Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI tingkat 11 sampai 12 Hotel Jayakarta di Jalan Hayam Wuruk,
yang belum siap itu, biasa berdiri anak-anak sekolah menengah
menghabiskan waktu luangnya memandang kota Jakarta. Tapi subuh
hari itu, 16 November, seorang ayah menemukan anak perempuannya
di sebuah kamar kecil lantai 15 dalam keadaan sengsara. Masih
terbungkus seragam SMEA VII, Yanti (18 tahun) tertelungkup
setengah menungging. Tak bernyawa lagi.
Yanti Widayanti, siswa kelas II SMEA VII, memang tak pulang
sejak berangkat sekolah siang 9 November. Biasanya ia sudah
bernyanyi-nyanyi di rumah paling telat jam 19.30. Ditunggu
sampai larut tak juga pulang, ayahnya, A. Sumarna, anggota
kepolisian sektor kota (Kosekta 733) Tambora berpangkat Pembantu
Letnan Pol. I, sibuk mencari. Baik ke rumah neneknya di Tomang
maupun ke famili lain.
Usut punya usut Sumarna menemukan nama kawan anaknya, Iim (17
tahun) siswa SMA II, yang pagi hari sebelumnya datang dan
mencoba pergi bersama anaknya tapi ditolak. Malam itu juga, jam
24.00, Sumarna membangunkan lim di rumah neneknya. Iim membantah
bertemu Yanti sepanjang hari itu. Sumarna juga tidak dapat
menangkap perasaan di balik wajah Iim yang polos dan tampak tak
berdosa.
Masih penasaran, keesokan harinya Sumarna mendatangi Iim lagi di
sekolah. Lagi-lagi remaja ini membantah. Bukankah ia mengunjungi
Yanti pagi-pagi sebelum anak gadis itu hilang? Begitu desak
Sumarna. Iim geleng kepala. Bahkan saksi yang diajak Sumarna,
yang menyaksikannya hendak menjemput Yanti (dan waktu itu,
katanya, Yanti menolak sambil berkata "Berangkat duluan saja,
deh!"), oleh Iim didamprat. "Jangan menuduh orang sembarangan!"
Sumarna tidak putus asa. Setiap keterangan diusutnya tak
tanggung-tanggung. Hanya dalam waktu semalam, malam Minggu 10
November, Sumarna sudah mengubak tiga kota Bogor, Cianjur,
Sukabumi. Tak ada hasilnya. Namun Minggu siang berikutnya ada
keterangan kemungkinan Yanti berada di Serang (Jawa Barat).
Menarik, karena cocok dengan dugaan Sumarna: bukankah Iim anak
Serang? Senin berikutnya Sumarna bertindak lebih jauh. Dia
membuat laporan resmi ke polisi anaknya diculik Iim. Polisi pun
lalu menurunkan tim pelacak ke Serang -- dan tentu saja Sumarna
sendiri ikut bergabung.
Iim tak dapat dijumpai di Serang. Tapi di Pandeglang ia tak
dapat lolos lagi. Mula-mula ia bersikeras menyatakan tak
tahu-menahu perihal Yanti. Tapi sesampainya di Jakarta --
katanya karena takut dianiaya, menurut Sumarna sendiri -- Iim
akhirnya membuka mulut Yanti disembunyikannya di Hotel
Jayakarta.
Semula Sumarna tak menyangka nasib anaknya demikian parah.
Paling-paling, pikirnya, anaknya cuma disekap di salah satu
tempat. Tapi harapannya buyar, ketika begitu keluar dari lift di
lantai 15, hidungnya disergap bau busuk yang keras. "Wah, anak
saya sudah . . .", kata Sumarna kemudian. Dan benar saja.
Sumarna menangis. "Untung saya tidak pingsan," tuturnya
kemudian. Jenazah Yanti, gadis mungil anak pertama Sumarna di
antara 7 saudara yang manja itu, dimakamkan hari itu juga
setelah mendapat visum dari Rumahsakit Umum dr Tjipto.
Dibantah
Visum dokter belum diumumkan. Tapi, menurut pengakuan Iim
sendiri - menurut cerita Sumarna kepada TEMPO -- sebelum
menganiaya ia sempat membawa Yanti piknik ke Kebun Raya Bogor.
Di sana, ceritanya, mereka sempat juga bermain cinta. Tapi
tertangkap basah petugas keamanan yang, katanya lagi mau
membebaskan mereka setelah disuap Rp 1.500. Cerita Iim tak bisa
dibuktikan kebenarannya. Sebab, belakangan ia tak dapat menunjuk
hidung petugas Kebun Raya mana yang pernah menangkapnya dan
menerima suapnya.
Sedang penganiayaannya terhadap Yanti, pengakuan Iim kepada
polisi, disebabkan oleh kecemburuannya pada pertunangan Yanti
dengan Herman. Karena itu Iim membawa Yanti ke lantai 15 Hotel
Jayakarta -- katanya, sepulang dari Kebun Raya. Dan di kamar
kecil rasa cemburunya dilampiaskannya. Mula-mula, katanya, ia
hanya menjerat leher Yanti dengan dasi seragam sekolahnya.
Karena korbannya masih bergerak dan merintih, ketika hendak
ditinggalkannya, sekali Iim menyambar seutas kabel yang
kebetulan ada di dekat situ dan terus membelit dan
mencekikkannya ke leher Yanti.
Tapi cara pembunuhan demikian konon dibantah oleh arwah Yanti
sendiri. Melalui jasad kakeknya, menurut cerita ayahnya, ruh
Yanti datang di tengah keluarganya. Dia minta maaf kepada
tunangannya, Herman. Lalu dia bercerita dia tak sadar pergi
bersama Iim pada hari yang naas tersebut. Ia hanya merasa
digandeng Herman. Tapi, begitu menginjak lantai 14 Jayakarta,
kesadarannya muncul. Tapi terlambat. Ia terus dituntun lim ke
lantai 15. Sebelum dasi mencekik lehernya, katanya, lebih dulu
Iim memukul tengkuknya. Itulah bantuan kakek Yanti kepada polisi
dalam rekonstruksi kelak. Menyedihkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo