Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dendam Buat Si Macan

Penuturan para keluarga korban pembunuhan kusni kasdut dan pendapat para ahli tentang pelaksanaan hukuman mati bagi penjahat. (krim)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU belum ketemu orang mengira saya seperti macan. Tapi, kalau sudah, ya seperti inilah saya .... " Begitu Kusni Kasdut pernah mengatakannya. Ia melukiskan dirinya, tahun-tahun belakangan ini, sebagai seorang yang serba tenang, tertib dan rapi. Adakah tobatnya diterima Tuhan -- adalah haknya untuk memanjatkannya. Namun dendam di hati keluarga para korban, juga korban pembunuhan dan kekejaman lainnya, tetap menuntut hukuman mati sebagai balasan yang setimpal. Berikut ini keluarga korban berbicara: Nyonya M.C. Winarni, 57 tahun, janda Justinus Soetono: Suaminya, Brig. Pol. Justinus Soetono, ketika itu tengah bekerja menghadapi mesin tulis. Ia tidak bersenjata. Sehingga ia cuma berdiri terpaku ketika tiba-tiba Kusni Kasdut muncul di ruangan kerjanya sambil mengamangkan pistol. Nasibnya malang. Buronan yang terjebak polisi di Semarang itu langsung menembak ke arahnya. Soetono roboh. Sebuah peluru menghantam paha, terus menembus pantatnya. Sebuah yang lain menghunjam perut sebelum bersarang di dadanya. Kusni akhirnya memang dapat diringkus. Tapi Soetono tewas hari itu juga 8 Oktober 1963. Winarni, istrinya, yang juga anggota polisi berpangkat Agen Pol. I, menyaksikan penderitaan suaminya meregang jiwa dari jam 11 siang sampai 6 sore. Kedua anaknya ketika itu masih berumur dua dan setengah tahun, menunggu di rumah. Ia kini bisa bercerita. "Saya sangat sesalkan kenapa hukuman mati itu tidak segera dilaksanakan," katanya tentang nasib Kusni Kasdut. Ia hampir membanting televisi ketika suatu hari, Natal 1979, menyaksikan wajah ceria Kusni terpampang di sana. "Kalau ia betul-betul di muka saya," katanya, "pasti saya hantam dia -- Hari Natal kok diberi hadiah begitu!" Dendam baru lepas dari hati wanita ini bila Kusni Kasdut menebus dosanya di depan regu tembak. "Saya tidak akan memaafkannya. Hukuman mati barulah setimpal dengan penderitaan suami saya." Juga, baginya, seimbang dengan kehilangan dan penderitaannya sendiri. Walaupun sekarang ia merasa kecukupan hidupnya. Ia dapat uang pensiun sebagai janda Pembantu Letnan Pol. II (anumerta) Rp 22.300. Pensiunnya sendiri, sebagai Sersan Mayor, yang Rp 43.000. Keluarganya tinggal di asrama purnawirawan polri di Ambarukmo (Yogya). "Tapi siapa yang rela satu-satunya kesayangannya diambil?" Kabar tentang eksekusi Kusni Kasdut melegagan hati wanita beragama Katolik ini. "Sebagai orang yang beragama kini saya bisa memaafkannya." Tak lupa ia berterimakasih kepada pemerintah yang pada akhirnya menembak mati Kusni. Ipi Najib, cucu mendiang Ali Bajened: Istri almarhum Nyonya Aminah, sepeninggal Ali Bajened kontan jatuh sakit. Wanita itu menyusul suaminya yang dibunuh dua minggu kemudian. Sore itu, 11 Agustus 1953, Aminah menerima telepon dari Bajened yang minta disiapkan makan malam. Tapi belum lagi setengah jam telepon berdering lagi dengan berita singkat: "Ali Bajsned tertembak." Sambungan telepon, entah dari mana datangnya, langsung diputuskan. Aminah terkesima. Terpukul jiwanya dan beberapa hari kemudian ia meninggal. Dendamnya diwarisi oleh anak dan cucunya. Hukuman mati bagi pembunuh kakeknya, seperti kata Ipi, cukup setimpal. Boleh merupakan pelajaran bagi penjahat lain. "Kalau tidak begitu mereka tidak takut." Sebagai ahli keluarga Bajened tentu saja ia setuju hukuman mati. Tapi ia mengakui: "Mungkin pendapat saya lain seandainya saya sebagai anak Kusni Kasdut." M.A. Nasar, ayah dari seorang anak yang diperkosa dan dibunuh. Suparlan, 40 tahun, memperkosa Mariana (7 tahun), lalu merampok anting-anting sesudah mencekik leher gadis cilik itu hingga tewas seketika (TEMPO, 15 Desember 1979). Nasar, ayah si gadis kecil, masih penasaran. Ia merasa pada tempatnyalah "menuntut" di mahkamah yang mengadili Suparlan di Surabaya. Dimintanya agar hakim menerapkan pasal pembunuhan berencana (KUHP 340) yang mengancam hukuman mati bagi si pelaku kejahatan. "Sebagai bapak korban," kata Nasar, "saya berhak mengajukan tuntutan. Apalagi anak saya matinya tidak wajar. dibunuh secara keji, ngeri." Hakim Suradi, tanpa memperlihatkan pertimbangan hukum yang jelas, ternyata memang "mengabulkan" tuntutannya Suparlan dijatuhi hukuman mati dalam suatu sidang yang singkat. Tapi atas anjuran jaksa, Suparlan naik banding. Bagaimana kalau Pengadilan Tinggi menerima permohonan dan meringankan hukumannya? "Saya akan umumkan agar Suparlan dibebaskan saja." Baginya, "kalau ia tidak dihukum mati, sama saja tidak puasnya kalau ia dibebaskan." Sebagai orang Madura, katanya, ia sudah cukup dapat mengendalikan amarahnya. "Kalau tidak sudah saya bunuh sendiri Suparlan." Hukuman mati baginya masih perlu. Kalau dihapus ia khawatir tidak mustahil orang akan mencari kepuasan dengan membalas dendam dengan caranya sendiri. Kata Nasar. "Enak saja, babat nyawa orang cuma dihukum 10 atau 20 tahun penjara saja . . . " Siti Maemunah, 35 tahun, suaminya korban pembunuhan di Ancol: Baginya persoalan sederhana saja: "Suami saya mati dibunuh orang, saya ingin tahu tampang pembunuhnya, lalu ia juga harus dihukum mati!" Belum sebulan lalu suaminya, Subagyo Pramoto (42 tahun), diketemukan tewas dalam keadaan sengsara. Mukanya babak belur, nadi lehernya tersayat, terkapar di Ancol (Jakarta) di dalam taksi Blue Bird yang biasa dibawanya mencari nafkah. Belum diketahui apa sebenarnya yang terjadi. Mungkin bukan perampokan. Sebab barang milik korban, seperti jaket, arloji dan uang kontan Rp 18 ribu, masih utuh. Sepeninggal sang suami keadaan keluarganya payah. Ia harus mengurus 5 orang anak almarhum. Yang tertua baru di sekolah menengah pertama, sedangkan yang kecil masih menyusunya. Anaknya yang sulung, laki-laki, harus lebih banyak membuang waktu untuk menjual koran dari pada untuk belajar. Ia sendiri ingin jual kue. Tapi, untuk sementara, nafkahnya hanya dari menjual barang-barang peninggalan suaminya. Yang membuatnya tak enak tidur adalah bayangan tentang cara suaminya mati: "Mungkin ia menjerit-jerit, menggelepar seperti ayam dipotong, atau . . . " Dendamnya tak membutuhkan diskusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus