Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Jakarta Utara, Selasa pekan lalu, itu berlangsung singkat. Baru beberapa saat membuka sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli itu, ketua majelis Yohanes L. Tobing segera menutupnya. Rupanya, ahli yang diundang berhalangan hadir dalam sidang gugatan pemilik unit terhadap pengelola apartemen Kalibata City itu. "Sidang ditunda sampai pekan depan," kata Umi Hanik, penggugat, Rabu pekan lalu.
Umi menggugat PT Prima Buana yang menaikkan iuran pemeliharaan lingkungan (IPL) sejak awal 2015. Menurut perempuan 36 tahun itu, kenaikan iuran dari Rp 2,3 juta menjadi Rp 3,2 juta per tahun tersebut tak jelas perhitungannya.
Dalam pertemuan dengan sejumlah pemilik unit apartemen, PT Prima Buana pernah menjelaskan bahwa iuran pemeliharaan lingkungan ikut naik karena kenaikan harga bahan bakar minyak, biaya asuransi gedung, dan upah minimum di DKI Jakarta.
Penjelasan itu tak memuaskan Umi dan kawan-kawan yang tergabung dalam Forum Warga Kalibata City. Soalnya, ketika harga BBM kembali diturunkan pada 19 Januari lalu, IPL tak ikut turun. Alasan kenaikan upah minimum pun tak bisa mereka terima. Tahun ini upah minimum DKI Jakarta hanya naik 11 persen. "Sedangkan IPL naik sampai hampir 40 persen," ujar Umi.
Umi dan kawan-kawan juga kecewa karena PT Prima Buana menolak membuka laporan keuangannya. Padahal uang IPL yang ditarik pengelola tidaklah sedikit. Dari sekitar 18 ribu unit apartemen di Kalibata City, Umi memperkirakan IPL yang terkumpul setiap tahun paling tidak sekitar Rp 80 miliar. "Pengelola selalu mengklaim rugi, tapi tak pernah menjelaskan rincian pemasukan dan pengeluaran," ucap Umi.
Dalam gugatannya, Umi menyebutkan tarif IPL yang dipatok pengelola tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Pasal 57 undang-undang itu menyatakan besaran biaya pengelolaan harus sesuai dengan kebutuhan operasional, pemeliharaan, dan perawatan apartemen.
Sebagai pemilik unit, Umi juga merasa berhak mengetahui rincian penggunaan IPL. Dia merujuk pada Pasal 59 Undang-Undang Rumah Susun. Pasal itu menyebutkan, selama perhimpunan penghuni pemilik satuan rumah susun (P3SRS) belum terbentuk, biaya operasional ditanggung bersama pemilik unit dan pengembang rumah susun. "Kami curiga seluruh biaya dibebankan kepada pemilik," ujar Umi.
PT Prima Buana membantah anggapan bahwa mereka tak transparan dalam pengelolaan uang iuran. General Manager PT Prima Buana, Evan T. Wallad, mengatakan pengelola selalu mengumumkan laporan keuangan per tiga bulan. Laporan itu ditempelkan di tiap tower apartemen. Meski begitu, Evan mengakui bahwa laporan yang ditempel itu hanya garis besar pemasukan dan pengeluaran, bukan rinciannya.
Evan beralasan, PT Prima Buana tak berkewajiban melaporkan keuangan secara rinci kepada penghuni apartemen. Audit penggunaan IPL, kata dia, selalu diberikan PT Prima Buana kepada PT Pradani Sukses Abadi selaku pengembang apartemen. "Nanti PT Pradani yang melaporkan kepada warga, bukan kami," ucap Evan.
KISRUH soal iuran pengelolaan lingkungan hanya sekelumit gambaran konflik penghuni versus pengelola apartemen Kalibata City. Ketua Forum Warga Kalibata City Wewen Zi mengungkapkan ketidakpuasan penghuni meliputi banyak hal. Misalnya banyak penghuni apartemen yang mengeluhkan ketentuan bahwa mereka masih membayar iuran parkir bulanan di luar iuran pengelolaan lingkungan. "Masak, parkir di rumah sendiri harus bayar?" ujar Wewen.
Tagihan listrik dan air yang kerap melonjak juga menjadi masalah. Menurut Wewen, ada pemilik unit yang beberapa kali mendapat tagihan listrik dan air sampai Rp 1 juta per bulan. Padahal unit apartemen miliknya tak ditempati.
Aneka keluhan penghuni, menurut Wewen, tak terselesaikan antara lain karena di Kalibata City belum terbentuk perhimpunan penghuni pemilik satuan rumah susun. Sejumlah penghuni Kalibata City meminta PT Pradana Sukses Abadi dan PT Prima Buana memfasilitasi pembentukan P3SRS sejak 2011. Namun pengembang dan pengelola apartemen tak pernah menanggapi serius permintaan tersebut.
Ketika sebagian warga Kalibata City berinisiatif membentuk P3SRS, perusahaan terkesan menghambatnya. Sewaktu Wewen dan kawan-kawan berupaya membentuk panitia pembentukan P3SRS, PT Prima Buana tak memberikan akses untuk menyebarkan undangan kepada penghuni apartemen. Bahkan anggota Forum Warga Kalibata City yang ketahuan memasukkan undangan ke bawah pintu unit apartemen pun diintimidasi. "Ada yang ditangkap dan diancam denda Rp 2 juta karena dianggap menyebarkan brosur tanpa izin," tutur Umi.
Pada 18 April lalu, acara panitia pembentukan P3SRS versi Wewen cs kembali dihalang-halangi. Acara itu berakhir ricuh karena sejumlah petugas keamanan Kalibata City tiba-tiba masuk dan membubarkan rapat.
Rupanya, pengelola diam-diam menyiapkan pembentukan P3SRS versi mereka. Jumat dua pekan lalu, PT Prima Buana menggelar rapat pembentukan P3SRS di Gedung Serbaguna Unit V Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan.
Umi dan rekan-rekan mencium gelagat tidak beres. Mereka curiga terhadap rapat yang berlangsung pada hari kerja, dimulai menjelang waktu salat Jumat, dan jauh dari apartemen pula. "Seperti disengaja agar banyak warga Kalibata City tak hadir," ujarnya.
Umi mempersoalkan jumlah peserta rapat versi perusahaan yang dia anggap tidak mencapai kuorum. "Berdasarkan perhitungan mereka saja, yang hadir hanya 27 persen," katanya. Ia lantas merujuk pada Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 15 Tahun 2007 tentang Pembentukan P3SRS. Menurut peraturan tersebut, rapat pembentukan P3SRS baru sah jika dihadiri lebih dari setengah pemilik unit.
Sebaliknya, panitia dari PT Prima Buana berdalih pembentukan P3SRS Kalibata City tak tunduk pada peraturan menteri, yang hanya mengatur pembentukan P3SRS untuk rumah susun sederhana. Kalibata City, menurut mereka, termasuk kategori rumah susun komersial dan campuran yang belum ada aturan khususnya. "Karena ada kekosongan hukum, mereka bilang sah-sah saja rapat dilanjutkan," ujar Riko, pemilik unit apartemen lainnya.
Meski diwarnai protes dan walkout anggota Forum Warga Kalibata City, rapat versi perusahaan itu tetap berlanjut. Rapat akhirnya membentuk kepengurusan P3SRS Kalibata City dan mengangkat Andi Setiawan sebagai ketua.
Sebagian penghuni Kalibata City tak mau begitu saja menerima keberadaan P3SRS versi Gelora Bung Karno. Bila Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengesahkan kepengurusan P3SRS tersebut, mereka akan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. "Itu P3SRS versi pengembang, kami tidak mengakuinya," ucap Umi.
Toh, Evan T. Wallad tak peduli terhadap penolakan itu. Dia malah menantang Umi cs menggugat ke PTUN. "Bisa kami buktikan pengurus yang terbentuk itu sah menurut hukum," ujarnya.
Koordinator Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sularsih sudah menerima pengaduan Umi dan kawan-kawan. Menurut YLKI, pembentukan P3SRS oleh PT Prima Buana bermasalah. Intervensi PT Prima Buana yang terlalu besar, kata dia, melanggar Undang-Undang Rumah Susun.
Sularsih menjelaskan, menurut undang-undang, pembentukan P3SRS merupakan hak warga apartemen. Sebagai pengelola, menurut dia, PT Prima Buana seharusnya hanya bertindak sebagai fasilitator. Misalnya pengelola membantu warga menyediakan data pemilik dan memberi akses untuk menyebar undangan.
Menurut Sularsih, konflik antara pengelola dan penghuni apartemen tak hanya terjadi di Kalibata City. Konflik serupa terjadi di banyak rumah susun dan apartemen kelas menengah di Jakarta. Karena itu, YLKI mendesak pemerintah DKI Jakarta lebih aktif menyelesaikan masalah seperti ini. "Pemerintah daerah harus turun tangan untuk melindungi hak konsumen," ujar Sularsih.
Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo