Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Debat Yudisial dan Nonyudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Marzuki Darusman: Jangan Dipertentangkan

Marzuki Darusman menganjurkan agar pendekatan yudisial dan nonyudisial untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tak dipertentangkan.

9 Juni 2023 | 10.15 WIB

Marzuki Darusman, ketua Misi Pencari Fakta Internasional Independen (IFFM) di Myanmar, memberi isyarat saat konferensi pers di kantor PBB di Jakarta, Indonesia, 5 Agustus 2019. [REUTERS / Sekar Nasly]
Perbesar
Marzuki Darusman, ketua Misi Pencari Fakta Internasional Independen (IFFM) di Myanmar, memberi isyarat saat konferensi pers di kantor PBB di Jakarta, Indonesia, 5 Agustus 2019. [REUTERS / Sekar Nasly]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Jaksa Agung RI sekaligus mantan Ketua Komnas HAM, Marzuki Darusman, menganjurkan agar pendekatan yudisial dan nonyudisial untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tidak saling dipertentangkan. Sebab, kedua pendekatan itu bertujuan untuk mencari keadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Komnas HAM ingin memajukan penyelesaian HAM secara yudisial, sementara pemerintah ambil jalan nonyudisial. Saya anjurkan kedua pendekatan itu tidak dipertentangkan karena keduanya bertujuan untuk mencari keadilan," kata Marzuki dalam Diskusi Refleksi 30 Tahun Komnas HAM, Rabu, 7 Juni 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan pendekatan nonyudisal diakui dunia internasional sebagai jalan untuk memperoleh keadilan bagi mereka yang dizalimi. Sementara perjuangan lanjutan Komnas HAM untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat secara yudisial sangat terpuji. "Saya anjurkan ada diskursus yang sehat untuk mempertemukan dua jalan ini," ujarnya.

Komnas HAM, lanjut dia, telah mencatat capaian luar biasa seiring dengan pengakuan negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Dia menilai dalam 30 tahun terakhir, Komnas HAM terus berupaya memperjuangkan penyelasaian perkara yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat tersebut.

"Komnas HAM didirikan karena masalah yang sangat pragmatis. Juli 1993 mau ada konvensi HAM pertama di Wina. Dunia internasional menekan Indonesia karena terlibat dalam kasus Timor Timur. Karena itu, didirikan Komnas HAM untuk membuktikan kepada dunia luar bahwa Indonesia menghormati HAM," ucapnya.

Dia mengatakan kelahiran Komnas HAM mengundang skeptisme yang sangat dalam dan luas. Hal itu disebabkan Komnas HAM didirikan pada masa Orde Baru yang sangat lekat dengan praktik-praktik pelanggaran HAM. Namun, Komnas HAM membuktikan bahwa mereka mampu menangani kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah.

"Apakah mungkin Orde Baru yang mendirikan Komnas HAM dapat mematuhi penyelidikan-penyelidikan Komnas HAM, ternyata bisa. Kasus pertama yang menonjol adalah kasus Marsinah. Ini menjadi semangat Komnas HAM sampai hari ini untuk melindungi mereka yang tertindas, mereka yang terpinggirkan, mereka yang tertinggal di tengah masyarakat kita ini," katanya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus