Raya Bogor. Di sana, ceritanya, mereka sempat juga bermain cinta. Tapi tertangkap basah petugas keamanan yang, katanya lagi mau membebaskan mereka setelah disuap Rp 1.500. Cerita Iim tak bisa dibuktikan kebenarannya. Sebab, belakangan ia tak dapat menunjuk hidung petugas Kebun Raya mana yang pernah menangkapnya dan menerima suapnya. Sedang penganiayaannya terhadap Yanti, pengakuan Iim kepada polisi, disebabkan oleh kecemburuannya pada pertunangan Yanti dengan Herman. Karena itu Iim membawa Yanti ke lantai 15 Hotel Jayakarta -- katanya, sepulang dari Kebun Raya. Dan di kamar kecil rasa cemburunya dilampiaskannya. Mula-mula, katanya, ia hanya menjerat leher Yanti dengan dasi seragam sekolahnya. Karena korbannya masih bergerak dan merintih, ketika hendak ditinggalkannya, sekali Iim menyambar seutas kabel yang kebetulan ada di dekat situ dan terus membelit dan mencekikkannya ke leher Yanti. Tapi cara pembunuhan demikian konon dibantah oleh arwah Yanti sendiri. Melalui jasad kakeknya, menurut cerita ayahnya, ruh Yanti datang di tengah keluarganya. Dia minta maaf kepada tunangannya, Herman. Lalu dia bercerita dia tak sadar pergi bersama Iim pada hari yang naas tersebut. Ia hanya merasa digandeng Herman. Tapi, begitu menginjak lantai 14 Jayakarta, kesadarannya muncul. Tapi terlambat. Ia terus dituntun lim ke lantai 15. Sebelum dasi mencekik lehernya, katanya, lebih dulu Iim memukul tengkuknya. Itulah bantuan kakek Yanti kepada polisi dalam rekonstruksi kelak. Menyedihkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus