Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARKAS Kodim 0405/Lahat gempar. Dua pucuk sten-gun merek Karl Gustaf berikut 256 butir peluru hilang dari gudang amunisi. Lebih menggegerkan, malingnya ternyata adalah Wallazi Asmanto, seorang siswa SMA swasta di Lahat, Sumatera Selatan. Ia dibantu temannya, Umarhadi, jebolan kelas 3 SD. Menariknya, pencurian senjata itu didalangi ayah Asmanto sendiri, Sersan Satu Waluyo. Gara-gara membobol gudang Kodim itu, Senin pekan lalu, Asmanto dihukum 2 tahun penjara di Pengadilan Negeri Lahat. Umarhadi diganjar 1 tahun penjara. Bedanya, Umarhadi tampak pucat, sedangkan Asmanto malah tersenyum simpul ketika Hakim S. Bagyo mengetukkan palunya. Tinggallah giliran Waluyo bakal menyusul ke Mahkamah Militer. Tak cuma karena ia mengotaki pencurian senjata otomatis itu. Ayah lima anak ini juga dituduh menggelapkan uang Rp 6 juta dan 1.418 kg ransum beras tentara di Kodim Lahat. Pada mulanya, memang, Waluyo menduduki kursi empuk di Kodim Lahat. Bertugas di bagian logistik, ia kerap kecipratan rezeki. "Yah, korupsi kecil-kecilanlah," kata Dandim Lahat, Letnan Kolonel Sartono, kepada TEMPO. Nahasnya, Waluyo ketiban apes. Karena kebiasaan menggaruk rezeki "kumuh" itu ketahuan, ia dimutasikan ke posisi kering dan digantikan Sersan Dua Anim. Nah, sejak itu hidup Waluyo jadi sulit. Apalagi ia harus berutang kian-kemari sebagai pengganti duit dan ransum yang "menguap" itu. Akibatnya, Waluyo menyimpan kesumat kepada Anim. Ia ingin menghancurkan penggantinya itu. Ia mengajak anak sulungnya, Asmanto, mencuri senjata dari gudang Kodim -- yang pengawasannya memang dipegang Anim. Targetnya, agar Anim dituding tak becus dan tercampak dari posisi itu. Dengan petunjuk Waluyo, Asmanto dibantu Umarhadi, suatu malam, akhir November 1989, membuka genting gudang senjata itu. Plafon gudang itu kemudian mereka bor hingga jebol. Nah, mereka pun dengan leluasa memboyong dua "mesin pembunuh" itu dan sejumlah peluru ke luar gudang. Namun, apa yang diimpikan Waluyo, agar Anim ditindak, tak kesampaian. Maklum, hilangnya senjata itu baru ketahuan belakangan, ketika dilakukan pemeriksaan. Tapi Waluyo semakin nekat. Ia meminta Asmanto mengirimkan "surat kaleng" kepada Dandim. Surat itu meminta agar Sartono menyediakan uang Rp 50 juta sebagai tebusan dua pucuk sten-gun itu. Ia juga mensyaratkan Anim sendiri yang membawa tebusan itu ke pinggir kota arah ke Pagar Alam sekitar tengah malam. "Jangan menunjukkan sikap mencurigakan, jika tak ingin diberondong peluru," ancam surat itu. Ternyata, Sartono tak mempedulikan surat itu. Inilah yang membikin Waluyo bertekad menghabisi Anim. Mulanya, ia melatih Asmanto cara menembak dengan sten-gun itu saban malam di terowongan rel kereta api Ulu Gajah di perbatasan antara Lahat dan Musirawas. Karena kesempatan untuk memberondong Anim belum ada juga, Asmanto nekat mencoba merampok. Dinihari, 12 Februari 1990, ia mendatangi SPBU Pertamina di Lahat. Melihat lelaki bertopeng bersenjata, penjaga SPBU itu, Masri, mundur dan membiarkan Asmanto menjarah laci yang ternyata kosong. Akibatnya, Asmanto naik pitam. Serta merta ia mengokang senjata. Ee, ternyata pelurunya masih di sakunya. Ketika ia merogoh kantung itulah, Masri mengejar dengan parang. Asmanto gugup dan lari terbirit-birit. Ketika itulah Masri yakin lelaki bertopeng itu adalah Asmanto. Berkat laporan Masri, Dandim kemudian menggerebek rumah Waluyo. Benar saja di situ ditemukan amunisi yang hilang itu. Waluyo beserta anaknya dan Umarhadi diringkus saat itu juga. Hingga kini, Waluyo diusut intensif di Korem Bengkulu. Adakah hubungan Waluyo dengan aksi perampokan bersenjata yang mengganas di daerah itu? "Kami tengah mengusutnya," kata Sartono. Bersihar Lubis dan Marlis (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo